Teresa of The Poor (10) Pada tgl 27 Agustus 1946 Mother Teresa merayakan ulang tahunnya yang ke 36. Sekolah dimana ia mengajar, St.Mary High School menyelenggarakan pesta besar. Anak-anak muridnya menyukainya dan ultahnya merupakan kesempatan bagi mereka memperlihatkan rasa sayang dan terima kasih. Sebenarnya itu adalah bulan liburan tetapi mereka sengaja datang ke sekolah untuk menghormati beliau. Tetapi, India tahun itu mengalami krisis politik. Penduduk sebanyak 400 juta yang sebagian besar melarat, sudah jemu dengan pemerintahan kolonial Inggris yang sudah berlangsung 3 abad. Mereka menginginkan kemerdekaan, bila perlu melalui revolusi berdarah. Disamping gerakan pasifist yang dipimpin oleh M.K. (Mahatma) Gandhi, banyak kelompok Islam fanatik yang mengambil "keuntungan di dalam kesempitan" dan melancarkan kerusuhan yang berakhir dengan pembunuhan massal, penjarahan, pembakaran dan penganiayaan yang dahsyat. Di Calcutta, kota yang paling padat di India dengan jumlah orang miskin terbesar di dunia, terdapat kelompok mayoritas Hindu dan Islam yang hidup saling berdesakan. Pada tanggal 16 Agustus, Liga Muslim mencanangkan hari itu sebagai hari 'aksi langsung' dan menganjurkan anggota-anggotanya untuk melakukan demonstrasi kekerasan terhadap orang Inggris dan Hindu. Pagi itu, kaum Islam fanatik bersenjatakan pentungan, palang besi, dan sekop meninggalkan gubuk-gubuknya. Berlarian seperti orang gila di jalan raya, mereka membunuhi dengan kejam setiap orang Hindu yang dijumpainya dan melemparkan mayat-mayat ke solokan. Toko-toko dan rumah dibakar sehingga dalam waktu beberapa jam kota Calcutta menjadi terselimuti oleh asap hitam yang tebal. Polisi ketakutan dan bersembunyi. Orang Hindu yang tidak menyangka-nyangka sehingga "kecolongan" di dalam waktu singkat mengorganisasi kelompok mereka dan melancarkan serangan balik. Terjadi pembunuhan orang Islam yang belum pernah sehebat itu sepanjang sejarah. Dalam waktu 24 jam, Calcutta menjadi medan perang. Mayat-mayat yang mengembung mengapung di sungai Hooghly yang mengaliri kota. Enam ribu manusia terbunuh dalam waktu sehari itu. Berita itu tentu sampai ke dalam sekolah St. Mary yang damai. Mother Teresa mengikutinya lewat surat kabar dan cerita dari jajaran karyawan sekolah. Ia merasa ngeri mendengar penyiksaan dan kekejian yang dialami rakyat yang sebagian besar miskin, lemah dan tidak berdaya: wanita, anak-anak dan orang tua. Hatinya terusik sehingga pada tanggal 27 Agustus itu ia tidak dapat bergembira di hari ulang tahunnya. Teresa of The Poor (11) Pesta hari ultah Mother Teresa berjalan terus. Beliau berusaha untuk tersenyum ketika anak-anak sekolahnya memberikan berbagai karangan bunga dan hadiah. Di balik senyum yang tampak, suatu badai berlangsung di hatinya. Kejadian di hari-hari itu membuatnya merenung, bukan saja atas apa yang tengah berlangsung di India, tetapi di dalam hidupnya. Ia tidak merasa senang, seolah-olah gigi- gerigi roda kehidupannya sedang macet. Bertahun-tahun semuanya berjalan lancar. Ia telah menjalankan kewajibannya dengan bersemangat dan patuh. Sekarang sepertinya karya guru di sekolah indah itu tidak selaras lagi dengan apa yang dirasakannya dan dengan semangat misionaris yang terpendam di hatinya. "Apakah Tuhan ingin aku berbuat sesuatu? Sesuatu terhadap orang-orang yang sedang menderita di negeri ini?," beliau mulai berpikir. Ia menyingkirkan dengan segera pikiran ini sebagai suatu godaan. Ia adalah seorang suster yang telah mengucapkan