Teresa of The Poor (20)

Renzo mempunyai pengalaman berdoa Rosario bersama Mother Teresa dan melihat
beliau berdoa. Suatu ketika ia, Uskup Hnilica dan Mother Teresa naik mobil
bersama ke kota Vatican. Mereka mulai berdoa rosario atas ajakan Mother Teresa.
Beliau berdoa perlahan-lahan dan lembut. Mobil mereka dikebut supir, berhenti 
mendadak, sikat ke kiri ke kanan seenaknya, menikung tak kira-kira, hampir 
menyenggol mobil-mobil lain dengan supir yang menyumpah dan membunyikan 
klakson. Mother Teresa terbenam dalam doa dan tidak mempedulikan sekelilingnya.
Ia bersatu dengan Tuhan. Matanya setengah terpejam. Wajahnya yang keriput
berubah memperlihatkan kebahagiaan dan kedamaian. Ia mengucapkan kata-kata
doa dengan lemah-lembut dan kelihatan sekali seperti sedang bercakap-cakap
dengan yang tidak nampak. Kemolekan yang misterius seolah keluar dari dirinya
dan mengakibatkan suasana menjadi tenang dan hormat. Ketika doa Rosario
selesai, Uskup Hnilica mulai menunjukkan bangunan-bangunan Romawi sepanjang
jalan kepada Renzo tetapi Mother Teresa tetap melanjutkan obrolannya dengan
yang tidak nampak. Kepalanya menunduk, matanya tertutup dan bibirnya bergerak
perlahan-lahan. Baru ketika mereka sampai di St.Peter's Square beliau mulai
berbicara lagi dengan keduanya.

Suatu ketika Renzo meminta alamat dan nomor telepon beliau di Calcutta karena
Renzo ingin berkunjung. Mother Teresa menulisnya di buku catatan Renzo dan
sambil tersenyum ia berkata, "One day, I met a very rich and important person
in America. He gave me his business card and asked me for mine. "I don't have
a business card," I answered. "What?", he said amazed. "A famous and important
woman like you should have a business card. Here in America people of 
importance are very attentive to this custom. I recommend you get some business
cards as soon as possible and you'll see how useful they'll be." I listened to
what that man had to say. I, too, had some business cards printed. But I didn't
have my titles and credentials printed on them as is the custom because I am
nothing, less than nothing. I had some things printed on them that are my plan
in life. (Tercetak di kartu dengan kertas murahan:) JESUS is happy to come
with us, as the TRUTH to be told, as the LIFE to be lived, as the LIGHT to
lit, as the LOVE to be loved, as the JOY to be given, as the PEACE to be
spread. Mother Teresa. 

Renzo bertanya sesuatu yang tidak disangka beliau yakni apakah ia takut mati.
Ia menatap mata Renzo sejenak, tertawa gembira, dan dengan mata bercahaya
dan bahagia berkata, "No, I'm not afraid. Dying means returning home. I
anxiously wait for the moment of death. Up there I'll see all the children
that I tried to save and who considered me their mother as they were dying in
my arms. I'll meet all the poor that I helped, the dying who breathed their
last breath in the house I built for them in Calcutta. In short, I'll meet all
those people who were dear to me on this earth. Don't you think such meeting
will be wonderful?"

                        Teresa of The Poor (21)

Mother Teresa melanjutkan ceritanya. Pada suatu saat, rumah yang diberikan
oleh Michael Gomes menjadi terlalu kecil karena ada 30 suster disitu. Namun
tidak mudah untuk pindah. Beliau tidak mempunyai tabungan atau koneksi.
Teman-temannya hanya pengemis. Ia menyerahkan hal itu melalui doa. Setiap pagi
selama 3 bulan ia dan suster-susternya berjalan dalam prosesi ke patung
Our Lady of Fatima di dekat paroki. Setelah pulang dari kerja sepanjang hari,
mereka berangkat kesitu sekitar pukul 6 sore sambil berdoa rosario. Jaraknya
cukup jauh dan sepanjang jalan orang-orang ikut bergabung. Mereka kembali
pada pukul 9, tetap masih berdoa. "We literally assaulted heaven with our
prayers to obtain a new residence and heaven heard us," kata Mother Teresa.
Akhirnya mereka mendapat sebuah rumah bertingkat 3 yang cukup besar untuk
kongregasi. Uskup Agung Perier membelinya karena ia percaya akan Missionary
of Charity. Sampai hari ini rumah itu masih berfungsi sebagai rumah induk.

