Casablanca Club, siapa di antara Anda yang pernah kesitu atau dengan perkataan lain menjadi anggotanya? Bila jawabnya ya, atau Anda seorang eksekutip dengan gaji berjeti-jeti rupiah sebulannya, atau seorang pengusaha. Betapa tidak? Keanggotaan klab kebugaran tersebut, dengan fasilitas a.l. lapangan badminton, tenis, fitness, spa, kolam renang cuma Rp 12 juta per pasutri per tahunnya. Duit kenal barang, begitu sering saya katakan ke bojoku. Berenang di kelab tersebut setelah hampir satu jam bermain badminton, bukan saja mengasyikkan tetapi kolam renangnya tidak ada lumutnya setitik juga. Bandingkan dengan kolam renang Tirta Mas yang sekarang sudah jorok dan penuh lumut. Hanyalah karena standar saya untuk berenang di waktu kecil, Kali Ciliwung, berenang di kolam sekotor Tirta Mas, buatku tetap oke lach yauw. Keasyikan acara renang saya dan Cecilia kemarin bisa disamakan seperti sehabis portaging dari George Lake menuju Freedom Lake terus ke Killarney Lake dan nyemplung disitu. Sangat menyegarkan kalau Anda tahu betapa gilanya bermain badminton di iklim tropis. Kalau saya sedang ngos-ngosan keringatan saya jadi teringat ketika masih remaja menonton pemain badminton kelas dunia kaya si Erland Kopps dari Denmark blingsatan kepanasan kegerahan dan habis napas tenaganya di set kedua. Pokoknya tidak ada olahraga yang lebih asyik ketimbang badminton dan terus berenang, sayang tidak ada kesempatan untuk bisa sepedaan alias thriathlon di Casablanca Club tersebut :-). Manusia tidak ada puasnya ya.
Masih atau menyinggung ketidak-puasan manusia, hari-hari ini saya sedang berkonfrontasi atau debatan terus dengan bojoku mengenai bawaan pulang kami, mengetahui kami akan lewat custom (dan imigrasi) Amrik yang SONTOLOYO banget. Sudah itu, kendala lainnya adalah penerbangan Los Angeles - Toronto kami adalah domestik alias berat koper tidak bisa lebih dari 25 kg. Di Toronto saya setengah berkelahi dengan petugas America West karena ketika saya masih di rumah dan menelepon mereka, si noni bilang 'allowable baggage weight' adalah 32 kg, 70 pound. Eh eh eh, si nonya di counter di airport mencanangkan 25 kg sehingga saya complain dan cari penyelesaian dari juragannya. Oleh karena itu, makanan yang "engga engga" seperti kecap manis yang memang sering kami bawa pulang, menjadi nehi acha di dalam kamusku saat ini. Demikian pula makanan rutin seperti kerupuk Nyonya Siok, dengan sangat menyesal tidak kami beli lantaran selain space-nya sudah engga ada, juga berat bawaan kami pasti sudah overweight. Wong mesin pemecah kulit kedele karya Mas PAB saja sudah mendekati seton beratnya :-). Kalau saja sayalah yang bos alias kemauan, eh pendapatku yang dijadikan pedoman, kami hanya akan bawa satu dua koper doang berisi pakaian dan tidak ada yang namanya oleh-oleh. But... you know who is da boss :-).
"Pak Jusni, saya Adep (bos Yayasan Sahabat Museum) dan sedang diwawancara di radio mengenai acara jalan-jalan di Pasar Baru hari Minggu lalu itu. Apakah kami bisa mengikut-sertakan Pak Jusni di dalam acara wawancara ini?," tanya doi ketika menelepon hape pinjaman saya. "Oh boleh, radio apa dan kapan saya akan ditelepon?." "Radio Woman FM 94.95 dan sekarang juga," katanya lagi. Karena hape bisa engga mulus atau nanti terputus-putus, kuminta mereka menelepon telepon rumah saya dan memang ia engga ngibul. Langsung saya masuk 'on air' atau wawancara siaran langsung. Untunglah Bang Jeha Anda sudah pengalaman menghadapi 'international press' karena suka main politik di Kanada dan akan halnya siaran radio, saya pernah di sisi pewawancara. Materi yang ditanyakan tidak susah, tujuan si Ade Permana mau mengikut-sertakan saya sebagai warga keluarga Tio dari Pasar Baru juga jelas. Agar saya bisa mengeritik pemerintah yang tidak menyediakan dana bagi pemugaran gedung-gedung atau obyek bersejarah. Jadi lengkaplah misi Bang Jeha Anda di kota tempat ia dibrojolin ini, sudah masuk Kompas sekarang nongol di radio. Yang lebih istimewa kog saya bisa diwawancara oleh radio perempuan, dasar mereka punya feeling kali bahwa saya ini penggemar bekel dan congklak mainan cewek :-).