kaul ketaatan dan tugasnya adalah untuk taat. Mother Teresa mengalami masa krisis. Tetapi ia tidak kwatir. Krisis adalah sesuatu yang normal dan terjadi terhadap setiap orang, termasuk atas mereka yang telah mengkonsekrasikan dirinya bagi Tuhan. Ia akan membereskannya karena di dalam waktu 2 minggu ia akan beretret dan melakukan latihan rohani. Ia yakin bahwa di dalam masa hening itu, melalui doa dan meditasi, ia akan mampu untuk mendapat penerangan. Latihan rohani adalah suatu hal yang rutin di dalam ordo dan kongregasi kerohanian. Hal ini bermula dari tulisan-tulisan St. Ignatius dari Loyola, pendiri ordo Yesuit. Latihan ini seperti panduan untuk melakukan inventarisasi kehidupan Anda. Termasuk di dalamnya, meditasi mengenai mati, dosa, tujuan akhir hidup, maupun metoda praktis untuk berdoa dan pemeriksaan batin. Bagi Mother Teresa, latihan rohani itu akan dimulai pada tgl 12 September di Darjeeling, kota dimana ia menjalani masa novisiatnya. Beliau berangkat ke Darjeeling pada malam tgl 10 September. Ketika sampai di stasiun Calcutta, ia dikerumuni oleh orang-orang miskin. Ia tahu bahwa kota yang telah dihuninya selama 16 tahun adalah ibukota orang miskin di dunia. Tetapi melihat mereka di sekitarnya pada saat menunggu kereta, membuatnya sadar bahwa keadaan lebih gawat. Sepanjang jalan ia melihat rumah-rumah yang terbakar dan hancur, ribuan orang berteduh di bawah atap darurat. Di stasiun tua dan lusuh itu ia melihat ratusan orang kelaparan dan sakit, mirip dengan tengkorak. Ia melihat ibu-ibu muda mengemis dengan bayi di susu mereka, kelompok anak-anak berpakaian compang-camping mengikuti orang asing dan meminta makanan. Orang- orang lumpuh dan buta duduk di tanah sambil menunjuk ke mulut dan meminta makan. Ia masuk ke dalam gerbong yang sudah berjubelan. Kereta mulai berjalan perlahan dan berhenti di setiap stasiun dimana pemandangan pengemis serupa tengkorak terulang setiap kali. Teresa of The Poor (12) Mother Teresa meneruskan perjalanannya dan pemeriksaan batinnya. Ia merenung mencari kemungkinan jawaban atas segala penderitaan dan kesunyian hidup rohaninya. Kekotoran orang-orang miskin yang dilihatnya tidak mengusiknya. Memang ia terbiasa dengan segala kebersihan di St.Mary High School. Murid- muridnya selalu berpakaian bagus dan memakai minyak wangi. Kereta itu sebaliknya, seperti rumah sakit. Tetapi imannya berkata bahwa manusia tengkorak yang bepergian bersamanya maupun yang berada di stasiun-stasiun adalah anak Tuhan, seperti dirinya dan murid-muridnya. Bedanya adalah ia dan muridnya bernasib baik mempunyai kehidupan yang nyaman sementara "anak- anak Tuhan" itu menderita luar biasa dan kehilangan segalanya. Hidup mereka lebih buruk dari binatang. Mother Teresa melihati ibu-ibu muda yang duduk di lantai sambil menimang bayi mereka, menyusui dengan penuh kasih. Perasaan ibu-ibu itu tidak kurang mulianya dari ibu-ibu kaya raya. Kesedihan mereka melihat anak-anak mereka kelaparan sama dengan kesedihan seorang ibu Inggris atau Amerika. Hatinya bersama ibu-ibu itu. Beliau teringat akan kalimat di Injil yang dikatakan Yesus mengenai orang miskin. "Apapun yang kamu lakukan bagi orang yang hina itu, kamu lakukan bagi-Ku." Yesus adalah seorang dari antara mereka. Dengan menjadi suster ia telah menjadi mempelai-Nya sehingga ia mempunyai kewajiban mengasuh anak-anak Mempelainya dengan jalan hidup bersama dan melayani mereka. Beribu pikiran melintasi benak dan hati Mother Teresa seraya kereta berjalan. Pada