Prakata: Berkat kasih-Nya semata, saya dan Cecilia berhasil menikmati lagi liburan kami di akhir tahun 1998 awal 1999 di kota kelahiranku, Betawi. Mulai hari ini, akan kutayangkan kisah serial lanjutan, dimulai dengan yang ke 8 (sampai dengan yang ke 14) melanjutkan kisah 'Serba-serbi' sebelumnya di tahun-tahun lalu.
Antrian Gila. "Gilak sekali," kataku ke Cecilia pada saat saya masuk ke bandara Pearson International menuju Air Canada counter melihat ratusan orang yang sedang antri. Sudah tidak memiliki sama sekali "ilmu nyelak", dengan tabah saya berjalan membawa kereta dorongku menuju ke ujung antrian. Penasaran karena itulah antrian 'check-in' terpanjang selama hidupku, di 26 Desember 1998, kuminta Cecilia yang antri dan kuberjalan menuju awal antrian. Dengan cepat menghitung 5 per 5, kuhitung tak kurang dari 200 orang yang antri di counter untuk jurusan Amrik. Tak heran, ada 1000 orang yang ke ingin ke USA pada saat bersamaan, dengan hanya kurang dari 10 counter, inilah yang terjadi. Masih sekitar 2 jam sebelum jadwal keberangkatan pesawatku ke LA saat itu tetapi tinggal setengah jam ketika kami sampai di ujung antrian. Pada saat itu, lalu diumumkan bahwa mereka yang akan ke LA, dipersilahkan untuk langsung menuju express counter. Percuma, alhasil pesawat kami terlambat hampir 1 jam dengan akibat kami harus berlarian dari terminal 2 di bandara LA menuju Tom Bradley International. Jelas ketika kami tiba keesokan harinya di Cengkareng setelah perjalanan non-stop sekitar 38 jam, koper kami tidak berhasil ikut "lari" di bandara LA.
Mendarat di Cengkareng. Berkat banyak latihan mencari susah di Kanada alias canoe camping, kami berdua tidak terlalu teler meski sedikit mengantuk ketika pesawat SQ yang membawa kami mulai menurun menuju Cengkareng. Permainan Tetrix yang tersedia bagi setiap penumpang di pesawat jumbo 747 ini berhasil mengurangi deg-deg- annya hati untuk melihat akan seperti apa kota Betawiku sehabis "pesta BBQ" di bulan-bulan lalu. Karena terlalu banyak yang dipikirkan atau mungkin sudah mulai pikun, saya lupa mengisi kartu imigrasi ketika tiba di muka petugas. Tak lama menunggu koper-koper yang keluar, saya lalu mencari petugas SQ. Ketika kumasuk ke kantor 'lost and found' dan memberitahukan siapa daku, si petugas berkata, "Oh ya pak, ada telex dari Singapore bahwa kedua koper bapak akan datang dengan pesawat SQ 154 jam 1 siang nanti." Ya, syukurlah, rupanya doa satu dua sohibku warga Net ini yang kutahu pandai menyimpan rahasia mengenai rencanaku ke Betawi, lumayan suksesnya :-). Kalau kami oke- oke saja, tidak demikian halnya dengan kakak Cecilia yang menjemput kami di bandara. Melihat semua penumpang SQ sudah keluar dan kami berdua tidak juga nongol, ia merasa pasti bahwa kami sedang di-interogasi :-). Memang, karena lamanya proses pengisian formulir koper hilang, kami berdua penumpang yang paling akhir keluar. Pantas pelukannya kepada adiknya muantep buanget. :-)
Asyiknya Cem-Macem Makanan. Mulai dari hari pertama kami di Jakarta, sampai dengan hari terakhir, salah satu kenikmatan pulang kampung, mencicipi cem-macem makanan, boleh kami alami tanpa sekalipun mengalami gangguan di 'food processing system' kami. Kalau satu persatu jenis makanan, buah, camilan, harus kutulis, atau akan membuat air liur Anda yang tinggal di luar batang menitik, atau 10 KB data akan terpakai. Waktu saya menimbang tubuh di timbangan akurat di San Francisco airport kemarin, angka jarum berhenti di 160, berarti saya mengalami kenaikan sekitar 10 pound dari beratku saat masih bersepeda alias naik 4.5 kg atau 1.5 kg setiap minggunya selama di Jakarta :-), eh :-(. Tidak heran kalau saya berkata, hampir tiada hari tanpa makanan "baru" yang tidak kami jalani. Dari mulai buah mahal di Toronto bernama duren, sampai ke makanan bernama lindung, sampai ke camilan bernama sopia (kue berisi kacang hijau), telah kunikmati. Oleh karena itu, melihat tingginya salju sepanjang Highway 401 dari airport ke rumah, melihat anak-anak hanya menyekop salju di muka rumah cukup untuk satu mobil padahal 4 mobil dapat parkir di depan garasi kami, hatiku tidak terlalu kecewa. Itulah olahragaku di hari-hari esok, menyekop timbunan salju satu ton. Kata anak kami, curah salju di bulan Januari ini, meski baru setengah bulan terlampaui, sudah memecahkan rekor seabad (sejak ada statistik). Nah, demi terjadinya debit-kredit di dalam tubuhku, pembakaran "cadangan enersi" yang menumpuk di sekitar perut, saya mau menyekop salju dulu sekwintal dua kwintal. Sampai berjumpa di kisah selanjutnya.