Teresa of The Poor (10)

Pada tgl 27 Agustus 1946 Mother Teresa merayakan ulang tahunnya yang ke 36.
Sekolah dimana ia mengajar, St.Mary High School menyelenggarakan pesta besar.
Anak-anak muridnya menyukainya dan ultahnya merupakan kesempatan bagi mereka
memperlihatkan rasa sayang dan terima kasih. Sebenarnya itu adalah bulan 
liburan tetapi mereka sengaja datang ke sekolah untuk menghormati beliau.
Tetapi, India tahun itu mengalami krisis politik. Penduduk sebanyak 400 juta
yang sebagian besar melarat, sudah jemu dengan pemerintahan kolonial Inggris
yang sudah berlangsung 3 abad. Mereka menginginkan kemerdekaan, bila perlu
melalui revolusi berdarah. Disamping gerakan pasifist yang dipimpin oleh M.K.
(Mahatma) Gandhi, banyak kelompok Islam fanatik yang mengambil "keuntungan
di dalam kesempitan" dan melancarkan kerusuhan yang berakhir dengan pembunuhan
massal, penjarahan, pembakaran dan penganiayaan yang dahsyat. Di Calcutta,
kota yang paling padat di India dengan jumlah orang miskin terbesar di dunia,              
terdapat kelompok mayoritas Hindu dan Islam yang hidup saling berdesakan.

Pada tanggal 16 Agustus, Liga Muslim mencanangkan hari itu sebagai hari 'aksi
langsung' dan menganjurkan anggota-anggotanya untuk melakukan demonstrasi 
kekerasan terhadap orang Inggris dan Hindu. Pagi itu, kaum Islam fanatik
bersenjatakan pentungan, palang besi, dan sekop meninggalkan gubuk-gubuknya.
Berlarian seperti orang gila di jalan raya, mereka membunuhi dengan kejam
setiap orang Hindu yang dijumpainya dan melemparkan mayat-mayat ke solokan.
Toko-toko dan rumah dibakar sehingga dalam waktu beberapa jam kota Calcutta
menjadi terselimuti oleh asap hitam yang tebal. Polisi ketakutan dan
bersembunyi. Orang Hindu yang tidak menyangka-nyangka sehingga "kecolongan"
di dalam waktu singkat mengorganisasi kelompok mereka dan melancarkan serangan
balik. Terjadi pembunuhan orang Islam yang belum pernah sehebat itu sepanjang
sejarah. Dalam waktu 24 jam, Calcutta menjadi medan perang. Mayat-mayat yang
mengembung mengapung di sungai Hooghly yang mengaliri kota. Enam ribu manusia
terbunuh dalam waktu sehari itu. 

Berita itu tentu sampai ke dalam sekolah St. Mary yang damai. Mother Teresa
mengikutinya lewat surat kabar dan cerita dari jajaran karyawan sekolah. Ia
merasa ngeri mendengar penyiksaan dan kekejian yang dialami rakyat yang
sebagian besar miskin, lemah dan tidak berdaya: wanita, anak-anak dan orang
tua. Hatinya terusik sehingga pada tanggal 27 Agustus itu ia tidak dapat
bergembira di hari ulang tahunnya. 

                        Teresa of The Poor (11)

Pesta hari ultah Mother Teresa berjalan terus. Beliau berusaha untuk tersenyum
ketika anak-anak sekolahnya memberikan berbagai karangan bunga dan hadiah.
Di balik senyum yang tampak, suatu badai berlangsung di hatinya. Kejadian di 
hari-hari itu membuatnya merenung, bukan saja atas apa yang tengah berlangsung
di India, tetapi di dalam hidupnya. Ia tidak merasa senang, seolah-olah gigi-
gerigi roda kehidupannya sedang macet. Bertahun-tahun semuanya berjalan lancar.
Ia telah menjalankan kewajibannya dengan bersemangat dan patuh. Sekarang 
sepertinya karya guru di sekolah indah itu tidak selaras lagi dengan apa
yang dirasakannya dan dengan semangat misionaris yang terpendam di hatinya.
  