Di dalam masa inilah Mother Teresa memulai karya karitasnya yang paling hebat
dan luar biasa. Rumah untuk orang yang sekarat (Home for the Dying). Setiap 
hari puluhan orang di Calcutta, rubuh terkapar ke tanah karena kelaparan,
sakit dan menjadi lemah. Banyak yang meninggal di jalanan. Rumah sakit 
pemerintah dan klinik yang ada tidak sanggup menampung orang-orang itu karena
jumlahnya yang terlalu banyak. Mereka berusaha menolong yang masih dapat
tertolong tetapi membiarkan orang yang sudah tua dan sakit karena toh akan
meninggal bila dibawa ke rumah sakit. Beliau bercerita.

"One day while I was leaving our house, I came across a man lying on the
sidewalk who was on the brink of death. I was at Campbell Hospital. I went to
get help at a nearby hospital but they refused to admit him because they
didn't have any room and the man would die anyway. I was upset by their
response. For me, that man was a son of God and I couldn't leave him in the
middle of the street in his condition. I went to a pharmacy for some medicine
but when I returned after a few minutes he was already dead. He breathed his
last breath in the dust on the street. It was a shame. I almost felt guilty.
I told myself that I needed to do something. Then the idea occurred to me of
creating a home where these dying people could finish out their lives, where
someone would help them, where they would see the face of a person next to
them who would smile lovingly and help them understand they shouldn't be
afraid because they were going to their Father's house. My fellow sisters
completely supported the idea. But we had to find a building for these dying
people. I went to the city administrator and then to the director of 
sanitation. "Give me at least a room," I asked. Everyone praised my idea.
Various solutions were considered. However, I didn't have the money or the
means to resolve the problem alone. Finally, they thought about giving me
permission to use, at least temporarily, a rest house for pilgrims that was
annexed to the temple of the goddess Kali, which had been vacant for a while.
I called that house Nirmal Hriday, which means "The Place of the Immaculate
Heart" in Bengali.

                        Teresa of The Poor (22)

Mother Teresa melanjutkan kisahnya tentang karyanya yang paling terkenal,
Rumah Orang Sekarat, Home for the Dying. "We began our work at once. 
Nevertheless, there was a lot of opposition. The house was set up on the holy
site of the popular Temple of Kalighat with its four hundred priests. Someone
was saying that my sisters and I were going there to convert the people to
Christianity. There were attacks and lawsuits. Many people sided against us,
while others supported us. An Indian political leader made a promise in
public that we would be thrown out, whatever the cost. He came to see us
while collecting complaints against us. He walked down the passages between
the dying and observed our sisters at work. He was touched by what he saw. He
saw they were devoting themselves to these unfortunate people with great love,
cleaning the wounds of their feeble bodies, and feeding those who could not
feed themselves. When he left, he told the people who were waiting for him: 
"I promised to throw the sisters out of here and I'll do it, but only when
you bring your mothers, wives, sisters, and daughters to do the work that
they are doing. You have a goddess of stone in the temple; here you have
living goddesses." 

Shortly thereafter, one of the priests of the goddess Kali came down with
tuberculosis, a disease that is still highly feared in India. We took in that
priest and kindly took care of him. Every day one of his fellow priests would
visit him, and each one went away very impressed by our care for this priest
and the other sick people. One by one, all the priests of the goddess Kali
became our friends and supporters. The hostility ended and we were able to
continue our work in peace. The Home for the Dying is something dear to my
heart. It has become a holy place because there every day I see actual contact
between heaven and earth: indeed, many people close the door on their earthly
experience to unite themselves to the Father. You can concretely feel the
presence of God by helping these people. When we rescue the dying, they are
cared, distressed, and in despair. But seeing our calm and serene faces
bending over them with tenderness and love and listening to our words of faith
and hope, they close the door on their lives with a smile on their lips.

