Teresa of The Poor (1)

Otobiografi setebal 143 halaman dari Mother Teresa ditulis seorang wartawan
dan pengarang buku yang terkenal dari Itali, Renzo Allegri. Ada beberapa
otobiografi lainnya yang ia pernah tulis termasuk Padre Pio dan Bapa Suci
namun baru kali ini saya membaca tulisannya. Ternyata sukar mewawancarai
Mother Teresa dan bertahunan Renzo berusaha melakukannya. Saya menyukai
caranya menulis mengenai Mother Teresa, tidak "kering" dan saya yakin ia
tulis dengan penuh semangat dan kekaguman. Buku ini baru saja saya beli dan
meski masih ada sekitar 30 buku yang antri di rumah untuk saya baca, langsung
saya naikkan ia ke tangga pertama. Mengapa? Sebab minggu lalu saya baru saja
membaca tulisan mengenai Bill Gates di majalah Time (edisi 13 Januari). Saya
tidak berminat membaca otobiografinya tetapi secara kebetulan, tidak sebulan
sekali, saya masuk ke ruang perpustakaan kantor dan karena tulisan itu singkat
langsung saya baca. Kesan saya, 'pathetic' kata orang sini, menyedihkan.
Salah satu orang terkaya di dunia ini, dengan harta US$ 24 billion ternyata
orang miskin dari kacamata saya. Salah satu statementnya di dalam wawancara:
"just in terms of allocation of time resources, religion is not very efficient
... There's a lot more I could be doing on a Sunday morning." :-( :-( Hanya
satu harapan saya, isterinya Katolik :-) dan pasti rajin mendoakan si Bill.

Nah, saya menjadi "haus" setelah membaca mengenai si Bill dan begitu 'Teresa
of The Poor, The Story of Her Life' datang, langsung saya 'habek' (bahasa
Betawi artinya dimakan dengan lahap). Saya ingin membedakan kedua tokoh
manusia di jaman kita hidup saat ini. Yang satu pengusaha serba sukses dan
kaya raya hidup di tengah gemerlap dan kemilaunya dunia dan kita tahu apa saja
yang dilakukannya. Yang lainnya hanya memiliki "harta" di satu tas karung dan
hidup di tengah orang gelandangan serta sampah masyarakat, namun Anda akan
tahu lebih banyak apa yang dilakukannya 'to make the world a better place to
live' dengan membaca tayangan ini. Semoga. Akan saya tutup tayangan pertama ini
dengan komentar dari Renzo di awal bukunya supaya Anda dapat melihat
perspektifnya menulis. "I didn't want a formal meeting with her, to ask her some
questions and force some answers out of her. I was not interested in such an
interview. I wanted to be able to talk with her peacefully, win her trust, and
get her to confide in me about her life, her extraordinary work and the feelings
and emotions she experienced as she worked among those rejected by humanity.
In short, I wanted to get to know this exceptional woman as deeply as possible
through some brief encounters, and have the good fortune of penetrating the
depths of hear heart and of her soul at least a little. I wanted to 'spy'
into the heart and soul of a saint."

                        Teresa of The Poor (2)

Di awal bukunya Renzo memulai kekagumannya akan Mother Teresa dengan menyitir
ucapan-ucapan tokoh ternama tentang beliau. Mendiang Indira Gandhi umpamanya
berkata bahwa di hadapan Mother Teresa, kita merasa rendah dan malu akan diri
kita sendiri. Memang buku ini bukan tulisan mengenai beliau yang pertama yang
saya baca. Setiap kali ada tulisan mengenai Mother Teresa di mana saja, tidak
pernah saya lewatkan. Jadi pernyataan Indira itu tidak aneh. Kemudian Renzo
menuliskan banyak hadiah penghargaan yang pernah diterima Mother Teresa, a.l.
hadiah paling tinggi negeri India, Padmashree Award (th 62), Magsaysay Award
dari Filipina di tahun yang sama dan Hadiah Perdamaian Yohanes XXIII dari Paus
Paulus VI di tahun 71. Masih banyak yang lainnya termasuk Hadiah Nobel
Perdamaian di tahun 79. Disamping sederetan hadiah itu, gelar doktor
kehormatan yang diterimanya tidak kalah panjang namun beliau selalu mengulangi
kerendahan hatinya dengan berkata "I am nothing".