tengah malam, kereta mulai masuk ke daerah pegunungan Himalaya yang sejuk. Banyak penumpang tertidur namun Mother Teresa tetap terjaga. Ia merasa sesuatu yang penting sedang terjadi di dalam dirinya. Sering ia menyaksikan kesengsaraan orang miskin di Calcutta tetapi sepertinya matanya terbuka untuk pertama kalinya di malam itu. Karena ia sederhana dan tidak suka bercerita mengenai kehidupan rohaninya, Mother Teresa jarang sekali berbicara mengenai apa yang terjadi di malam tgl 10 September 1946 itu. Pada saat Renzo bertanya kepadanya, beliau memberikan pengakuan yang mengharukan dan luar biasa yang secara jelas mengungkapkan revolusi hebat yang terjadi di hati beliau. "That night, I opened my eyes to suffering and I understood in depth the essence of my vocation," kata Mother Teresa. Teresa of The Poor (13) Sepuluh hari yang dilewati Mother Teresa di Darjeeling di bulan September '46 itu merupakan masa paling sulit dan penting di dalam hidup beliau. Ia tiba di kota yang indah itu dengan hati yang rusuh. Ia telah memutuskan untuk melakukan "revolusi" di dalam hidupnya dengan meninggalkan komunitas yang menjadi bagian hidupnya sejak ia berusia 18 tahun. Ia ingin meninggalkan biara bukan karena ia sudah jemu menjadi suster tetapi karena ia merasa Tuhan memanggilnya untuk suatu misi baru. Tuhan mempunyai rencana mulia baginya di luar biara. Tidak ada kongregasi Katolik yang pernah melakukan apa yang akan dikerjakan oleh Mother Teresa. Cita-citanya terlalu hebat dan mempunyai banyak tantangan, bukan hanya dalam pelaksanaannya, organisasi dan pembiayaannya. juga di dalam hal yang menyangkut hukum dan tradisi gereja. Pada umumnya suster pendiri kongregasi sepanjang sejarah adalah yang sudah mencapai usia tertentu dan penuh dengan pengalaman rohani maupun dikarunia karisma tertentu. Mother Teresa hanya berusia 36 tahun waktu itu dan baru 18 tahun menjadi suster. Baru 9 tahun berselang, tahun 1937, ia mengucapkan kaul kekalnya. Ia hanya seorang guru tanpa pengalaman karismatik. Pokoknya ia tidak memiliki kwalitas yang dapat membuat pembesarnya memberikan ijin keluar dari biara untuk mendirikan kongregasi suster yang baru. Sebagai seorang suster ia terikat dengan sumpah kepada hirarki gereja. Ia tidak dapat melakukan tindakan apa-apa tanpa ijin pembesarnya. Untuk keluar dari biara ia harus memperoleh ijin dari Paus. Untuk membentuk kongregasi baru, ia membutuhkan setumpuk ijin. Cita-citanya yang mulia mempunyai halangan yang luar biasa. Pertama, ia harus berbicara dengan pembesarnya di St. Mary High School di Calcutta, lalu ke superior general Loreto Sisters di Dublin. Di samping itu ia juga harus memberitahukan Uskup Agung Calcutta karena beliau yang harus meminta ijin Paus. Hal apa yang dapat dikemukakan Mother Teresa kepada pejabat-pejabat penting itu agar mendengarkannya? Ia memang dapat menceritakan pengalamannya berkereta ke Darjeeling dan melihat orang-orang miskin itu. Bahwa Yesus telah "memerintahkannya" untuk meninggalkan biara dan melayani orang termiskin dari yang miskin di dunia. Bagaimana pembesarnya, uskup dan Paus akan percaya kepada cerita seperti itu? Mereka mungkin akan menganggapnya sebagai seorang fanatik atau seorang suster yang sudah tidak senang lagi melakukan tugasnya dan sedang mencari jalan keluar. Mereka mungkin berpikir bahwa keinginannya melayani orang miskin hanyalah dalih untuk kabur dari hidup membiara yang sukar dan kejemuan untuk taat setiap hari. Selama latihan rohaninya