One day the sisters picked up a man on the street whose body was covered with
sores and full of worms. He was at the end of his life. I began to wash him
and care for him. With his dying eyes, he followed every movement I made.
Little by little, a peacefulness appeared on his face. "Are you suffering?"
I asked him. "A lot," he answered in a whisper. Then he added: "But, I'm happy. 
I've always lived in the open, like the animals. Now I'll die like an angel,
surrounded by so much care and so much love." Another time, they brought home
a woman who no longer had any human resemblance and who didn't show any sign
of life. I washed her, took care of her, and talked to her gently. Then I
carefully set her down on a bed. She took my hand and smiled. I've never seen
such a beautiful smile on anyone's face. "Thank you," she whispered and closed
her eyes forever."

                        Teresa of The Poor (23)

Dari ribuan foto Mother Teresa, yang paling mengesankan adalah foto beliau
bersama anak-anak. Di hadapan anak-anak yang tak berdaya, wajah "santa" ini,
yang sudah terbiasa melihat tubuh yang kelaparan dan sakit, menyaksikan segala
macam penderitaan, menjadi santai dan menampakkan wajah keibuan. Tetapi ia
jarang tersenyum bersama anak-anak itu karena pada umumnya, anak-anak yang
ditimangnya adalah anak yatim piatu, penderita kusta, korban kekerasan etnis,
anak-anak yang telah melihat kengerian. 

Anak-anak yang dibuang mudah dijumpai di India, terutama anak perempuan. Mereka
ditinggalkan di dalam gereja, di muka rumah sakit, di tangga biara, di muka
kantor polisi atau dibuang begitu saja di got. Anak-anak yang dibuang memang
mahluk yang paling miskin dan tak berdaya di muka bumi. Banyak institusi
kerohanian maupun kongregasi suster-suster berkarya bagi anak yatim piatu.
Demikian pula Mother Teresa. Pada tahun 1954 beliau mendirikan rumah bagi
anak-anak gelandangan yang diberinya nama Shishu Bhavan, artinya Rumah Kanak-
kanak. Orang lalu membawa bayi-bayi yang mereka temukan kesana dan rumah itu
dengan cepat menjadi terlalu kecil. Ia membuka Sishu Bavan yang lainnya dan
yang lainnya. Katanya, "I'm the mother of thousands of abandoned children, I
picked them up off the sidewalks, out of the gutters, and on the streets. The
police brought them to me from hospitals where their mothers rejected them. I
rescued them, watched them grow, and made them study. I found adoptive
families for many of them and now they're doing well. They're scattered around
the world in America, India and Europe, but they always remembered me. Their 
adoptive parents send me photographs. In this way I am able to watch my
children grow. Nevertheless, I haven't been able to find an adoptive family
for all the children. Some stay with me. They are the handicapped, mentally
retarded, and least desirable. Nature has been cruel to them. Buy they are
God's children and they need love. They are my favorite children."

                       Teresa of The Poor (24)

Bila Mother Teresa bepergian kemana-mana keliling dunia, ia selalu membawa
sebuah tas dari katun kasar yang berisi semua harta miliknya yang hanya
sedikit. Meskipun tidak ada benda berharga di dalamnya, Mother Teresa 
memeliharanya seperti harta warisan pusaka keluarga. Ternyata ia sangat
menghargai tas itu karena dibuat oleh anak-anak kesayangannya, anak-anak
penderita kusta, dengan susah payah. Menurut perkiraan, ada 4 juta penderita
kusta di dunia dimana 3 juta tinggal di India. Di Calcutta, jumlahnya lebih
dari setengah juta. Penderita kustalah yang merupakan orang yang paling
miskin dari yang termiskin dari orang miskin. Mereka tidak mungkin mempunyai
pekerjaan atau mencari nafkah. Disisihkan oleh manusia lainnya maupun oleh
keluarganya. Atas alasan inilah bagi orang yang beriman seperti Mother Teresa,
merekalah yang benar-benar "mewakili" Yesus Kristus. Oleh karena itu
merekalah yang paling ingin dilayaninya.