Renzo tidak menyembunyikan kekaguman dan kebahagiannya dapat bertemu dan
berkenalan dengan beliau. "Her words have been deeply impressed on my mind
and will always remain so," katanya. Ia mengatakan bahwa buku yang ditulisnya
bukanlah suatu otobiografi yang umum tapi suatu cerita dari pertemuan maha
panjang seorang wartawan dengan seorang "santa".

Mother Teresa lahir pada tgl 27 Agustus 1910 di kota Skopje, suatu kota
Albania di daerah Kossovo yang beberapa tahun kemudian menjadi bagian dari
Yugoslavia. Keluarganya keluarga Katolik yang bahagia (good nurturing Mas
Noordin :-)). Ia diberi nama Agnes oleh ayahnya Nicola Bojaxhiu dan ibunya
Drone. Nama panggilannya Gonxha yang berarti sekuntum bunga. Ayahnya seorang
pengusaha dengan latar belakang farmakologi. Ia masih mempunyai abang, Lazar
yang 2 tahun lebih tua dan adik, Agatha yang 3 tahun lebih muda.

Dari semua cerita yang pernah saya baca, belum pernah saya mengetahui mengapa
Mother Teresa seolah-olah menyembunyikan pengalaman hidupnya di masa kecilnya
atau di Yugoslavia. Ternyata traumatis atau ia juga 'hurting people' :-).
Bukan, bukan karena peristiwa model Rengasdengklok atau Tasikmalaya meski ia
hidup ditengah-tengat umat Islam alias Katolik adalah minoritas di Skopje.
Pada saatnya akan Anda baca kisah "rahasia" keluarga Mother Teresa ini. 

                        Teresa of The Poor (3)                

Renzo mulai mengenal karya-karya Mother Teresa sejak tahun 1971. Ia membaca
cerita dari Calcutta dimana beliau berkarya di antara orang paling miskin
dari yang miskin. Mengenai rumah sakit untuk merawat orang yang akan 
meninggal yang didirikan beliau pada tahun 1952. Calcutta sedang kebanjiran
ribuan pengungsi dari Pakistan dan puluhan ribu keluarga di barat daya
Benggali baru saja mengalami musibah angin puyuh waktu itu. Orang-orang
menderita kelaparan dan terkena penyakit serta meninggal terlantar di jalan.

"They are God's children and they should die with a smile on ther lips," kata
beliau. Setiap pagi Mother Teresa dan suster-susternya berkeliling kota dan
mengumpulkan mereka yang sekarat di pinggir jalan. Para suster membawa mereka
ke rumah sakit, membersihkan dan menaruh di atas ranjang dan merawat dengan
penuh kasih sampai mereka menghembuskan napas yang terakhir. Apa yang 
dilakukannya luar biasa karena yang ditolongnya bukan anak-anak yang usianya
masih panjang atau anak muda yang mungkin suatu ketika akan bermanfaat bagi
masyarakat. Merawat mereka dilihat dari kacamata manusia biasa hanyalah
memperpanjang penderitaan tetapi Mother Teresa mempunyai "kaca mata" lain.
Bagi beliau, orang-orang amburadul ini adalah anak Tuhan, saudara-saudarinya
terkasih dan ia tidak ingin mereka melapor kepada St.Petrus bahwa di dunia
tidak ada orang yang peduli akan mereka.