"Apakah Tuhan ingin aku berbuat sesuatu? Sesuatu terhadap orang-orang yang
sedang menderita di negeri ini?," beliau mulai berpikir. Ia menyingkirkan
dengan segera pikiran ini sebagai suatu godaan. Ia adalah seorang suster yang
telah mengucapkan kaul ketaatan dan tugasnya adalah untuk taat. Mother Teresa
mengalami masa krisis. Tetapi ia tidak kwatir. Krisis adalah sesuatu yang
normal dan terjadi terhadap setiap orang, termasuk atas mereka yang telah
mengkonsekrasikan dirinya bagi Tuhan. Ia akan membereskannya karena di dalam 
waktu 2 minggu ia akan beretret dan melakukan latihan rohani. Ia yakin bahwa 
di dalam masa hening itu, melalui doa dan meditasi, ia akan mampu untuk 
mendapat penerangan. 

Latihan rohani adalah suatu hal yang rutin di dalam ordo dan kongregasi 
kerohanian. Hal ini bermula dari tulisan-tulisan St. Ignatius dari Loyola,
pendiri ordo Yesuit. Latihan ini seperti panduan untuk melakukan inventarisasi 
kehidupan Anda. Termasuk di dalamnya, meditasi mengenai mati, dosa, tujuan
akhir hidup, maupun metoda praktis untuk berdoa dan pemeriksaan batin. 
Bagi Mother Teresa, latihan rohani itu akan dimulai pada tgl 12 September di
Darjeeling, kota dimana ia menjalani masa novisiatnya. Beliau berangkat ke
Darjeeling pada malam tgl 10 September. Ketika sampai di stasiun Calcutta,
ia dikerumuni oleh orang-orang miskin. Ia tahu bahwa kota yang telah dihuninya
selama 16 tahun adalah ibukota orang miskin di dunia. Tetapi melihat mereka
di sekitarnya pada saat menunggu kereta, membuatnya sadar bahwa keadaan lebih
gawat. Sepanjang jalan ia melihat rumah-rumah yang terbakar dan hancur,
ribuan orang berteduh di bawah atap darurat. Di stasiun tua dan lusuh itu  
ia melihat ratusan orang kelaparan dan sakit, mirip dengan tengkorak. Ia
melihat ibu-ibu muda mengemis dengan bayi di susu mereka, kelompok anak-anak
berpakaian compang-camping mengikuti orang asing dan meminta makanan. Orang-
orang lumpuh dan buta duduk di tanah sambil menunjuk ke mulut dan meminta
makan. Ia masuk ke dalam gerbong yang sudah berjubelan. Kereta mulai berjalan
perlahan dan berhenti di setiap stasiun dimana pemandangan pengemis serupa
tengkorak terulang setiap kali. 

                        Teresa of The Poor (12)

Mother Teresa meneruskan perjalanannya dan pemeriksaan batinnya. Ia merenung
mencari kemungkinan jawaban atas segala penderitaan dan kesunyian hidup
rohaninya. Kekotoran orang-orang miskin yang dilihatnya tidak mengusiknya.
Memang ia terbiasa dengan segala kebersihan di St.Mary High School. Murid-
muridnya selalu berpakaian bagus dan memakai minyak wangi. Kereta itu 
sebaliknya, seperti rumah sakit. Tetapi imannya berkata bahwa manusia
tengkorak yang bepergian bersamanya maupun yang berada di stasiun-stasiun
adalah anak Tuhan, seperti dirinya dan murid-muridnya. Bedanya adalah ia
dan muridnya bernasib baik mempunyai kehidupan yang nyaman sementara "anak-
anak Tuhan" itu menderita luar biasa dan kehilangan segalanya. Hidup mereka
lebih buruk dari binatang. 