Mother Teresa telah memikirkan semuanya itu dan mepertimbangkannya. Ia sadar bahwa apa yang akan dilakukannya sangat pelik. Ia tahu bahwa ia akan menyulitkan pembesarnya. Bisa saja dikatakan bahwa idenya bersumber dari setan. Suatu godaan. Ia berdoa dengan sungguh-sungguh agar mendapatkan suatu tanda. Ia berbicara kepada bapak pengakuannya. Ia merasa susah atas "panggilan" mendadak ini yang menggoncangkan kehidupannya. Teresa of The Poor (14) Seusai latihan rohaninya, Mother Teresa kembali ke Calcutta dan ke karyanya di sekolah St. Mary. Persiapan tahun pelajaran baru sudah berlangsung. Anak- anak sudah kembali dari liburan. Sekolah ramai lagi. Pekerjaan menumpuk: tugas rutin, rapat, pengambilan keputusan, wawancara. Meski hal itu mengambil waktunya, Mother Teresa tetap memikirkan persoalannya. "That 'calling' I felt the night of September 10 on the train to Darjeeling had all the characteristic of a command. I knew Jesus had 'commanded' me to leave the convent. Thus, inside me I knew what I had to do, but I didn't know how to do it," katanya. Orang-orang pertama yang dipercayai Mother Teresa untuk mendengarkan cita-cita dan harapannya adalah teman-teman susternya yang tinggal di St. Mary. Seperti diduganya, mereka menjadi curiga. Lalu Mother Teresa berbicara dengan pembesarnya yang berbicara dengan pembesar propinsi yang memberitahukan Uskup Agung Calcutta Ferdinand Perier. Kata suster-suster itu kepada Uskup Perier, Mother Teresa mempunyai ide yang "aneh". Dengan pendapat yang negatif itu mereka ingin mempengaruhi uskup agar sependapat dengan mereka. Tetapi Uskup Perier adalah seorang yang mempunyai daya pandang kerohanian yang besar dan percaya akan wahyu ilahi. Ia memutuskan berbicara sendiri dengan Mother Teresa mengenai impiannya. Pertemuan itu berlangsung pada saat uskup mengunjungi St. Mary. Lama ia bercakap-cakap dengan Mother Teresa yang memberikan kesan sangat baik. Tetapi ia bersikap lain. Kata Mother Teresa, "I told him about my desire and Archbishop Perier looked at me suspiciously and dryly answered 'no'." Persoalan sepertinya meningkat. Setelah semua orang tahu akan rencananya, ia menghadapi kecurigaan . Suster-suster komunitasnya menghindarinya seolah- olah ia seorang penghianat. Beliau menjadi susah dan merasa ditinggalkan. Mother Teresa mencari penghiburan melalui doa. Tetapi pikiran dan kekwatiran- nya menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatannya. Mother Teresa jatuh sakit dan dipindahkan ke rumah kongregasi yang lain. Pemindahan ini adalah "politis" sebab sebenarnya pembesarnya di St. Mary tidak menginginkan beliau mengakibatkan dampak yang negatif terhadap para murid. Mother Teresa tambah terluka. Uskup Perier tidak senang dengan pemindahan itu dan turun tangan. Ia memanggil kembali Mother Teresa ke Calcutta dan mengambil alih permasalahan. Teresa of The Poor (15) Mother Teresa meminta ijin meninggalkan biara untuk memulai karyanya di antara orang termiskin dari orang miskin tetapi ia tidak ingin "bercerai". Ia ingin menguji berapa tabahnya dirinya, mencoba apakah mungkin untuk melakukan karya yang sudah diwahyukan itu. Ia memang hati-hati dan tidak ingin terbuai di dalam semangatnya. Uskup Perier menghargai kebijakan itu namun suhu politik sedang tidak tepat. India baru saja mendapat kemerdekaannya dari Inggris. Angin nasionalisme sedang bertiup kencang. Diilhami oleh Gandhi, beberapa kelompok politik dan intelektuil sedang berusaha melakukan karya sosial di antara