Melayani penderita kusta merupakan suatu tindakan yang paling heroik, 
mencintai mereka sebagai saudara-saudari. Merupakan sesuatu yang pasti bahwa
Mother Teresa, yang telah memilih untuk berkarya kasih bagi orang miskin di
India, akan menangani penderita kusta. Namun ia tidak memulainya dari awal
tetapi sesudah cukup berpengalaman. Pada tahun 1957, setelah berkarya selama
11 tahun dan setelah menyelidiki segala sesuatunya mengenai perawatan 
penderita kusta, Mother Teresa memulainya. Beliau mengikuti cara yang dipakai
oleh seorang dokter Belgia di Madras, Dr. Hemerryckx, yang telah menyempurnakan
cara merawat orang kusta dalam jumlah besar. Ia memakai klinik mobil dan dengan
demikian dapat menjangkau banyak sekali penderita kusta di sekeliling kota.

Karyanya yang paling berhasil di lingkungan penderita kusta adalah suatu desa
mandiri penderita kusta, Shantinagar, Tempat Damai, dimana mereka dapat
tinggal tanpa kwatir diusir polisi dan dikucilkan dari masyarakat. Desa itu
terletak 30 km dari Calcutta. Jalan-jalan dihiasi dengan pohon-pohon dan
aneka kebun bunga. Penderita kusta tinggal di rumah-rumah kecil yang mungil
bersama keluarganya. Mereka bekerja di toko, laboratorium, sawah ladang, di
peternakan babi dan ayam. Anak-anak yang dilahirkan disitu mempunyai rumah
dan pergi ke sekolah, termasuk pemeriksaan kesehatan berkala untuk mencegah
terjangkit kusta. Selain penderita, banyak orang sehat tinggal di desa itu
juga, umumnya sukarelawan, yang dengan kehadiran dan hubungannya membuat
para penderita kusta merasa menjadi manusia yang dihargai. 

                        Teresa of The Poor (25)

Karya Mother Teresa berkembang terus dan beliau menjadi terkenal ke seluruh
Calcutta. Melalui seorang dokter termashur di India, sahabat M. Gandhi dan
J. Nehru, bernama B.C. Roy yang sangat menghargai karya Mother Teresa dan
menghormatinya, beliau menjadi terkenal ke seluruh India. Hampir tidak pernah
seorang tokok politik Hindu menyatakan dukungannya di hadapan umum bagi
seorang biarawati Katolik. Lalu banyak keuskupan memintanya untuk mengirimkan
suster-susternya. Uskup Agung Calcutta mengingatkannya bahwa itu hanya dapat
dilakukannya setelah 10 tahun. Baru setelah 10 tahun berlalu beliau membuka
rumah-rumah Missionary of Charity di Ranchi, Delhi, Jahnsi dan Bombay.

Demikian pula, setelah menunggu dengan sabar tibanya ijin kepausan yang 
diterimanya dari Paus Paulus VI pada tahun 1965, beliau mulai membuka rumah
di Venezuela, Peru, Colombia, Brazil, Bolivia, Italia dan negara Eropa lainnya,
Australia, Timur Tengah, Afrika, termasuk negara-negara Eropa Timur yang masih 
di bawah kekuasaan komunis pada waktu itu. Sebagai mana halnya karya yang
sukses, beliau menghadapi banyak masalah, rintangan dan kekecewaan. Belum
lagi yang iri termasuk dari lingkungan gereja. Beberapa kongregasi mencoba
memasang rintangan bagi perkembangan Missionary of Charity. Hal ini terjadi
malah di Roma meskipun Paus Paulus VI sendiri ingin beliau membuka rumahnya
di kota itu. Dari mulai saat Paus mengundangnya tahun 1964, baru pada bulan
Agustus 1969 beliau berhasil membuka rumah yang pertama di Roma. Ia memilih 
daerah yang paling miskin, Via Tor Fiscale dekat Appia Nuova. Sejak saat itu,
orang gelandangan, anak-anak yang terlantarkan dan orang-orang tua yang 
kesepian dan kelelahan mulai mengenyam persahabatan suster-suster yang
penuh kasih itu. 

