Serba-serbi Kisah Kunjungan Ke Tanah Air Ke 72

Sudah 55 hari saya di Indonesia, suatu prestasi lamanya tinggal sejak saya pindah ke Kanada. Segala macam jenis kendaraan sudah saya cobai, dari mulai cidomo di Lombok sampai ojek kapal (rakyat) di Kepulauan Seribu sampai "kapal capung" Fokker F27. Tak terhitung perjalanan nostalgia yang sudah saya lakukan, dari mulai bersepeda sekeliling Pulo Mas sampai naik kereta api dari Bandung ke Jakarta, suatu acara rutin ketika saya masih suka syoping suku-cadang pemancar radio di Pasar Jatayu eks dumping dari AURI. Tinggal selama ini, ngerumpi dan mendengarkan cem-macem dongeng dari segala lapisan masyarakat, sahabat maupun handai-taulan, saya berkesimpulan saat ini, ogah pensiun di Melayu. "Lha kenapa Bang Jeha, kan ente bilang asyik belanja pakai rupiah gaji dollar Kanada?," tanya mereka yang berminat melewati masa tuanya di tanah airnya. Kalau Anda tahu salah satu alasan utama kalau bukan 'the r e a s o n' saya memutuskan pensiun tanggal 1 April 2002 adalah karena kalau saya lewat tidak pensiun di hari itu, saya tidak akan mendapat jaminan kesehatan sistim lama, dimana kami dibayari 80% dari semua ongkos pengobatan di luar asuransi pemerintah. Perlu Anda ketahui bahwa ongkos masuk rumah sakit maupun dokternya dan beberapa macam obat (yang dipakai di rumah sakit) adalah gratis bagi penduduk Kanada. Jadi 80%-nya bagi si saya adalah untuk ongkos seperti biaya beli obat (yang kalau kita sudah berumur 65 praktis gratis), pemeriksaan rutin gigi-gerigi, penggantian kacamata, en so for. Nah, kalau saya pensiunnya melewati tanggal di atas, saya hanya akan dibayar atau diberikan uang 'lump sum', fixed sejumlah tertentu yang saya yakin banget akan tidak lagi cukup 5-10-15 tahun mendatang. Baidewe financial planner saya menentukan saya dut pada saat berumur 80-an tahun, Cecilia 90-an, maklum nama tengah doi Ria alias hepi terus gawenya. :-)

Arti dari semua syering saya di atas adalah, masalah jaminan kesehatan bagi saya penting sekali, selain mutunya. Itu sebabnya sampai hari ini, meski saya cintrong banget dengan cagar alam seperti Algonquin dimana jiwa-raga serasa segar kalau canoeing camping kesono, saya masih ogah pindah ke kota kecil di pinggirannya seperti Hunstville. Soalnya dokter-dokter yang jago mana ada yang mau berpraktek di kota sekecil itu, apa mau nungguin 'black fly' dan nyamuk :-). Sekali nasib kita sial, dibehandel dokter bego atau loyo, atau kita bisa menjadi cacat seumur hidup atau kita dikirimnya lebih cepat untuk berusaha 'login' di gerbang nirwana alias kita aut mampus dut. Satu cerita adalah mengenai seorang dokter bedah otak paling terkenal di Jakarta, yang prakteknya berjibunan sehingga menantu temannya mertua saya, menjadi buta karena si dokter sudah loyo (jam 3 sore) ketika mulai mengerjakan tumor di otaknya. Tumor hilang, serabut syaraf mata ke otak ikut amblas salah dikerok. Demikian juga halnya apa yang dialami seorang oom saya yang perlu dioperasi katarak. Kembali dokternya yang paling laku dan operasinya adalah menjelang akhir hari dengan akibat, Anda menduganya tepat, buta juga mata kirinya yang dioperasi. Tentu saja hanya mereka yang masih hidup bisa mensyer kegilaan atau kebegoan dokter kecapean di tanah air ini. Kemarin saya ikutan nelangsa selama sekitar setengah jam mendengarkan syering rinci seorang sahabat saya yang suaminya meninggal di rumah sakit karena kebegoan sang r.s. atau dokter-dokter disitu. Suaminya terkena serangan jantung, dibawa ke rumah sakit di Kuningan itu tetapi diagnosanya akhirnya menjadi batu ginjal dan itulah perawatan yang dijalaninya. Singkat cerita, suaminya terkena lagi serangan dan meninggal ketika pren saya sedang di luar kamar lantaran kamar mesti dibersihkan. Tidak ada proses yang namanya CPR atau defibrilisasi padahal hanya beberapa menit doang pren saya di luar. Pokoknya begitu aut ya sudah, tawakal nasib takdir, padahal lagi abangnya pren saya dokter direktur rumah sakit itu. Bayangkan kalau si Polan atau Badu yang dirawat disana. Jadi mendengarkan semua cerita mengerikan seperti itu, belum betapa pemadatan, komersil alias serakahnya dokter Melayu (maupun Singapur) saya mah pensiunnya di Toronto azha rek :-). Saya yakin Anda tidak mau terlalu cepat kehilangan tayangan oke punya karya Bang Jeha dan akan dengan setia membacanya sampai sekitar 30 tahun lagi :-).