Mother Teresa melihati ibu-ibu muda yang duduk di lantai sambil menimang
bayi mereka, menyusui dengan penuh kasih. Perasaan ibu-ibu itu tidak kurang
mulianya dari ibu-ibu kaya raya. Kesedihan mereka melihat anak-anak mereka
kelaparan sama dengan kesedihan seorang ibu Inggris atau Amerika. Hatinya
bersama ibu-ibu itu. Beliau teringat akan kalimat di Injil yang dikatakan
Yesus mengenai orang miskin. "Apapun yang kamu lakukan bagi orang yang hina 
itu, kamu lakukan bagi-Ku." Yesus adalah seorang dari antara mereka. Dengan
menjadi suster ia telah menjadi mempelai-Nya sehingga ia mempunyai kewajiban
mengasuh anak-anak Mempelainya dengan jalan hidup bersama dan melayani mereka.

Beribu pikiran melintasi benak dan hati Mother Teresa seraya kereta berjalan.
Pada tengah malam, kereta mulai masuk ke daerah pegunungan Himalaya yang
sejuk. Banyak penumpang tertidur namun Mother Teresa tetap terjaga. Ia merasa
sesuatu yang penting sedang terjadi di dalam dirinya. Sering ia menyaksikan
kesengsaraan orang miskin di Calcutta tetapi sepertinya matanya terbuka untuk
pertama kalinya di malam itu. Karena ia sederhana dan tidak suka bercerita
mengenai kehidupan rohaninya, Mother Teresa jarang sekali berbicara mengenai
apa yang terjadi di malam tgl 10 September 1946 itu. Pada saat Renzo bertanya
kepadanya, beliau memberikan pengakuan yang mengharukan dan luar biasa
yang secara jelas mengungkapkan revolusi hebat yang terjadi di hati beliau.
"That night, I opened my eyes to suffering and I understood in depth the 
essence of my vocation," kata Mother Teresa.

                        Teresa of The Poor (13)

Sepuluh hari yang dilewati Mother Teresa di Darjeeling di bulan September '46
itu merupakan masa paling sulit dan penting di dalam hidup beliau. Ia tiba di
kota yang indah itu dengan hati yang rusuh. Ia telah memutuskan untuk melakukan
"revolusi" di dalam hidupnya dengan meninggalkan komunitas yang menjadi bagian
hidupnya sejak ia berusia 18 tahun. Ia ingin meninggalkan biara bukan karena
ia sudah jemu menjadi suster tetapi karena ia merasa Tuhan memanggilnya untuk
suatu misi baru. Tuhan mempunyai rencana mulia baginya di luar biara. Tidak
ada kongregasi Katolik yang pernah melakukan apa yang akan dikerjakan oleh
Mother Teresa. Cita-citanya terlalu hebat dan mempunyai banyak tantangan,
bukan hanya dalam pelaksanaannya, organisasi dan pembiayaannya. juga di dalam 
hal yang menyangkut hukum dan tradisi gereja. Pada umumnya suster pendiri
kongregasi sepanjang sejarah adalah yang sudah mencapai usia tertentu dan
penuh dengan pengalaman rohani maupun dikarunia karisma tertentu. Mother
Teresa hanya berusia 36 tahun waktu itu dan baru 18 tahun menjadi suster.
Baru 9 tahun berselang, tahun 1937, ia mengucapkan kaul kekalnya. Ia hanya
seorang guru tanpa pengalaman karismatik. Pokoknya ia tidak memiliki kwalitas
yang dapat membuat pembesarnya memberikan ijin keluar dari biara untuk
mendirikan kongregasi suster yang baru. 