orang miskin. Apa reaksi mereka bila tahu ada seorang wanita Eropa yang melakukan hal serupa di daerah kumuh Calcutta? Uskup Perier menyuruh Mother Teresa untuk menunggu. Sejak itu uskup percaya akan panggilan beliau dan menganjurkannya untuk memulai proses kanonis meminta ijin hidup di luar biara. Mother Teresa menulis surat ke pemimpin kongregasinya di Dublin, Irlandia. Dalam beberapa minggu ia mendapat jawaban sangat simpatik dari Ibu Jendralnya. "Bila Tuhan memanggilmu, dengan segala senang hati saya memberikan ijin kepadamu untuk meninggalkan kongregasi. Apapun yang akan terjadi, ingatlah bahwa kami mencintaimu. Bila suatu hari engkau ingin kembali, kami selalu menantimu." Selanjutnya Mother Teresa berkata, "With Mother General's approval, I now needed authorization from the Holy See to live my vows outside the convent. But the Archbishop Perier had to submit this request for the authorization. He was not in a hurry to do so. I met with him frequently, he asked me many questions, but he didn't make a decision. Finally, on February 2, 1948, Archbishop Perier sent my request to Pope Pius XII. Two months later, on April 2 exactly, the answer arrived. The Holy Father authorized me to be a sister outside the convent. However, I had to continue to observe the rule of my congregation and obey the Archbishop of Calcutta. I waited another four months to be sure about the step that I was taking. On August 16, 1948, I took off the habit I wore as a Loretto Sister and left the convent." Teresa of The Poor (16) "Leaving the Congregation of Our Lady of Loreto was the biggest sacrifice of my life," kata Mother Teresa. "When I closed the door of the convent behind me on August 16, 1948 and found myself on the streets of Calcutta, I experienced a strong feeling of loss and almost of fear that was difficult to overcome." Hari sebelumnya, 15 Agustus adalah perayaan Bunda Maria diangkat ke surga. Mother Teresa sengaja mengambil keputusan untuk pergi sehari setelahnya sesudah beliau banyak merenung di hari istimewa itu. Bunda Maria yang bersama tubuhnya diangkat ke surga memberikan contoh betapa berharganya tubuh bagi kita orang Kristen. Beliau akan memulai karyanya melayani mereka yang tidak berharga apa-apa, tidak mempunyai apa-apa, dan yang tubuhnya kerap di dalam keadaan menyedihkan. Mother Teresa akan memulai karya saksi nyata akan cinta kasih dan iman bahwa tubuh manusia, betapapun keadaannya, amburadul, seperti tengkorak, atau cacat, tetap bernilai sebab telah ditebus oleh Kristus dan akan dibangkitkan kembali. Belum lama ia melangkah ketika ia dilanda kepedihan hati. Realita hidup barunya menjadi tampak nyata di hadapannya. Ia sendirian tanpa rumah, tanpa tabungan, tanpa pekerjaan. Ia tidak tahu dimana ia akan makan dan dimana akan tidur. Ia berada di dalam keadaan yang sama dengan orang-orang yang akan ditolongnya. Ia harus merencanakan masa depannya. Ia bukan lagi anggota komunitas rohani maupun seorang awam tapi ia masih seorang suster yang terikat oleh kaul kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Mother Teresa memilih memakai sari warna putih karena pakaian itu adalah pakaian yang paling umum di India. Ia memilih memakai sandal untuk alas kakinya. Orang-orang miskin yang akan dilayaninya kebanyakan orang sakit yang penuh dengan luka dan sering terkena lepra. Mereka butuh pertolongan medis. Jadi ia harus belajar ilmu perawat seperti memberi suntikan dan membebat luka. Ia perlu mengikuti kursus perawat. Ia