Teresa of The Poor (20) Renzo mempunyai pengalaman berdoa Rosario bersama Mother Teresa dan melihat beliau berdoa. Suatu ketika ia, Uskup Hnilica dan Mother Teresa naik mobil bersama ke kota Vatican. Mereka mulai berdoa rosario atas ajakan Mother Teresa. Beliau berdoa perlahan-lahan dan lembut. Mobil mereka dikebut supir, berhenti mendadak, sikat ke kiri ke kanan seenaknya, menikung tak kira-kira, hampir menyenggol mobil-mobil lain dengan supir yang menyumpah dan membunyikan klakson. Mother Teresa terbenam dalam doa dan tidak mempedulikan sekelilingnya. Ia bersatu dengan Tuhan. Matanya setengah terpejam. Wajahnya yang keriput berubah memperlihatkan kebahagiaan dan kedamaian. Ia mengucapkan kata-kata doa dengan lemah-lembut dan kelihatan sekali seperti sedang bercakap-cakap dengan yang tidak nampak. Kemolekan yang misterius seolah keluar dari dirinya dan mengakibatkan suasana menjadi tenang dan hormat. Ketika doa Rosario selesai, Uskup Hnilica mulai menunjukkan bangunan-bangunan Romawi sepanjang jalan kepada Renzo tetapi Mother Teresa tetap melanjutkan obrolannya dengan yang tidak nampak. Kepalanya menunduk, matanya tertutup dan bibirnya bergerak perlahan-lahan. Baru ketika mereka sampai di St.Peter's Square beliau mulai berbicara lagi dengan keduanya. Suatu ketika Renzo meminta alamat dan nomor telepon beliau di Calcutta karena Renzo ingin berkunjung. Mother Teresa menulisnya di buku catatan Renzo dan sambil tersenyum ia berkata, "One day, I met a very rich and important person in America. He gave me his business card and asked me for mine. "I don't have a business card," I answered. "What?", he said amazed. "A famous and important woman like you should have a business card. Here in America people of importance are very attentive to this custom. I recommend you get some business cards as soon as possible and you'll see how useful they'll be." I listened to what that man had to say. I, too, had some business cards printed. But I didn't have my titles and credentials printed on them as is the custom because I am nothing, less than nothing. I had some things printed on them that are my plan in life. (Tercetak di kartu dengan kertas murahan:) JESUS is happy to come with us, as the TRUTH to be told, as the LIFE to be lived, as the LIGHT to lit, as the LOVE to be loved, as the JOY to be given, as the PEACE to be spread. Mother Teresa. Renzo bertanya sesuatu yang tidak disangka beliau yakni apakah ia takut mati. Ia menatap mata Renzo sejenak, tertawa gembira, dan dengan mata bercahaya dan bahagia berkata, "No, I'm not afraid. Dying means returning home. I anxiously wait for the moment of death. Up there I'll see all the children that I tried to save and who considered me their mother as they were dying in my arms. I'll meet all the poor that I helped, the dying who breathed their last breath in the house I built for them in Calcutta. In short, I'll meet all those people who were dear to me on this earth. Don't you think such meeting will be wonderful?" Teresa of The Poor (21) Mother Teresa melanjutkan ceritanya. Pada suatu saat, rumah yang diberikan oleh Michael Gomes menjadi terlalu kecil karena ada 30 suster disitu. Namun tidak mudah untuk pindah. Beliau tidak mempunyai tabungan atau koneksi. Teman-temannya hanya pengemis. Ia menyerahkan hal itu melalui doa. Setiap pagi selama 3 bulan ia dan suster-susternya berjalan dalam prosesi ke patung Our Lady of Fatima di dekat paroki. Setelah pulang dari kerja sepanjang hari, mereka berangkat kesitu sekitar pukul 6 sore sambil berdoa rosario. Jaraknya cukup jauh dan sepanjang jalan orang-orang ikut bergabung. Mereka kembali pada pukul 9, tetap masih berdoa. "We literally assaulted heaven with our prayers to obtain a new residence and heaven heard us," kata Mother Teresa. Akhirnya mereka mendapat sebuah rumah bertingkat 3 yang cukup besar untuk kongregasi. Uskup Agung Perier membelinya karena ia percaya akan Missionary of Charity. Sampai hari ini rumah itu masih berfungsi sebagai