Rumah induk Missionary of Charity di Roma terletak di San Gregorio al Celio,
dekat Colloseum. Rumah itu besar dan indah sekali tetapi diperuntukkannya
bagi tempat bernaung mereka yang tidak mempunyai rumah. Orang miskin yang
terlantar dan terlunta-lunta yang diambil dari jalanan, ditaruh disitu seperti 
putra dan putri raja. Sebaliknya Mother Teresa bersama suster-susternya, 
mempelai Kristus, tinggal di kandang ayam. Benar, tak salah. Ada kandang ayam
di sebelah villa itu yang mereka ubah menjadi biara. Ini adalah ide Mother
Teresa. Disitu mereka menerima tamu-tamunya, baik orang ternama maupun orang
kebanyakan. Biara itu bersih dan menyenangkan tetapi tetap bak kandang ayam.
Ruangannya kecil-kecil, dindingnya polos. Bila musim panas, ruangan itu
"mendidih" dan bila musim dingin "membeku" karena tidak ada AC atau pemanas.

"We Missionaries of Charity must suffer with Christ," kata Mother Teresa lebih
dari sekali dengan sangat yakin. "This is the only way we will be in a position
to share the sufferings of the poor. Our congregation would die out if our
sisters did not walk with Christ in his suffering and if our sisters did not
live in poverty. Strick poverty is our safeguard. To be able to understand
and help those who have nothing, we have to live like them. A radical
difference lies in the fact that the people we help are poor against their
will while we are poor by free choice."

                        Teresa of The Poor (26)

Dari mulai sekitar 10 suster di awal Missionary of Charity pada bulan Oktober
tahun 1950 sampai dengan sekitar 3500 saat ini di 95 negara panggilan terus
melimpah. Banyak institusi kerohanian wanita yang harus menutup rumah-rumah 
mereka karena kurangnya panggilan, namun perkembangan Missionary of Charity
terus melaju. Setiap rumah yang baru berarti pengeluaran, dana dan investasi.
Mereka bukan suatu perusahaan dan tidak didirikan untuk mengumpulkan uang.
Karya mereka adalah suatu pelayanan untuk orang termiskin dari yang miskin.
Jadi mereka membutuhkan dana tentunya. Singkatnya mereka memerlukan uang tapi
tidak menghasilkannya. Karya mereka mencakup ratusan ribu orang, orang miskin,
anak terlantar, orang sekarat, gelandangan, orang cacat, pemudi yang hamil
di luar nikah, penderita AIDS dan kusta. Di India saja mereka merawat 150
ribu penderita kusta. Jadi mereka merawat orang yang membutuhkan perumahan,
makanan, pakaian, perawatan medis termasuk biaya operasi dan obat-obatan yang
mahal. Jelas ongkosnya ada di dalam skala yang luar biasa dan hanya orang
yang bukan main kayanya mampu membiayai karya seperti itu. Tapi Mother Teresa
tak punya apa-apa. Kongregasinya didirikan atas dasar kemiskinan, kemiskinan
yang mutlak. Namun mereka mampu untuk berorganisasi dan membagikan kebahagiaan
serta harapan kepada ratusan ribu manusia. Suatu mujizat akan kasih terhadap
Tuhan dan iman kepada-Nya. 