Itulah yang antara lain membuat Renzo ingin mengenal Mother Teresa. Pada 
tahun 1973 beliau datang ke Milan, Itali untuk mengikuti suatu pertemuan kaum 
muda yang mempunyai karya kerasulan. Bersama 10 ribu kaum muda, Renzo melihat
Mother Teresa di dalam kesederhanaan beliau. Hanya berpakaian sari dan meski
suhu dingin, hanya memakai baju wool sederhana dan sandal kulit. Beliau maju 
menghampiri mikropon sebelum melepas anak-anak yang akan berprosesi dan 
berkata," Let each of us do our part. You use your feet and I'll use my knees. 
While you are walking I will be praying for your footsteps." Lalu beliau   
masuk ke gereja dan berdoa sampai prosesi selesai. Keesokan harinya Mother
Teresa mendapat penghargaan medali emas dari walikota Milan. "Itu emas murni,"
kata seseorang. "Then I'll have to give it to someone who is hungry," kata
beliau. Sejak saat itu keinginan Renzo untuk bertemu semakin kuat tetapi
beberapa tahun berlalu sebelum impiannya terjadi.

                        Teresa of The Poor (4)

Prolog: Trims kepada Anda semua yang mengingat si penulis resensi di dalam
doa-doa Anda bagi kesembuhan kakinya. Saya "selamat" melewati malam pertama 
tidur di atas sofa dengan kaki terangkat keatas dan berusaha tidak memakai
painkiller lagi sambil mempersembahkan penderitaan saya bagi Anda atau 
keluarga Anda yang menderita yang saya "pelajari" dari Mother Teresa :-).

Pada tahun 1975 Renzo bertemu dengan Uskup Paul Hnilica untuk wawancara,  
seorang uskup welas-asih juga yang ternyata mengenal baik Mother Teresa.
Uskup berjanji akan mengenalkan beliau dengan Renzo. Meskipun sekretaris
Uskup Fr.Sergio Mercanzin juga berjanji akan berusaha memperkenalkan Renzo,
ia masih harus menunggu beberapa tahun. Mother Teresa tidak suka diwawancarai. 
Bukan karena tidak senang dengan wartawan tetapi karena beliau tidak suka 
berbicara mengenai diri sendiri. "I'm simply an instrument in God's hands,"
katanya berulang kali. "If I've done something good, it's not to my credit.
I've only carried out the Lord's inspiration as best as I could. So you
shouldn't speak about me but about the work the Lord has inspired me to do."

Sebagai wartawan Renzo sudah biasa berhubungan dengan segala lapisan 
masyarakat. Kaum politikus, aktor-aktris, penyanyi, pengusaha, pengarang,
seniman, ahli hukum, adalah orang-orang yang sadar bahwa publikasi berguna
bagi diri mereka. Mereka senang sekali diwawancarai. Mereka hanya menolak
diwawancarai untuk "menaikkan harga" mereka. Kaum rohaniwan pun tidak jauh
dari kelompok di atas. Mereka tahu memanfaatkan publikasi, terkadang mereka
mencari-cari kesempatan. Hampir tidak ada orang yang menolak diwawancarai 
Renzo. Hanya Mother Teresa yang melakukannya. Meskipun Uskup Paul yakin bahwa
wawancara akan membuahkan hasil yang dapat membantu karya Mother Teresa,
setiap kali beliau datang ke Roma, tak diacuhkannya usul Uskup. 

Baru kemudian setelah Renzo mengenalnya ia sadar bahwa cara berpikir Mother
Teresa berlainan dari orang kebanyakan. Suatu ketika, pada saat beliau 
berbicara bagaimana orang dapat membantu, beliau berkata bahwa tidak pernah
beliau meminta sumbangan dari siapapun. "My work is the work the Lord desires. 
He is the one who has to be interested in keeping it alive. When He no longer
gives me what is needed, it means that the work no longer serves Him. I pray
but I don't ask for anyone's special intervention."

Akhirnya Renzo dapat juga bertemu dengan Mother Teresa. Beliau berbicara
dengan semangat namun tanpa penekanan. Nadanya ramah, suaranya manis dan
meyakinkan. Duduk di bawah sebuah pohon mengitari meja, beliau kelihatan
sangat kecil dan kurus. Bahunya yang terkena reumatik membuat gerakan kepala-
nya terlihat sukar, mungkin menyakitkan. Matanya jernih seperti mata kanak-
kanak tetapi tangannya kasar berkat kerja keras yang dilakukan. Kakinya yang
bersandal kasar kelihatan cacat karena sudah dipakai lebih dari 40 tahun 
berjalan di atas tanah, lumpur, dan batu ribuan kilometer.