Sebagai seorang suster ia terikat dengan sumpah kepada hirarki gereja. Ia 
tidak dapat melakukan tindakan apa-apa tanpa ijin pembesarnya. Untuk keluar
dari biara ia harus memperoleh ijin dari Paus. Untuk membentuk kongregasi
baru, ia membutuhkan setumpuk ijin. Cita-citanya yang mulia mempunyai halangan
yang luar biasa. Pertama, ia harus berbicara dengan pembesarnya di St. Mary
High School di Calcutta, lalu ke superior general Loreto Sisters di Dublin.
Di samping itu ia juga harus memberitahukan Uskup Agung Calcutta karena beliau 
yang harus meminta ijin Paus. Hal apa yang dapat dikemukakan Mother Teresa
kepada pejabat-pejabat penting itu agar mendengarkannya? Ia memang dapat
menceritakan pengalamannya berkereta ke Darjeeling dan melihat orang-orang
miskin itu. Bahwa Yesus telah "memerintahkannya" untuk meninggalkan biara dan
melayani orang termiskin dari yang miskin di dunia. Bagaimana pembesarnya,
uskup dan Paus akan percaya kepada cerita seperti itu? Mereka mungkin akan
menganggapnya sebagai seorang fanatik atau seorang suster yang sudah tidak
senang lagi melakukan tugasnya dan sedang mencari jalan keluar. Mereka mungkin
berpikir bahwa keinginannya melayani orang miskin hanyalah dalih untuk kabur
dari hidup membiara yang sukar dan kejemuan untuk taat setiap hari. Selama 
latihan rohaninya Mother Teresa telah memikirkan semuanya itu dan 
mepertimbangkannya. Ia sadar bahwa apa yang akan dilakukannya sangat pelik.
Ia tahu bahwa ia akan menyulitkan pembesarnya. Bisa saja dikatakan bahwa
idenya bersumber dari setan. Suatu godaan. Ia berdoa dengan sungguh-sungguh
agar mendapatkan suatu tanda. Ia berbicara kepada bapak pengakuannya. Ia
merasa susah atas "panggilan" mendadak ini yang menggoncangkan kehidupannya.

                        Teresa of The Poor (14)

Seusai latihan rohaninya, Mother Teresa kembali ke Calcutta dan ke karyanya
di sekolah St. Mary. Persiapan tahun pelajaran baru sudah berlangsung. Anak-
anak sudah kembali dari liburan. Sekolah ramai lagi. Pekerjaan menumpuk:
tugas rutin, rapat, pengambilan keputusan, wawancara. Meski hal itu mengambil
waktunya, Mother Teresa tetap memikirkan persoalannya. "That 'calling' I felt
the night of September 10 on the train to Darjeeling had all the characteristic
of a command. I knew Jesus had 'commanded' me to leave the convent. Thus,
inside me I knew what I had to do, but I didn't know how to do it," katanya.

Orang-orang pertama yang dipercayai Mother Teresa untuk mendengarkan cita-cita
dan harapannya adalah teman-teman susternya yang tinggal di St. Mary. Seperti
diduganya, mereka menjadi curiga. Lalu Mother Teresa berbicara dengan 
pembesarnya yang berbicara dengan pembesar propinsi yang memberitahukan
Uskup Agung Calcutta Ferdinand Perier. Kata suster-suster itu kepada Uskup
Perier, Mother Teresa mempunyai ide yang "aneh". Dengan pendapat yang negatif
itu mereka ingin mempengaruhi uskup agar sependapat dengan mereka. Tetapi 
Uskup Perier adalah seorang yang mempunyai daya pandang kerohanian yang
besar dan percaya akan wahyu ilahi. Ia memutuskan berbicara sendiri dengan
Mother Teresa mengenai impiannya. 

Pertemuan itu berlangsung pada saat uskup mengunjungi St. Mary. Lama ia 
bercakap-cakap dengan Mother Teresa yang memberikan kesan sangat baik. Tetapi
ia bersikap lain. Kata Mother Teresa, "I told him about my desire and
Archbishop Perier looked at me suspiciously and dryly answered 'no'."
Persoalan sepertinya meningkat. Setelah semua orang tahu akan rencananya,
ia menghadapi kecurigaan . Suster-suster komunitasnya menghindarinya seolah-
olah ia seorang penghianat. Beliau menjadi susah dan merasa ditinggalkan.
Mother Teresa mencari penghiburan melalui doa. Tetapi pikiran dan kekwatiran-
nya menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatannya. Mother Teresa jatuh
sakit dan dipindahkan ke rumah kongregasi yang lain. Pemindahan ini adalah
"politis" sebab sebenarnya pembesarnya di St. Mary tidak menginginkan beliau
mengakibatkan dampak yang negatif terhadap para murid. Mother Teresa tambah
terluka. Uskup Perier tidak senang dengan pemindahan itu dan turun tangan. Ia
memanggil kembali Mother Teresa ke Calcutta dan mengambil alih permasalahan. 