rumah induk. Di dalam masa inilah Mother Teresa memulai karya karitasnya yang paling hebat dan luar biasa. Rumah untuk orang yang sekarat (Home for the Dying). Setiap hari puluhan orang di Calcutta, rubuh terkapar ke tanah karena kelaparan, sakit dan menjadi lemah. Banyak yang meninggal di jalanan. Rumah sakit pemerintah dan klinik yang ada tidak sanggup menampung orang-orang itu karena jumlahnya yang terlalu banyak. Mereka berusaha menolong yang masih dapat tertolong tetapi membiarkan orang yang sudah tua dan sakit karena toh akan meninggal bila dibawa ke rumah sakit. Beliau bercerita. "One day while I was leaving our house, I came across a man lying on the sidewalk who was on the brink of death. I was at Campbell Hospital. I went to get help at a nearby hospital but they refused to admit him because they didn't have any room and the man would die anyway. I was upset by their response. For me, that man was a son of God and I couldn't leave him in the middle of the street in his condition. I went to a pharmacy for some medicine but when I returned after a few minutes he was already dead. He breathed his last breath in the dust on the street. It was a shame. I almost felt guilty. I told myself that I needed to do something. Then the idea occurred to me of creating a home where these dying people could finish out their lives, where someone would help them, where they would see the face of a person next to them who would smile lovingly and help them understand they shouldn't be afraid because they were going to their Father's house. My fellow sisters completely supported the idea. But we had to find a building for these dying people. I went to the city administrator and then to the director of sanitation. "Give me at least a room," I asked. Everyone praised my idea. Various solutions were considered. However, I didn't have the money or the means to resolve the problem alone. Finally, they thought about giving me permission to use, at least temporarily, a rest house for pilgrims that was annexed to the temple of the goddess Kali, which had been vacant for a while. I called that house Nirmal Hriday, which means "The Place of the Immaculate Heart" in Bengali. Teresa of The Poor (22) Mother Teresa melanjutkan kisahnya tentang karyanya yang paling terkenal, Rumah Orang Sekarat, Home for the Dying. "We began our work at once. Nevertheless, there was a lot of opposition. The house was set up on the holy site of the popular Temple of Kalighat with its four hundred priests. Someone was saying that my sisters and I were going there to convert the people to Christianity. There were attacks and lawsuits. Many people sided against us, while others supported us. An Indian political leader made a promise in public that we would be thrown out, whatever the cost. He came to see us while collecting complaints against us. He walked down the passages between the dying and observed our sisters at work. He was touched by what he saw. He saw they were devoting themselves to these unfortunate people with great love, cleaning the wounds of their feeble bodies, and feeding those who could not feed themselves. When he left, he told the people who were waiting for him: "I promised to throw the sisters out of here and I'll do it, but only when you bring your mothers, wives, sisters, and daughters to do the work that they are doing. You have a goddess of stone in the temple; here you have living goddesses." Shortly thereafter, one of the priests of the goddess Kali came down with tuberculosis, a disease that is still highly feared in India. We took in that priest and kindly took care of him. Every day one of his fellow priests would visit him, and each one went away very impressed by our care for this priest and the other sick people. One by one, all the priests of the goddess Kali became our friends and supporters. The hostility ended and we were able to continue our work in peace. The Home for the Dying is something dear to my heart. It has