"Bilamana Anda merasa terpanggil untuk menjadi suster?", tanya Renzo. "The
Lord's call is a mystery. Maybe it's only when we are in paradise that we'll
be able to know the deepest 'whys' of our life. I believe I first felt a  
clear call from the Lord for living a life dedicated to him around twelve
years of age. I was living with my family in Skopje. My mother was a deeply
Christian woman; maybe her example and her love for the poor had a decisive 
influence on me. But at that time, I didn't want to be a nun. It's only
much later that I answered the Lord's call, when I was eighteen."

                        Teresa of The Poor (5)

Mother Teresa tidak pernah mau berbicara mengenai keluarganya. Bila ada yang
bertanya mengenai 'Pengalaman Anak Skopje-nya' :-) ia selalu memberikan
jawaban yang singkat dan bernada menghindar. Ternyata kebisuannya disebabkan
drama keluarga. Ayahnya dibunuh pada saat masih muda karena politik dan 
ibunya menderita sampai akhir hayatnya dibawah tahanan rezim komunis. Karena
hubungan dengan kedua ortunya sangat erat, beliau ikut menderita. Namun beliau
mendapat rahmat yang hebat untuk mengampuni. Dengan orang asing beliau tidak
pernah mau berbicara mengenai masa lampau yang mengerikan itu. Lazar abangnya
yang bercerita kepada Renzo.

Ketika Mother Teresa menjadi terkenal karena karya kemanusiaannya di India,
ibu dan adiknya tinggal di Tirana, Albania. Rezim yang bengis a la komunis
Cina berkuasa disana. Jadi ia menghindar dari pertanyaan mengenai latar

belakangnya agar supaya ibu dan adiknya tidak 'kebeberan'. Beliau tahu bahwa
keduanya hidup sengsara dan bertahunan beliau berusaha agar kedua wanita itu
dapat keluar dari Albania tetapi gagal. Ia tidak pernah berjumpa lagi.

Keluarga Mother Teresa termasuk berada dan religius. Mereka orang Albania dan 
berbahasa Albania meski Skopje termasuk Yugoslavia waktu itu. Ayahnya, Nicola 
pengusaha dan mempunyai perusahaan konstruksi. Ibunya, Drone juga dari keluarga
berada dan menikah ketika baru berumur 16 tahun. Pada usia 18 ia melahirkan 
Lazar dab Mother Teresa dilahirkan ketika Drone hampir berusia 20 tahun.
Agatha si bungsu dilahirkan 3 tahun kemudian. Keluarga Bojaxhiu adalah  
keluarga bahagia. Mereka tinggal di rumah yang indah dengan taman yang penuh
bunga. Mayoritas penduduk Skopje Islam, penganut Ortodoks Yunani cukup banyak
tetapi Katolik merupakan minoritas kecil. Seperti halnya kelompok minoritas
keluarga Bojaxhiu bangga akan iman yang mereka anut dan mereka menjalankannya
dengan penuh semangat dan tekad. Ada sebuah kapel kecil hanya beberapa langkah
dari rumah mereka dan Drone mengajak anak-anaknya untuk berdoa dan ikut Misa
Kudus setiap pagi seusai Nicola berangkat kerja. Bila malam tiba, Drone
mengumpulkan keluarganya untuk berdoa rosario. Satu perkataan Yesus yang
selalu diingat Drone, "Apapun yang engkau lakukan untuk orang miskin karena
kasih kepada-Ku, kau lakukan bagi-Ku."

                        Teresa of The Poor (6)

Dari ketiga bersaudara, Agnes, calon Mother Teresa yang paling rajin 
mengikuti contoh hidup dan mendengarkan nasihat ibu mereka. Lazar bercerita
mengenai seorang janda miskin dengan 7 anak yang masih kecil-kecil yang
kerap dikunjungi mereka. Agnes yang paling rajin dan sering pergi sendirian
mengunjungi keluarga itu dan membawakan makanan. Ketika sang ibu meninggal
boleh dikata anak-anaknya tinggal di keluarga Bojaxhiu. Ketika berbicara
mengenai panggilannya, Mother Teresa berkata, "I wouldn't be able to say 
whether my mother's example and her love for the poor or my frequent 
attendance at church had the most influence on me as my vocation matured."