                        Teresa of The Poor (15)

Mother Teresa meminta ijin meninggalkan biara untuk memulai karyanya di antara
orang termiskin dari orang miskin tetapi ia tidak ingin "bercerai". Ia ingin
menguji berapa tabahnya dirinya, mencoba apakah mungkin untuk melakukan karya
yang sudah diwahyukan itu. Ia memang hati-hati dan tidak ingin terbuai di
dalam semangatnya. Uskup Perier menghargai kebijakan itu namun suhu politik
sedang tidak tepat. India baru saja mendapat kemerdekaannya dari Inggris. 
Angin nasionalisme sedang bertiup kencang. Diilhami oleh Gandhi, beberapa
kelompok politik dan intelektuil sedang berusaha melakukan karya sosial di
antara orang miskin. Apa reaksi mereka bila tahu ada seorang wanita Eropa yang
melakukan hal serupa di daerah kumuh Calcutta? Uskup Perier menyuruh Mother 
Teresa untuk menunggu.

Sejak itu uskup percaya akan panggilan beliau dan menganjurkannya untuk
memulai proses kanonis meminta ijin hidup di luar biara. Mother Teresa menulis
surat ke pemimpin kongregasinya di Dublin, Irlandia. Dalam beberapa minggu
ia mendapat jawaban sangat simpatik dari Ibu Jendralnya. "Bila Tuhan 
memanggilmu, dengan segala senang hati saya memberikan ijin kepadamu untuk 
meninggalkan kongregasi. Apapun yang akan terjadi, ingatlah bahwa kami
mencintaimu. Bila suatu hari engkau ingin kembali, kami selalu menantimu."

Selanjutnya Mother Teresa berkata, "With Mother General's approval, I now
needed authorization from the Holy See to live my vows outside the convent.
But the Archbishop Perier had to submit this request for the authorization.
He was not in a hurry to do so. I met with him frequently, he asked me many
questions, but he didn't make a decision. Finally, on February 2, 1948, 
Archbishop Perier sent my request to Pope Pius XII. Two months later, on
April 2 exactly, the answer arrived. The Holy Father authorized me to be a
sister outside the convent. However, I had to continue to observe the rule of
my congregation and obey the Archbishop of Calcutta. I waited another four
months to be sure about the step that I was taking. On August 16, 1948, I took
off the habit I wore as a Loretto Sister and left the convent."

                        Teresa of The Poor (16)

"Leaving the Congregation of Our Lady of Loreto was the biggest sacrifice of
my life," kata Mother Teresa. "When I closed the door of the convent behind  
me on August 16, 1948 and found myself on the streets of Calcutta, I 
experienced a strong feeling of loss and almost of fear that was difficult
to overcome." Hari sebelumnya, 15 Agustus adalah perayaan Bunda Maria
diangkat ke surga. Mother Teresa sengaja mengambil keputusan untuk pergi
sehari setelahnya sesudah beliau banyak merenung di hari istimewa itu. Bunda
Maria yang bersama tubuhnya diangkat ke surga memberikan contoh betapa 
berharganya tubuh bagi kita orang Kristen. Beliau akan memulai karyanya
melayani mereka yang tidak berharga apa-apa, tidak mempunyai apa-apa, dan
yang tubuhnya kerap di dalam keadaan menyedihkan. Mother Teresa akan memulai
karya saksi nyata akan cinta kasih dan iman bahwa tubuh manusia, betapapun
keadaannya, amburadul, seperti tengkorak, atau cacat, tetap bernilai sebab
telah ditebus oleh Kristus dan akan dibangkitkan kembali. 