Kaul kemiskinan yang diucapkan suster-suster Missionary of Charity adalah 
total kemiskinan. Setiap suster hanya mempunyai 3 pakaian dalam dan 2 sari.
Bila Mother Teresa harus pergi, ia siap dalam 10 menit. Semua miliknya masuk
ke dalam tasnya. Peraturan juga mengharuskan mereka tinggal di rumah yang
sederhana. Di negara dunia ketiga, sering suster-suster ini tinggal di 
gubuk dan bedeng. Juga dalam semangat kemiskinan mereka tidak menginginkan
'privacy'. Mereka tidur di barak tanpa memiliki suatu sudut pun untuk diri
sendiri. Mother Teresa ingin kaul kemiskinan ini ditaati bukan saja oleh
para suster, tetapi pun oleh kongregasi. Jadi kongregasi mereka juga tidak 
mempunyai apa-apa, sumber penghasilan atau pendapatan maupun memperoleh
stipendium dari karya mereka. Mereka hidup dari karitas. Kata beliau, "We
and our poor will rely completely on Divine Providence. To keep our work
afloat, much money is needed. Providence thinks about us by sending it 
through generous people who wish to work with us. Therefore, we live off
charity, offerings, and alms, little gestures of love on the part of 
thousands of people. To show our faith in Providence, we do not accept "fixed"
help of any kind, whether it be loans, stipends, or subsidies. A fixed income
would allow us to formulate programs, projects, and action plans, but we 
would no longer be daughters of Providence if we made such concession."

                        Teresa of The Poor (27)

Kepercayaan Mother Teresa akan Penyelenggaraan Ilahi memang luar biasa. Hanya
manusia setingkat santo-santa mempunyai iman seperti itu. Sepertinya hanya
merekalah yang mampu mendapatkan kebahagiaan dan rejeki mengetahui bahwa
Penyelenggaraan Ilahi benar ada dan bahwa kasih Tuhan bukan sesuatu yang
abstrak. Akibatnya mereka menjadi saksi yang merasa beruntung boleh menyaksikan
banyak mujizat. Mother Teresa, yang tidak begitu senang berbicara baik secara
pribadi maupun di muka umum, yang hanya menjawab pertanyaan dengan singkat,
akan mengoceh dengan penuh kegembiraan mengenai kasih Tuhan yang boleh
dialaminya atau keajaiban Penyelenggaraan Ilahi. 

Beliau bercerita mengenai suatu hari di Calcutta dimana sudah tidak ada lagi
makanan untuk 9000 orang yang dirawatnya. Hari Kamis waktu itu. Dapur sudah
kosong. "Go to the church right away and present this matter to Jesus," kata
beliau kepada suster yang melaporkannya. Ia juga berdoa dan pada hari Jum'at
pagi jam 9, sebuah truk datang penuh dengan muatan roti, selei dan susu. 
Sebenarnya makanan itu diperuntukkan bagi sekolah-sekolah negeri di Calcutta
tetapi entah kenapa sekolah diliburkan hari itu dan rejeki Tuhan tidak lagi 
diperlukan di sekolah. Beliau juga bercerita mengenai seorang tua yang anaknya
sakit dan sekarat. Kata dokter anak itu hanya dapat selamat dengan sejenis
obat yang sangat mahal dan tak mungkin ada di India. Meski demikian ia menulis
resepnya dan Mother Teresa berjanji membantunya. Ketika beliau sedang 
memikirkan bagaimana caranya mendapat obat itu seorang pembantunya datang
seperti biasa dengan sekantong obat-obat yang dikumpulkannya dari rumah-rumah
orang kaya. Ketika beliau memeriksanya, dengan segera matanya menatap satu
botol yang berisi obat yang dibutuhkan si anak di dalam dosis yang persis
seperti yang tertulis di resep. Masih ada beberapa cerita mengenai kebutuhan
beliau akan sejumlah uang tertentu dalam saat tertentu yang secara tiba-tiba
diperolehnya. Ada lagi cerita ketika kayu bakar habis sama sekali. Seperti
biasa beberapa suster disuruhnya untuk berdoa. Tak lama bel pintu berbunyi
dan memang ada yang datang menyumbangkan kayu bakar. 

