Pak Ogah. Bila Anda anak Betawi seangkatan dengan saya seperti si Papi Luki :-) dan beberapa warga ROM P-Net ini, Anda akan manggut-manggut bila saya katakan, di jaman kami masih kanak-kanak, tidak banyak yang namanya 'u-turn'. Ya, karena sepinya lalulintas, tidak perlu ada pembatas jalanan di tengahnya. Yang namanya Jl. Gunung Sahari maupun Pintu Besi (sekarang KH Samanhudi) di dekat kampungku adalah jalan yang tak terbelah dua dan orang dapat belok seenaknya dimana saja. Lain halnya kini. Bukan saja jalan utama, jalan-jalan kecil di tiap sudut kota, mempunyai 'u-turn' atau perputaran. Suatu fenomena menarik bagiku di kunjungan kali ini adalah semakin menjamur tumbuhnya apa yang dinamakan "Pak Ogah". Mereka adalah, umumnya, anak-anak tanggung atau remaja, yang menyetop lalulintas seenak-jidatnya dan lalu "mengharapkan" imbalan uang sebesar Rp 100 dari "pemakai jasa" mereka. Mula-mula kukira julukan itu diberikan karena umumnya para supir "ogah" untuk memberi uang itu. Tetapi ternyata diambil dari nama tokoh serial komedi di TV yang konon selalu minta uang "cepek" alias seratus rupiah. Sudah banyak negara yang kukunjungi tapi mungkin hanya di Jakarta saja ada "atraksi turis" bernama Pak Ogah :-(.
Belanja di Mangga Dua. Seperti pernah kuceritakan di tayangan lalu, kesenangan terbesar anak kami yang paling kecil bila ia ke Jakarta, adalah belanja di Mangga Dua karena, maklum anak muda, ia masih senang berpakaian yang membuatnya jadi kece. Bila Anda dahulu suka ke Glodok untuk membeli barang aneka rupa, terutama peralatan buat komputer Anda, baik perangkat lunak maupun keras (hardware), Anda tentu tahu toko-toko itu sudah lenyap terkena "BBQ bulan Mei" :-(. Nah, sebagian besar para pedagang komputer itu ternyata pindah ke Mangga Dua. Karena tahu saya sedang jadi PENGACARA, "pengangguran" tetapi banyak acara, saya dititipi membeli external modem ke Mangga Dua oleh adik iparku. Setelah mengetahui berapa kira-kira harga di Amrik dan harga pasaran di Indonesia saat ini, kutanya ke seseorang di toko yang mempunyai stok. "Berapa duit koh?" "Satu juta seratus," kata si engkoh. "Nyang bener, di seberang cuma sejuta." "Ya, itu sebelon dollar naek tadi pagi," katanya lagi. Gila sekali, kataku di dalam hati. Rupanya harga barang di Jakarta sekarang mengikuti kurs dollar jenis spot. "Ah uda turun lagi kog, barusan saya denger Sonora, dari 8100 jadi 7800." "Oh ya?," katanya. Lalu, cukup percaya kepada Bang Jeha atau ia pura-pura belum tahu tadi, ia melakukan penghitungan lagi sambil memberikan harga akhirnya. "Udah sejuta lima puluh deh." Karena ia mempunyai stok dan demi ekonomi Indonesia serta penghargaan akan 'resilience' atau sikap hidupnya yang tahan-banting kali ini kutidak pakai akal untuk "menawar dan pura-pura pergi". Kuminta satu kabel untuk menghubungkan modem itu ke 'communication port' dari sang komputer di dalam harga itu, yang disetujuinya. Alhasil US Robotics voice modem 56K mulai kutengteng sejak itu. Tidak lama kemudian, di toko lainnya, iparku yang lain menawar baterei untuk handphone-nya. Pada saat baterei itu sudah dicoba dan cocok dan hendak membayar, orang berlarian sambil berteriak, "Kerusuhan, kerusuhan!" Serentak, tanpa banyak cingcong, semua pemilik maupun pegawai toko di sekitarnya mulai memasukkan barang-barang dagangannya dan menutup toko mereka. Adrenalinku dipacu dan kucari jalan keluar yang kira-kira aman, kalau-kalau ada massa yang menyerbu. Namun, tidak sampai 5 menit, proses "pengamanan diri sendiri" ini sirna. "Engga ada apa- apa, engga ada apa-apa," demikian orang mulai berteriak lagi. Yang mempunyai kesempatan dari tingkat atas untuk melihat ke bawah atau keluar, lalu melongok dan memang tidak ada apa-apa. Demikian mudahnya untuk "menyulut kerusuhan" atau menimbulkan keonaran di masyarakat kota Jakarta saat ini. Cukup beberapa orang berlarian dan menyebarkan issue, langsung akan ditanggapi dan tiada risiko pula :-(. Kasihan sekali penduduk yang harus terus hidup di dalam suasana senteres dan traumatis seperti itu. Hatiku diliputi kesedihan dan pengalaman berbelanja, apalagi bukan untuk diri sendiri, menjadi tidak asyik sama sekali.
Bertemu Papi Luki. Agar tidak merepotkan banyak orang di Jakarta :-), sengaja di kunjungan kali ini, keberangkatan maupun keberadaanku cukup kurahasiakan. Namun, karena sudah berjanji dengan Mas Philipus waktu ia bertandang ke Toronto tahun lalu bahwa saya juga akan mengunjunginya bila ke Jakarta, saya sempat berjumpa dengannya. Mempunyai hutang kepada Bung Luki berupa 'rain cheque' makan ketoprak Bang Makmur :-), maka saya minta tolong Mas Philip untuk mengantarkan saya dan Cecilia ke rumah Bung Luki yang letaknya memang di tempat jin buang anak. Kalau saja Jeffry anak bae P-Net ini tidak suka bertandang ke Papi Luki dan dengan demikian memberi kursus kilat bagaimana menemukan rumah si Papi, pastilah kami sudah akan nyasar dan bertemu jin-jin beneran yang sekarang sebatalyon jumlahnya di kota Betawi. Pertemuan dengan Bung Luki sungguh berkesan terutama bagi saya pribadi karena terakhir saya berjumpa dengannya di saat kami masih menjadi anggota PMKRI di akhir tahun 60-an. Sisa-sisa kegantengannya :-) masih tampak sehingga berhasil menyunting mojang Bogor. Meski komunikasi sedikit sulit, tetapi tidak mengurangi kemampuan saya untuk ngeledek si Papi "tua-tua kelapa" ini :-). Isi ledekan tentu off the record dan cukup dinikmati oleh kami berempat, Bung Luki, nyonyaku dan Mas Philip. Yes Bung Luki, I felt so happy being able to meet and shake hand and hug you. May you always be blessed by our God throughout your remaining life. Thank you for sharing your courage and for your utmost hospitality. I dedicate this posting to you and all your P-Net friends who have supported you through their love for humankind. Until my next story, best regards from Toronto.