Belum lama ia melangkah ketika ia dilanda kepedihan hati. Realita hidup barunya
menjadi tampak nyata di hadapannya. Ia sendirian tanpa rumah, tanpa tabungan,
tanpa pekerjaan. Ia tidak tahu dimana ia akan makan dan dimana akan tidur. Ia
berada di dalam keadaan yang sama dengan orang-orang yang akan ditolongnya.
Ia harus merencanakan masa depannya. Ia bukan lagi anggota komunitas rohani
maupun seorang awam tapi ia masih seorang suster yang terikat oleh kaul 
kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Mother Teresa memilih memakai sari warna  
putih karena pakaian itu adalah pakaian yang paling umum di India. Ia memilih
memakai sandal untuk alas kakinya. Orang-orang miskin yang akan dilayaninya
kebanyakan orang sakit yang penuh dengan luka dan sering terkena lepra. Mereka
butuh pertolongan medis. Jadi ia harus belajar ilmu perawat seperti memberi
suntikan dan membebat luka. Ia perlu mengikuti kursus perawat. 

Ia pergi ke Patna di tengah-tengah delta sungai Ganga dimana Mother Dengel
dan Suster-suster Misionaris Medis-nya mengelola rumah sakit dan memberikan
kursus perawat. Ia masuk menjadi siswa. "Ia seorang siswa yang baik. Di dalam
waktu 4 bulan ia dapat menyelesaikan kursus yang umumnya diselesaikan orang 
lain dalam waktu setahun," kata seorang suster yang masih ingat kepada beliau.
Setelah itu Mother Teresa mulai berusaha untuk menjalani hidup mengikuti
aturan yang akan dibuatnya bagi ordonya. Orang miskin di Bengali makan nasi
dan garam, jadi itulah yang dilakukan beliau untuk beberapa waktu. Tentu
diet seperti itu tidak cukup untuk memelihara kesehatan. Suster-suster di
rumah sakit menghentikannya. "Bila engkau terus makan seperti itu, engkau
berdosa sebab di dalam waktu yang singkat engkau akan kekurangan dan mati.
Lalu engkau tidak dapat melakukan apa-apa untuk si miskin." Mother Teresa
segera sadar dan memutuskan bahwa suster-susternya nanti akan makan sederhana
tetapi cukup agar tetap sehat dan dapat mendedikasikan diri mereka secara 
penuh bagi pelayanan kaum miskin.

                        Teresa of The Poor (17)

Setelah 4 bulan, Mother Teresa menganggap apa yang telah dipelajarinya cukup
untuk membantu yang sakit. Ia kembali ke Calcutta pada bulan Desember. Hari
Natal akan tiba. Ia ingin memulai karyanya di Hari Natal. Ini juga suatu
pilihan simbolis beliau yakni mengaitkan karyanya dengan misteri Kristiani
kelahiran Bayi Yesus. Yesus menjadi manusia dan dilahirkan di dalam kemiskinan
untuk memperlihatkan kepada kita betapapun keadaan kita, manusia tidak untuk
dinilai dari keadaan luarnya tetapi bahwa kita adalah anak Allah.

Ketika ia kembali ke kota, ia memilih daerah kumuh yang telah dikenalnya,
daerah Motijhil di belakang sekolah St. Mary. Banyak cerita mengerikan telah
didengarnya ketika ia masih di sekolah. Waktu ia masih tinggal di biara ia
tidak ingin datang ke tempat itu tetapi sekarang ia memilihnya sebagai 
rumahnya. Ia sampai di Hari Natal dan mencari tempat tinggal. Seorang wanita
menyewakan suatu bedeng butut seharga 5 rupee per bulan. Itulah rumahnya yang
pertama. 

Keesokan harinya suara Mother Teresa berkumandang di bedeng itu, mengulangi
huruf-huruf awal abjad Bengali. Ia telah menemukan 5 anak untuk dijadikan
murid. Tidak ada kursi, meja, atau papan tulis di ruangan itu dan ia memakai
suatu tongkat untuk menuliskan huruf-huruf abjad di lantai tanah yang kotor.
Beberapa bulan lalu ia guru kepala sekolah ternama yang letaknya hanya 
beberapa langkah dari situ. Murid-muridnya anak-anak orang kaya. Sekarang ia
ada di daerah kumuh dimana orang tinggal bersama tikus dan kecoa, mengajar
anak-anak orang tak ternama yang tidak pernah belajar membaca.