Kalau Anda cermat dan semart mengikuti nomor seri tayangan serial ini, mestinya Anda tahu bahwa nomor yang pertama saya tulis di dalam kunjungan kali ini adalah yang ke 43 dimana 42 tayangan sebelumnya adalah dongengan di kunjungan tahun-tahun lalu. Jadi artinya ada 30 nomor atau sekitar 2 hari sekali saya mendongeng dimana Anda-anda prens saya di luar batanglah yang merupakan 'target audience' utama saya. Bila Anda prens saya di Indo, tulisan saya yang terkadang membandingkan mempersepsikan isi otak si Jeha antara kedua dunia yang pernah dan sedang dihuninya mungkin sering sengak, sarkastis, sinis. Kalau saya jadinya menyinggung perasaan Anda, sori ye, bukan maksud saya. Hati saya masih terkait dengan Indonesia kog, dalam segala bentuknya, suwer! Yang paling menyedihkan saya melihat mengamati masa depan Indonesia adalah pendidikan anak-bangsanya disamping kebobrokan para pemimpin dan elit bangsa ini. Itu sebabnya saya tidak heran bila Anda menyekolahkan anakmu yang masih SD SMP SMA di luar batang. Kemarin ini saya bertemu dengan pren saya yang klenikan dan meyakinkan saya bahwa di tahun 2006, paling lambat 2009 Indonesia akan mempunyai pemimpin yang oke lagi disamping menjadi buah-bibir bangsa-bangsa di dunia di dalam konteks hesbat. Gimana bisa, tanya saya kepadanya sebab kan Pemilu 2004 dan 2009? Karena menurut ramalan primbonnya, pemilu 2004 bakal berdarah, rusuh, sehingga akan muncul sang ratu/raja adil. Sori kulupa tanya jender pemimpin baru Indonesia nanti. Namun, karena klenik dan paranormal sedang 'naik daun', demi kedamaian dan ketenangan hati Anda, EGP-in azha lah ramalan-ramalan model begitu. Kecuali Anda belum kawin, bergegaslah cepetan sebab nanti bisa menyesal, kaga dari dulu-dulunya :-).

Satu topik lagi di seri yang mungkin menjelang terakhir ini. Beberapa hari lalu saya juga bertemu dengan pren saya yang sudah menjadi da'i alias penceramah di dalam bidang agama dan kehidupan, tentunya Islam. Meskipun ia bukan urang awak tetapi dari KalSel, ia mensyer kriteria manusia sehat menurut orang Minang. Pertama, makan tambuah katanya di dalam aksen Padangnya. Orang yang lahap dan menikmati makannya memang pertanda dia sehat, apalagi kalau perutnya tidak buncit :-). Kedua tidur ngaruak, ngorok, katanya lagi. Tanda orang yang hepi memang nyenyak tidurnya. Ketiga menyangkut urusan pencernaan dan knalpot kita, buang air lancar. Keempat, nah ini die, si "buyung" bisa disuruh-suruh, katanya lagi dan untuk ini Bang Jeha stuj sek. Jadi meskipun Anda bukan orang Minang, saya kira kriteria di atas universil alias berlaku bagi cowok-cowok dimanapun juga. Bagi para cewek, sori berats saya tidak sempat bertanya kepada pren saya Pak Da'i apa kriterianya tapi mestinya tidak berbeda jauh. Yang keempat kemungkinan tidak menampik kalau ada "buyung" yang mau ber-lam lekom sebab ia dapat membuat Anda tetap awet muda, sudah berumur 53 masih seperti 35 :-), ihik ihik. Permisi dulu, selamat merenungkan petuah pren saya Pak Da'i, sampai berjumpa, bai bai lam lekom.

Home Next Previous