Kedamaian dan ketentraman tidak berlangsung lama bagi keluarga Bojaxhiu
karena Nicola "main politik". Ia berjuang bagi penduduk daerah itu untuk
tetap masuk ke dalam Albania, Pada tahun 1913 Albania memproklamirkan
kemerdekaan dan keluarga Bojaxhiu merayakannya. Tetapi tidak lama kemudian
daerah Kossovo menjadi bagian dari Yugoslavia meskipun penduduknya "anti-
integrasi" dan ingin tetap bersatu dengan Albania. Akibatnya daerah itu
menjadi kancah pertempuran dimana serdadu dari Belgrade kerap datang
meramaikan. ABRY (ABR Yugoslavia) ini memang tahu siapa-siapa yang harus
"diamankan" dan ayah Agnes sebagai salah seorang tokoh, masuk ke dalam
daftar. Anda semua pengalaman alias dapat meneruskan sendiri kisah di atas
mengenai apa yang terjadi dengan Nicola Bojaxhiu. Singkat kata ia mati 
diracun di dalam usia 46 tahun. 

Keluarga mereka menjadi miskin karena sebelumnya pun, usaha Nicola sudah 
hampir bangkrut "direkayasa" penguasa Yugoslavia. Sendirian Drone mencari
nafkah bagi ketiga anaknya yang masih kecil, Lazar 11, Agnes 9 dan Agatha 6,
dengan berjualan keset, hasil sulaman dan hasil kerajinan seniman lokal yang
lainnya. Mereka mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup. Agnes berkembang 
menjadi gadis yang saleh mengikuti jejak ibunya dan menyisihkan waktunya untuk 
membantu si miskin. Pada usia 18 tahun ia meninggalkan keluarganya, untuk tak 
pernah berrjumpa lagi dengan ibu dan adiknya, masuk biara. Ia memilih masuk 
Kongregasi Our Lady of Loreto, berangkat ke Irlandia dan kemudian ke India.

                        Teresa of The Poor (7)

Ini yang dikatakan Mother Teresa mengenai panggilannya yang ia rasakan waktu
berumur 12 tahun. "I was going to a non-Catholic school but there were some
very good priests in the parish who were zealously and dilligently caring for 
our souls. I faithfully took part in any religious event in our parish. One
day a Jesuit missionary to India came to preach in our church. He spoke about 
his works in that country. His words made a deep impression on me. My heart 
was overwhelmed with a strong desire to go the missions and help spread the 
kingdom of God. I spoke to that Jesuit priest about my desire and he advised 
me to pray to know God's will."

Namun pada saat itu Agnes tidak ingin untuk menjadi suster. Lagipula mayoritas 
penduduk Skopje adalah Islam jadi jarang ia melihat seorang suster. Keinginan 
menjadi misionaris itu lalu terpendam di dalam hatinya selama beberapa tahun. 
Tahun demi tahun berlalu, Agnes tetap membantu ibunya di rumah maupun di dalam 
karya-karya parokinya. "Ia anak yang cantik," kata Lazar. "Sangat sensitif dan 
senang musik, bermain mandolin maupun piano serta menulis sajak."