Panasnya bedeng butut itu tak tertahankan, Suhu lebih dari 45C dan kelembaban
lebih dari 95%. Tubuhnya berkeringat dan rasanya seperti menyerap kotoran.
Semuanya kotor, bedeng itu, gang antara bedeng-bedeng yang berfungsi sebagai
got, orang-orang dan pakaian compang camping di tubuh mereka. Di lantai
bedengnya ia melihat serangga, tikus dan kecoa beriang-ria. Kepala anak-anak
penuh dengan kutu. Mother Teresa mengingat sekolahnya, ranjangnya yang nyaman,
kipas anginnya, kelambunya yang bersih. Rasanya seperti pindah dari surga ke
neraka. Tetapi di neraka itulah orang-orang miskin tinggal, saudara saudari
terkasih Yesus, orang yang ingin dilayaninya. 

Selain mengajar jumlah murid yang terus bertambah, Mother Teresa mengunjungi
pondok-pondok dan berusaha membantu sedapatnya. Ia juga membantu mereka yang 
tidur di jalanan dan di tempat sampah, berusaha membawa yang sakit ke rumah
sakit dan mencari pemondokan bagi yang membutuhkannya. Ketika Renzo bertanya
apa yang paling berkesan bagi beliau di awal hidup barunya itu, Mother Teresa
menjawab. "One day, while I was walking along the streets of Calcutta, a priest
came up to me asking for a contribution. I had only one rupee left to live on
the next day and the following day if something didn't happen. Trusting in
God, I gave my last rupee to the priest. In my mind I prayed, "Lord, I don't
have anything more, [but] I must think of you." That evening a person whom
I didn't know came to my shack. He gave me an envelope and said, "This is for 
your work." I was surprised because I had started my apostolate only a few
days before and nobody knew me yet. I opened the envelope and found fifty
rupees. At that moment I felt as though God wanted to give me a tangible sign
of approval for everything I was doing."

                        Teresa of The Poor (18)

Selama beberapa bulan Mother Teresa hidup sendirian. Ia memohon kepada Tuhan
untuk mengirimkan teman. Lalu di awal tahun 49, seorang wanita berusia 25
tahun, Shubashini Das, salah seorang murid beliau di St. Mary, datang. Ia
dari keluarga berada, pakaiannya keren tetapi ia ingin meninggalkan semuanya
dan membantu Mother Teresa. Beliau sangat kegirangan tetapi ia sadar bahwa ia
tidak boleh bergegas. Ia menyuruh Shubashini untuk berpikir lagi, pulang dan
berdoa. Ia dapat datang kembali setelah beberapa bulan di hari raya St. Joseph.

Pada bulan Pebruari '49, berkat bantuan seorang pastor Yesuit dari Belgia,
Fr.Celeste Van Exem, dan atas kebaikan dermawan pertama Mother Teresa,
Michael Gomes, beliau mendapat tempat di sebuah rumah. Mother Teresa mendapat
2 kamar di ruang atas. Kamar yang kecil ia jadikan tempat tidurnya dan yang
besar kapel untuk berdoa. Pada tgl 19 Maret, hari raya St. Joseph, Shubashini
muncul kembali. Katanya, "Ibu, hari ini pesta St. Joseph dan saya kembali
untuk tinggal bersamamu seterusnya." Sangat tersentuh, Mother Teresa memeluknya
dan menyambutnya sebagai anak. Lalu yang lainnya datang bergabung dan pada 
bulan Mei, Mother Teresa telah mempunyai 3 suster muda. 

Orang awam pun mulai berdatangan membantunya. Ia menyelenggarakan suatu klinik
di daerah kumuh itu dimana dokter-dokter muda dan perawat Katolik membantunya
merawat yang sakit. Ia juga berhasil mendapatkan imam untuk merayakan Ekaristi
setiap hari Minggu bersama anak-anak, Pada bulan Nopember di dalam sepucuk
surat kepada temannya beliau berkata, "We have three hundred children and one
hundred twenty mothers. Last May we had only twenty-six."