pergi ke Patna di tengah-tengah delta sungai Ganga dimana Mother Dengel dan Suster-suster Misionaris Medis-nya mengelola rumah sakit dan memberikan kursus perawat. Ia masuk menjadi siswa. "Ia seorang siswa yang baik. Di dalam waktu 4 bulan ia dapat menyelesaikan kursus yang umumnya diselesaikan orang lain dalam waktu setahun," kata seorang suster yang masih ingat kepada beliau. Setelah itu Mother Teresa mulai berusaha untuk menjalani hidup mengikuti aturan yang akan dibuatnya bagi ordonya. Orang miskin di Bengali makan nasi dan garam, jadi itulah yang dilakukan beliau untuk beberapa waktu. Tentu diet seperti itu tidak cukup untuk memelihara kesehatan. Suster-suster di rumah sakit menghentikannya. "Bila engkau terus makan seperti itu, engkau berdosa sebab di dalam waktu yang singkat engkau akan kekurangan dan mati. Lalu engkau tidak dapat melakukan apa-apa untuk si miskin." Mother Teresa segera sadar dan memutuskan bahwa suster-susternya nanti akan makan sederhana tetapi cukup agar tetap sehat dan dapat mendedikasikan diri mereka secara penuh bagi pelayanan kaum miskin. Teresa of The Poor (17) Setelah 4 bulan, Mother Teresa menganggap apa yang telah dipelajarinya cukup untuk membantu yang sakit. Ia kembali ke Calcutta pada bulan Desember. Hari Natal akan tiba. Ia ingin memulai karyanya di Hari Natal. Ini juga suatu pilihan simbolis beliau yakni mengaitkan karyanya dengan misteri Kristiani kelahiran Bayi Yesus. Yesus menjadi manusia dan dilahirkan di dalam kemiskinan untuk memperlihatkan kepada kita betapapun keadaan kita, manusia tidak untuk dinilai dari keadaan luarnya tetapi bahwa kita adalah anak Allah. Ketika ia kembali ke kota, ia memilih daerah kumuh yang telah dikenalnya, daerah Motijhil di belakang sekolah St. Mary. Banyak cerita mengerikan telah didengarnya ketika ia masih di sekolah. Waktu ia masih tinggal di biara ia tidak ingin datang ke tempat itu tetapi sekarang ia memilihnya sebagai rumahnya. Ia sampai di Hari Natal dan mencari tempat tinggal. Seorang wanita menyewakan suatu bedeng butut seharga 5 rupee per bulan. Itulah rumahnya yang pertama. Keesokan harinya suara Mother Teresa berkumandang di bedeng itu, mengulangi huruf-huruf awal abjad Bengali. Ia telah menemukan 5 anak untuk dijadikan murid. Tidak ada kursi, meja, atau papan tulis di ruangan itu dan ia memakai suatu tongkat untuk menuliskan huruf-huruf abjad di lantai tanah yang kotor. Beberapa bulan lalu ia guru kepala sekolah ternama yang letaknya hanya beberapa langkah dari situ. Murid-muridnya anak-anak orang kaya. Sekarang ia ada di daerah kumuh dimana orang tinggal bersama tikus dan kecoa, mengajar anak-anak orang tak ternama yang tidak pernah belajar membaca. Panasnya bedeng butut itu tak tertahankan, Suhu lebih dari 45C dan kelembaban lebih dari 95%. Tubuhnya berkeringat dan rasanya seperti menyerap kotoran. Semuanya kotor, bedeng itu, gang antara bedeng-bedeng yang berfungsi sebagai got, orang-orang dan pakaian compang camping di tubuh mereka. Di lantai bedengnya ia melihat serangga, tikus dan kecoa beriang-ria. Kepala anak-anak penuh dengan kutu. Mother Teresa mengingat sekolahnya, ranjangnya yang nyaman, kipas anginnya, kelambunya yang bersih. Rasanya seperti pindah dari surga ke neraka. Tetapi di neraka itulah orang-orang miskin tinggal, saudara saudari terkasih Yesus, orang yang ingin dilayaninya. Selain mengajar jumlah murid yang terus bertambah, Mother Teresa mengunjungi pondok-pondok dan berusaha membantu sedapatnya. Ia