become a holy place because there every day I see actual contact between heaven and earth: indeed, many people close the door on their earthly experience to unite themselves to the Father. You can concretely feel the presence of God by helping these people. When we rescue the dying, they are cared, distressed, and in despair. But seeing our calm and serene faces bending over them with tenderness and love and listening to our words of faith and hope, they close the door on their lives with a smile on their lips. One day the sisters picked up a man on the street whose body was covered with sores and full of worms. He was at the end of his life. I began to wash him and care for him. With his dying eyes, he followed every movement I made. Little by little, a peacefulness appeared on his face. "Are you suffering?" I asked him. "A lot," he answered in a whisper. Then he added: "But, I'm happy. I've always lived in the open, like the animals. Now I'll die like an angel, surrounded by so much care and so much love." Another time, they brought home a woman who no longer had any human resemblance and who didn't show any sign of life. I washed her, took care of her, and talked to her gently. Then I carefully set her down on a bed. She took my hand and smiled. I've never seen such a beautiful smile on anyone's face. "Thank you," she whispered and closed her eyes forever." Teresa of The Poor (23) Dari ribuan foto Mother Teresa, yang paling mengesankan adalah foto beliau bersama anak-anak. Di hadapan anak-anak yang tak berdaya, wajah "santa" ini, yang sudah terbiasa melihat tubuh yang kelaparan dan sakit, menyaksikan segala macam penderitaan, menjadi santai dan menampakkan wajah keibuan. Tetapi ia jarang tersenyum bersama anak-anak itu karena pada umumnya, anak-anak yang ditimangnya adalah anak yatim piatu, penderita kusta, korban kekerasan etnis, anak-anak yang telah melihat kengerian. Anak-anak yang dibuang mudah dijumpai di India, terutama anak perempuan. Mereka ditinggalkan di dalam gereja, di muka rumah sakit, di tangga biara, di muka kantor polisi atau dibuang begitu saja di got. Anak-anak yang dibuang memang mahluk yang paling miskin dan tak berdaya di muka bumi. Banyak institusi kerohanian maupun kongregasi suster-suster berkarya bagi anak yatim piatu. Demikian pula Mother Teresa. Pada tahun 1954 beliau mendirikan rumah bagi anak-anak gelandangan yang diberinya nama Shishu Bhavan, artinya Rumah Kanak- kanak. Orang lalu membawa bayi-bayi yang mereka temukan kesana dan rumah itu dengan cepat menjadi terlalu kecil. Ia membuka Sishu Bavan yang lainnya dan yang lainnya. Katanya, "I'm the mother of thousands of abandoned children, I picked them up off the sidewalks, out of the gutters, and on the streets. The police brought them to me from hospitals where their mothers rejected them. I rescued them, watched them grow, and made them study. I found adoptive families for many of them and now they're doing well. They're scattered around the world in America, India and Europe, but they always remembered me. Their adoptive parents send me photographs. In this way I am able to watch my children grow. Nevertheless, I haven't been able to find an adoptive family for all the children. Some stay with me. They are the handicapped, mentally retarded, and least desirable. Nature has been cruel to them. Buy they are God's children and they need love. They are my favorite children." Teresa of The Poor (24) Bila Mother Teresa bepergian kemana-mana keliling dunia, ia selalu membawa sebuah tas dari katun kasar yang berisi semua harta miliknya yang hanya sedikit. Meskipun tidak ada benda berharga di dalamnya, Mother Teresa memeliharanya seperti harta warisan pusaka keluarga. Ternyata ia sangat menghargai tas itu karena dibuat oleh anak-anak kesayangannya, anak-anak penderita kusta, dengan susah payah. Menurut perkiraan, ada 4 juta penderita kusta di dunia dimana 3 juta tinggal di India. Di Calcutta, jumlahnya lebih dari setengah juta. Penderita