Pengikutnya makin bertambah dan ia mulai dengan persiapan untuk mendapat ijin
dari Roma bagi pendirian suatu kongregasi yang baru. Untuk itu ia harus
mengirimkan dokumen rinci berisi konstitusi ordonya dan penjelasan yang
sistimatis mengenai tujuan dan peraturannya. Bila malam tiba, ketika semua 
susternya telah tidur, ia berdoa dan menuliskan konstitusi itu. Konsep yang
paling dasar dari misinya, 'melayani yang termiskin dari yang miskin', ia
ulangi terus menerus di dalam konstitusi itu. Ia menyebut kongregasinya 
Missionary of Charity. 

Dari konstitusi dan peraturan yang dibuatnya, tampak jelas bahwa karyanya
ditujukan bagi orang Kristen dan non-Kristen karena kasih Yesus adalah 
universiil. Selain ketiga kaul, kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, ia juga
mensyaratkan agar suster-susternya berkaul karitas yang berarti mereka tak
boleh bekerja untuk orang kaya dan menerima imbalan dari karya mereka. Ia
juga memilih seragam sari dari bahan kasar dengan pinggiran 3 jalur kain
berwarna biru langit. Pada tgl 7 Oktober 1950, pesta Bunda Rosario, ijin dari 
Vatican tiba dan secara resmi kongregasinya berdiri. Di kemudian hari, hanya  
15 tahun berselang (biasanya puluhan tahun) yakni pada tanggal 1 Pebruari 1965
Paus Paulus VI memberikan kuasa untuk kongregasinya meluaskan karya ke luar
India dan Mother Teresa membuka rumah Missionary Charity yang pertama di luar
India di Keuskupan Barquisimeto di Venezuela.

                        Teresa of The Poor (19)

Prolog: Di dalam bab 11 buku yang sedang Anda baca bersama ini, Renzo memakai
gaya wawancara. Karena saya percaya kemampuan bahasa Inggris warga P-Net ini
jauh di atas orang Filipin :-) dan juga seperti sudah saya katakan saya ingin
berusaha agar apa yang dikatakan Mother Teresa tidak keliru saya terjemahkan,
maka saya menayangkan wawancara mereka di dalam bahasa Inggris.

Renzo: What's a typical day for the sisters? Mother Teresa: Contrary to what
people think, we are not sisters who are engaged in an active life. We are
contemplative sisters who live in the world. Prayer, then, is fundamental for
us. We always pray, whether it be walking down the street, during our work,
wherever. If we're not continually united with God, it would be impossible to
make the sacrifices that are required for living among those who have been
forsaken. Renzo: What time do you get up in the morning? Mother Teresa: At
four thirty. We spend an hour and half in prayer together, have breakfast,
and then leave for work. Renzo: What time do you go to bed in the evening?
Mother Teresa: In general, at ten o'clock, but if necessary we also work all
night. Renzo: Do you also keep these hours? Mother Teresa: Yes, I am a sister
just like the others. Renzo: Don't you find it difficult at your age to get up
at four thirty in the morning? Mother Teresa: Even for my youngest sister it's
difficult to get up at that time. But sacrifice is a way of showing love for
your Jesus, and my heart is young. Renzo: Recently you were quite ill and had
a heart operation. Mother Teresa: I'm in God's hands. I work for Him. I don't
have time to ask myself how I'm feeling. He'll tell me when it's time to stop.
Renzo: How many sisters are there in your congregation at this time. Mother
Teresa: Three thousand. They live in 303 houses in 75 countries. We've
received 140 requests to open houses, but it's impossible to respond to all of
them. We would need many more vocations than the Lord has already sent to us. 

Renzo: You are a Catholic sisters. You help the poor, but aren't you also
spreading the Catholic religion? Mother Teresa: If someone possesses a treasure 
it's only fair to share it with others. However, we never take the initiative.
We don't proselytize ... We love everyone in a concrete way out of love of God.
Our works reveal to the poor who are suffering the love that God has for them.
The results are always marvelous. One day in India, an American journalist was
watching me while I was caring for a man with gangrene. The journalist told
me, "I wouldn't do that for a million dollars." "Even I wouldn't do it for
that amount," I answered. "However, I do it out of love for God. This poor,
suffering man represents the body of Christ for me." That journalist was
struck by my words, and grasped what is the force that sustains our work.

    Source: geocities.com/hilwan