juga membantu mereka yang tidur di jalanan dan di tempat sampah, berusaha membawa yang sakit ke rumah sakit dan mencari pemondokan bagi yang membutuhkannya. Ketika Renzo bertanya apa yang paling berkesan bagi beliau di awal hidup barunya itu, Mother Teresa menjawab. "One day, while I was walking along the streets of Calcutta, a priest came up to me asking for a contribution. I had only one rupee left to live on the next day and the following day if something didn't happen. Trusting in God, I gave my last rupee to the priest. In my mind I prayed, "Lord, I don't have anything more, [but] I must think of you." That evening a person whom I didn't know came to my shack. He gave me an envelope and said, "This is for your work." I was surprised because I had started my apostolate only a few days before and nobody knew me yet. I opened the envelope and found fifty rupees. At that moment I felt as though God wanted to give me a tangible sign of approval for everything I was doing." Teresa of The Poor (18) Selama beberapa bulan Mother Teresa hidup sendirian. Ia memohon kepada Tuhan untuk mengirimkan teman. Lalu di awal tahun 49, seorang wanita berusia 25 tahun, Shubashini Das, salah seorang murid beliau di St. Mary, datang. Ia dari keluarga berada, pakaiannya keren tetapi ia ingin meninggalkan semuanya dan membantu Mother Teresa. Beliau sangat kegirangan tetapi ia sadar bahwa ia tidak boleh bergegas. Ia menyuruh Shubashini untuk berpikir lagi, pulang dan berdoa. Ia dapat datang kembali setelah beberapa bulan di hari raya St. Joseph. Pada bulan Pebruari '49, berkat bantuan seorang pastor Yesuit dari Belgia, Fr.Celeste Van Exem, dan atas kebaikan dermawan pertama Mother Teresa, Michael Gomes, beliau mendapat tempat di sebuah rumah. Mother Teresa mendapat 2 kamar di ruang atas. Kamar yang kecil ia jadikan tempat tidurnya dan yang besar kapel untuk berdoa. Pada tgl 19 Maret, hari raya St. Joseph, Shubashini muncul kembali. Katanya, "Ibu, hari ini pesta St. Joseph dan saya kembali untuk tinggal bersamamu seterusnya." Sangat tersentuh, Mother Teresa memeluknya dan menyambutnya sebagai anak. Lalu yang lainnya datang bergabung dan pada bulan Mei, Mother Teresa telah mempunyai 3 suster muda. Orang awam pun mulai berdatangan membantunya. Ia menyelenggarakan suatu klinik di daerah kumuh itu dimana dokter-dokter muda dan perawat Katolik membantunya merawat yang sakit. Ia juga berhasil mendapatkan imam untuk merayakan Ekaristi setiap hari Minggu bersama anak-anak, Pada bulan Nopember di dalam sepucuk surat kepada temannya beliau berkata, "We have three hundred children and one hundred twenty mothers. Last May we had only twenty-six." Pengikutnya makin bertambah dan ia mulai dengan persiapan untuk mendapat ijin dari Roma bagi pendirian suatu kongregasi yang baru. Untuk itu ia harus mengirimkan dokumen rinci berisi konstitusi ordonya dan penjelasan yang sistimatis mengenai tujuan dan peraturannya. Bila malam tiba, ketika semua susternya telah tidur, ia berdoa dan menuliskan konstitusi itu. Konsep yang paling dasar dari misinya, 'melayani yang termiskin dari yang miskin', ia ulangi terus menerus di dalam konstitusi itu. Ia menyebut kongregasinya Missionary of Charity. Dari konstitusi dan peraturan yang dibuatnya, tampak jelas bahwa karyanya ditujukan bagi orang Kristen dan non-Kristen karena kasih Yesus adalah universiil. Selain ketiga kaul, kemiskinan, kemurnian dan ketaatan, ia juga mensyaratkan agar suster-susternya berkaul