Katanya, "The generosity and sacrifices of thousands of people who are unknown
to us allow us to help many people. However, I trust only in prayer. I never
think about money. We want to do the Lord's work and He's the one who has to
think about how to do it. If He doesn't send what is needed, it means He
doesn't want us to do that work. Ceritanya yang ini istimewa. "Those whom I
consider my greatest co-workers and my sisters' greatest co-workers are those
sick people who are offering their pain to God for us, as well as the 
contemplative monks and nuns who are praying for my work. Even I have my 
"secret collaborator." A Belgian woman whom I have known for more than thirty
years. Her name is Jacqueline de Decker and she is very ill. She is offering
her suffering to help me carry out my mission successfully. Every time I have
something special to do, she is the one who gives me the strength and courage
that I need. In fact, her suffering increases at those times. My bedridden
friend is the one who is doing the most difficult part of my work for me."

                        Teresa of The Poor (28)

Inilah tayangan terakhir dan semoga Anda mendapatkan gambaran dari buku yang
ditulis Renzo bahwa suster yang kecil ini adalah salah seorang pahlawan besar
di masa hidup kita semua. Dari segi duniawi, beliau tidak mencapai apa-apa
yang hebat. Ia tidak membuat penemuan ilmiah yang membuat hidup manusia lebih
baik, ia tidak menyelesaikan peperangan bangsa-bangsa yang sedang kebingungan,
ia tidak menguasai orang, tidak membangun kota atau monumen atau katedral.

Dilahirkan di suatu kota kecil, ia hanyalah anak yang biasa dan bahagia. Ketika
ia berusia 18 tahun ia menjadi suster dan misionaris ke India. Pembesarnya
menjadikannya guru sekolah dan hidupnya tidak terkenal sampai ia berumur 36
tahun. Lalu ia merasa terpanggil melayani orang miskin. Ia meninggalkan 
komunitasnya dan menjadi pengemis di antara yang paling miskin dari yang
miskin di Calcutta, ibu kota kemiskinan dunia. Sepertinya suatu pilihan sinting
dan tak masuk akal tetapi pilihan yang dipandu oleh suatu cahaya dari tempat
yang tinggi dan dilakukan dengan cinta tak terkira. Suatu mujizat terjadi di
dalam diri Mother Teresa, suatu ledakan ilahi yang menimbulkan daya yang
luar biasa. Di dalam waktu yang singkat, suster rapuh dari Calcutta ini
menjadi pusaka dunia dan menyalakan api yang menjadi cahaya di jagad raya.
Segala macam penghargaan telah diterimanya termasuk Hadiah Nobel Perdamaian.
Majalah-majalah terkenal menjadikan beliau tokoh kulit muka seperti yang
mereka lakukan bagi bintang film, raja dan bangsawan, juara olahraga, dan
pemimpin bangsa. Mother Teresa telah menjadi simbol, pahlawan sejati yang telah
membuat sejarah dan di masa mendatang goresan sejarahnya akan semakin nyata. 

Renzo mengakhiri tulisannya dengan doa yang sangat disenangi Mother Teresa, 

yakni doa yang ditulis oleh St. Fransiskus dari Asisi. Bila beliau ditanya
mengenai karyanya, kerap beliau menyitir doa ini seolah-olah kata-kata yang
ditulis St. Fransiskus dalam doa merupakan filsafat hidup yang telah
memberikan inspirasi bagi semua yang telah diperbuat beliau. 

Lord, make me an instrument of your peace:
where there is hatred, let me sow love;
where there is injury, pardon;
where there is discord, unity;
where there is doubt, faith;
where there is error, truth;
where there is despair, hope;
where there is darkness, light;
where there is sadness, joy.

O divine Master, grant that I may seek not so much
to be consoled as to console,
to be understood as to understand,
to be loved as to love.
For it is in giving that we receive,
it is in losing ourselves that we find ourselves,
it is in pardoning that we are pardoned,
it is in dying that we are born to eternal life.

    Source: geocities.com/hilwan