Mong-ngomong mengenai pemerhati perpolitikan, komentar saya kalau ditanya apakah si Akbar hari-hari ini akan dibebaskan Mahkamah Agung adalah, so pasti. Kalau ia tidak dibebaskan, itulah yang aneh. Dalih yang dipakai 3 hakim agung yang dibocorkan di Kompas infonya adalah si Akbar sudah korup karena disuruh atau ikut perintah Habibie. Kalau itu dalih yang universil, penjara akan sepi sebab semua penjahat bandit apalagi yang intelektuil bisa selalu ngumpet di balik ketiak seorang yang sudah menyuruh mereka. Dalih tentara yang membunuh karena diperintah atasannya juga sudah usang sehingga kita lihat misalnya dalam kasus Somalia, serdadu Kanada dari kopral sampai jendral kena kecekal dan mendapat ganjarannya meskipun yang mereka siksa konon maling di kamp mereka. Kalau semuanya bisa berdalih yang akan dipakai hakim agung Indo, yang salah tentu si Chretien mantan PM Kanada. Entah Chretien lalu akan cari dalih apa, mungkin yang salah parlemennya Kanada yang meng-ACC pengiriman kontingen serdadu Kanada ke Somalia. Para anggota DPR Kanada lalu tentu akan menyalahkan rakyat senegara yang sudah memilih mereka. Asyik logika itu ya.
Anda mestinya tahu bahwa selain pasta salah satu makanan terenak di dunia buat saya adalah Soto Betawi. Dapat Anda bayangkan kekuciwaan hati beta ketika tadi sampai di warung Bang Husen dan menjumpai tutup. Akibatnya para perumpi yang mayoritas eks warga Paroki-Net ketika Bang Jeha masih manggung disono, pada serabutan mencari alternatip. Cukup banyak yang ditawarkan ke saya yang mau dijamu oleh mereka, dari mulai ke resto Padang (saya bilang itu menu di malam harinya) sampai ke konro Makassar yang mendengarnya saja (banyaknya minyaknya) sudah membuat saya ngeri. Alhasil, dasar mereka itu semua fans berat dongengan saya, diputuskan untuk pergi ke warung Soto Gebrak di Taman Ros dekat Tibet. Kata si Jodie, supaya ada yang bisa ditulis dan semuanya pada manggut setuju :-). Seumur-umur memang baru pernah makan atau masuk ke suatu warung dimana ogut dikagetin dengan suara bantingan gedubrak kaya botol jatuh dan pecah. Itulah botol kecap yang digebrakkan ke meja porselen setiap kali anak buah si Cak Anton yang punya warung, selesai meracik soto dan siap untuk dihidangkan. Prenku memang benar, semua hal yang saya alami bisa saya tulis dan banyak sekali yang menarik, terutama ketika setelah itu saya diajak ke almamaterku, Universitas Indonesia di Depok oleh si Nana yang belum lama ini ngajak saya snorkeling. Hesbats kampus UI jaman sekarang ini, dan dari syering salah seorang dosen staf pengajar disitu, lebih hesbats lagi pungli dan korupsi yang sudah merasuki salah satu perguruan tinggi berprestasi di nusantara ini. Kalau lembaga seperti UI sudah bokbrok demikian, apalah lagi yang bisa diharapkan dari negeri ini, walahualam. Salam prihatin, lam lekom.