Di parokinya Agnes termasuk suatu kelompok yang dipimpin oleh para Jesuit.
Beberapa pastor yang dikenalnya pergi ke India dan berkarya bagi misi di
Bengali. Para pastor ini sering menyurati teman-temannya di Skopje. Seorang
yang bernama Fr. Anthony rajin sekali menulis, seminggu satu dua surat, yang 
berisi cerita-ceritanya dan rekannya di tanah misi. Misi mereka ada di daerah
Noakhali, suatu daerah terpencil di delta sungai Ganga. Dua setengah juta
manusia hidup berdesakan di pulau-pulau kecil dan rawa-rawa disitu. Namun
Fr. Anthony menulis dengan bersemangat dan menggambarkan kebahagiaan maupun
kebanggaannya boleh menjadi misionaris Kristus. Suratnya beredar di antara
anggota kelompok dan sebagian dimuat di buletin mereka. Agnes membacanya.
Keinginannya yang terpendam muncul kembali dan saat itu ia hampir berumur 18
tahun. Ia merenung dan berdoa lalu berbicara kepada ibunya dan pastor paroki.
Ia ingin berkarya sebagai misionaris di Bengali dan pada saat itu hanya ada
satu kemungkinan, yakni menjadi suster. Ia lalu menyurati Kongregasi Our Lady
of Loreto yang berpusat di Dublin, Irlandia, karena mereka berkarya di 
Bengali. Ia diterima dan berangkat ke Dublin. Beberapa bulan ia disana dan
lalu berangkat ke Darjeeling, India pada bulan Desember 1928 untuk memulai
masa novisiatnya. Setelah 2 tahun menjalaninya ia mengucapkan kaulnya dan
menjadi suster di Kongregasi tersebut. Mengikuti peraturan yang berlaku,
Agnes mengganti namanya menjadi Teresa, yang diambilnya dari Santa Teresa
dari Lisieux yang dikaguminya. Seperti Santa Teresa yang terkenal akan 
ketaatannya, Agnes juga bertekad untuk taat dan setia kepada pengantinnya
Yesus Kristus dengan cinta yang total. Ia lalu ditugaskan untuk pergi ke
Entally di pinggiran timur Calcutta ke suatu sekolah yang besar milik
Kongregasi agar mendapat ijazah guru sebab pembesarnya ingin ia menjadi guru.
Mother Teresa mentaatinya.

                        Teresa of The Poor (8)

Agnes berangkat ke India untuk menjadi misionaris meninggalkan semua yang
dicintainya untuk mengikuti jejak Fr. Anthony berkarya di tengah-tengah orang
miskin. Tetapi Penyelenggaraan Ilahi mempunyai rencana lain. Ia masuk biara,
mengucapkan kaul dan menjadi suster sambil selalu berharap menjadi misionaris.
Tetapi apa yang terjadi, pembesarnya mengirimnya untuk menjadi guru sejarah
dan ilmu bumi di suatu sekolah puteri anak-anak kaya raya India. Namun, ia
menyerahkan dirinya ke dalam tangan Tuhan. Ia baru saja menyelesaikan masa
novisiatnya dan paham bahwa yang terpenting di dalam kehidupan rohani adalah 
mengikuti kehendak-Nya. Pembesarnya telah mengajarkan bahwa mereka yang 
membiara harus mempunyai sifat patuh. Mother Teresa memang berhati damai. 
Pembesarnya menyuruhnya mengajar, ia mengajar. Ia tahu bahwa ia dapat menjadi
guru dimana saja, Skopje, London, Dublin, atau New York, tetapi bukan tugasnya
untuk menilai. Ia hanya ingin patuh dan untuk 18 tahun lamanya ia mengajar
sejarah dan ilmu bumi.

Mother Teresa mengajar di sekolah Suster-suster Loretto di Entally yang 
berbahasa Bengali. Selain mengajar ia juga mempunyai tugas untuk membina
iman para muridnya. Anak-anak puteri ini pada suatu saat akan menjadi wanita-
wanita India yang berpengaruh, ibu, guru, pemimpin, manager. Jadi Mother
Teresa menunaikan tugasnya dengan penuh semangat. Dengan cepat ia menjadi
seorang guru yang baik sampai kemudian menjadi kepala sekolah itu. Beliau
juga diangkat untuk mengawasi suatu kongregasi suster-suster projo, Daughters
of St. Anne, suster-suster India yang mengajar di sekolah Bengali.