karitas yang berarti mereka tak boleh bekerja untuk orang kaya dan menerima imbalan dari karya mereka. Ia juga memilih seragam sari dari bahan kasar dengan pinggiran 3 jalur kain berwarna biru langit. Pada tgl 7 Oktober 1950, pesta Bunda Rosario, ijin dari Vatican tiba dan secara resmi kongregasinya berdiri. Di kemudian hari, hanya 15 tahun berselang (biasanya puluhan tahun) yakni pada tanggal 1 Pebruari 1965 Paus Paulus VI memberikan kuasa untuk kongregasinya meluaskan karya ke luar India dan Mother Teresa membuka rumah Missionary Charity yang pertama di luar India di Keuskupan Barquisimeto di Venezuela. Teresa of The Poor (19) Prolog: Di dalam bab 11 buku yang sedang Anda baca bersama ini, Renzo memakai gaya wawancara. Karena saya percaya kemampuan bahasa Inggris warga P-Net ini jauh di atas orang Filipin :-) dan juga seperti sudah saya katakan saya ingin berusaha agar apa yang dikatakan Mother Teresa tidak keliru saya terjemahkan, maka saya menayangkan wawancara mereka di dalam bahasa Inggris. Renzo: What's a typical day for the sisters? Mother Teresa: Contrary to what people think, we are not sisters who are engaged in an active life. We are contemplative sisters who live in the world. Prayer, then, is fundamental for us. We always pray, whether it be walking down the street, during our work, wherever. If we're not continually united with God, it would be impossible to make the sacrifices that are required for living among those who have been forsaken. Renzo: What time do you get up in the morning? Mother Teresa: At four thirty. We spend an hour and half in prayer together, have breakfast, and then leave for work. Renzo: What time do you go to bed in the evening? Mother Teresa: In general, at ten o'clock, but if necessary we also work all night. Renzo: Do you also keep these hours? Mother Teresa: Yes, I am a sister just like the others. Renzo: Don't you find it difficult at your age to get up at four thirty in the morning? Mother Teresa: Even for my youngest sister it's difficult to get up at that time. But sacrifice is a way of showing love for your Jesus, and my heart is young. Renzo: Recently you were quite ill and had a heart operation. Mother Teresa: I'm in God's hands. I work for Him. I don't have time to ask myself how I'm feeling. He'll tell me when it's time to stop. Renzo: How many sisters are there in your congregation at this time. Mother Teresa: Three thousand. They live in 303 houses in 75 countries. We've received 140 requests to open houses, but it's impossible to respond to all of them. We would need many more vocations than the Lord has already sent to us. Renzo: You are a Catholic sisters. You help the poor, but aren't you also spreading the Catholic religion? Mother Teresa: If someone possesses a treasure it's only fair to share it with others. However, we never take the initiative. We don't proselytize ... We love everyone in a concrete way out of love of God. Our works reveal to the poor who are suffering the love that God has for them. The results are always marvelous. One day in India, an American journalist was watching me while I was caring for a man with gangrene. The journalist told me, "I wouldn't do that for a million dollars." "Even I wouldn't do it for that amount," I answered. "However, I do it out of love for God. This poor, suffering man represents the body of Christ for me." That journalist was struck by my words, and grasped what is the force that sustains our work.