Tahun demi tahun berlalu, Penyelenggaraan Ilahi dengan cara yang misterius
mempersiapkan Mother Teresa bagi karya beliau di kemudian hari. Tuhan
menghendaki agar beliau bukan saja berkarya di antara orang miskin, tetapi
menjadi pemimpin suatu karya misi yang lebih besar, pendiri suatu ordo yang
bertujuan membawa terang kasih-Nya kepada yang termiskin dari orang-orang 
miskin di dunia. Tugas sukar seperti itu membutuhkan persiapan yang tinggi
kwalitasnya. Tuhan membantu agar Mother Teresa berkarya bertahunan bagi
pembinaan iman kaum muda, mengawasi perkembangan suatu kongregasi suster
dan dengan demikian menyiapkan beliau untuk menjadi pendiri suatu kongregasi
revolusioner suster-suster misi.                           

                        Teresa of The Poor (9)

Sekolah dimana Mother Teresa mengajar terletak di daerah paling indah dari
Calcutta. Daerah itu dibangun dengan gaya Barat dimana istana-istana gubernur 
Inggris berada. Suasana sekolah menyenangkan dan damai. Di dalam salah satu
suratnya di masa itu beliau menulis: "I teach and that is my new life. Our
high school is splendid. I like teaching. I'm responsible here for an entire
school and for so many girls who like me a lot." Tinggal di sekolah itu,  
Mother Teresa tidak bertemu dengan orang miskin, gelandangan, bromocorah
dari Calcutta, orang yang sekarat dan meninggal di jalanan karena kelaparan.
Ia mengajar di ruangan yang besar dan terang, berdoa di kapel yang indah,
berjalan-jalan di taman yang aduhai, tidur di kamar yang nyaman di atas 
kasur yang empuk dikelilingi kelambu penangkal nyamuk. 

Namun semuanya itu tidak mempengaruhi pribadinya. Beliau tak pernah melupakan
idolanya, karya misi yang membakar hatinya waktu ia masih di Skopje. Banyak 
otobiografinya yang mengatakan ia tidak tertarik akan orang miskin ketika
masih di sekolah itu. Hal ini tidak benar. Orang miskin selalu ada di dalam
hati dan pikirannya namun ia tidak membicarakannya karena ia merasa Tuhan
menginginkannya melakukan pekerjaan yang lain. 

Di sekolah itu ada suatu kelompok kaum muda seperti kelompoknya di Skopje.
Anggota kelompok tersebut melakukan berbagai karya karitas dan sosial di
luar sekolah. Antara lain, mereka mengunjungi rumah sakit terdekat, Nilratan
Sarkar, menjenguk yang sakit, memberikan semangat dan terkadang menuliskan
surat bagi para penderita. Setiap minggu sebagian puteri-puteri itu juga
mengunjungi daerah gembel bernama Motijhil yang terletak di belakang sekolah.
Mother Teresa tahu dan mendengarkan cerita anak-anaknya seusai kunjungan yang
menyedihkan hati. Tak ada yang tahu suasana hati beliau tetapi satu hal yang 
pasti, ketika menjadi guru di sekolah itu, tidak pernah beliau mengunjungi 
orang-orang miskin. Mengapa? Ini pertanyaan yang sukar untuk dijawab tetapi
Renzo beranggapan bahwa beliau merasa waktunya belum tiba. Mungkin juga
hatinya tidak akan tahan sekali melihat sehingga ia tak akan kembali lagi
ke sekolah. Hal yang terakhir ini sesuatu yang tak boleh terjadi. Ia sudah
mengucapkan kaul ketaatan dan pembesarnya sudah menugaskan untuk mengajar,
ia harus taat. Bukanlah mustahil bahwa seringkali di waktu malam, bila ia
sedang sendirian dan mengingat cerita memilukan dari murid-muridnya melihat
penderitaan di daerah gembel, ia berdoa bagi mereka, menangis untuk mereka
dan memohon bantuan Tuhan agar ia dapat menolong. Beliau tahu bahwa ia  
terpanggil untuk membantu orang miskin dan ia tahu bahwa ia harus menunggu
panggilan-Nya. Panggilan itu tiba, seperti badai, pada malam 10 September '46.

    Source: geocities.com/hilwan