kustalah yang merupakan orang yang paling miskin dari yang termiskin dari orang miskin. Mereka tidak mungkin mempunyai pekerjaan atau mencari nafkah. Disisihkan oleh manusia lainnya maupun oleh keluarganya. Atas alasan inilah bagi orang yang beriman seperti Mother Teresa, merekalah yang benar-benar "mewakili" Yesus Kristus. Oleh karena itu merekalah yang paling ingin dilayaninya. Melayani penderita kusta merupakan suatu tindakan yang paling heroik, mencintai mereka sebagai saudara-saudari. Merupakan sesuatu yang pasti bahwa Mother Teresa, yang telah memilih untuk berkarya kasih bagi orang miskin di India, akan menangani penderita kusta. Namun ia tidak memulainya dari awal tetapi sesudah cukup berpengalaman. Pada tahun 1957, setelah berkarya selama 11 tahun dan setelah menyelidiki segala sesuatunya mengenai perawatan penderita kusta, Mother Teresa memulainya. Beliau mengikuti cara yang dipakai oleh seorang dokter Belgia di Madras, Dr. Hemerryckx, yang telah menyempurnakan cara merawat orang kusta dalam jumlah besar. Ia memakai klinik mobil dan dengan demikian dapat menjangkau banyak sekali penderita kusta di sekeliling kota. Karyanya yang paling berhasil di lingkungan penderita kusta adalah suatu desa mandiri penderita kusta, Shantinagar, Tempat Damai, dimana mereka dapat tinggal tanpa kwatir diusir polisi dan dikucilkan dari masyarakat. Desa itu terletak 30 km dari Calcutta. Jalan-jalan dihiasi dengan pohon-pohon dan aneka kebun bunga. Penderita kusta tinggal di rumah-rumah kecil yang mungil bersama keluarganya. Mereka bekerja di toko, laboratorium, sawah ladang, di peternakan babi dan ayam. Anak-anak yang dilahirkan disitu mempunyai rumah dan pergi ke sekolah, termasuk pemeriksaan kesehatan berkala untuk mencegah terjangkit kusta. Selain penderita, banyak orang sehat tinggal di desa itu juga, umumnya sukarelawan, yang dengan kehadiran dan hubungannya membuat para penderita kusta merasa menjadi manusia yang dihargai. Teresa of The Poor (25) Karya Mother Teresa berkembang terus dan beliau menjadi terkenal ke seluruh Calcutta. Melalui seorang dokter termashur di India, sahabat M. Gandhi dan J. Nehru, bernama B.C. Roy yang sangat menghargai karya Mother Teresa dan menghormatinya, beliau menjadi terkenal ke seluruh India. Hampir tidak pernah seorang tokok politik Hindu menyatakan dukungannya di hadapan umum bagi seorang biarawati Katolik. Lalu banyak keuskupan memintanya untuk mengirimkan suster-susternya. Uskup Agung Calcutta mengingatkannya bahwa itu hanya dapat dilakukannya setelah 10 tahun. Baru setelah 10 tahun berlalu beliau membuka rumah-rumah Missionary of Charity di Ranchi, Delhi, Jahnsi dan Bombay. Demikian pula, setelah menunggu dengan sabar tibanya ijin kepausan yang diterimanya dari Paus Paulus VI pada tahun 1965, beliau mulai membuka rumah di Venezuela, Peru, Colombia, Brazil, Bolivia, Italia dan negara Eropa lainnya, Australia, Timur Tengah, Afrika, termasuk negara-negara Eropa Timur yang masih di bawah kekuasaan komunis pada waktu itu. Sebagai mana halnya karya yang sukses, beliau menghadapi banyak masalah, rintangan dan kekecewaan. Belum lagi yang iri termasuk dari lingkungan gereja. Beberapa kongregasi mencoba memasang rintangan bagi perkembangan Missionary of Charity. Hal ini terjadi malah di Roma meskipun Paus Paulus VI sendiri ingin beliau membuka rumahnya di kota itu. Dari mulai saat Paus mengundangnya tahun 1964, baru pada bulan Agustus 1969 beliau berhasil membuka rumah yang pertama di Roma. Ia memilih daerah yang paling miskin, Via Tor Fiscale dekat Appia Nuova. Sejak saat itu, orang gelandangan, anak-anak yang terlantarkan dan orang-orang tua yang kesepian dan kelelahan mulai mengenyam persahabatan suster-suster yang penuh kasih itu. Rumah induk Missionary of Charity di Roma terletak di San Gregorio al Celio, dekat Colloseum. Rumah itu besar dan indah sekali tetapi diperuntukkannya bagi tempat bernaung mereka yang tidak mempunyai rumah. Orang miskin yang terlantar dan terlunta-lunta yang diambil dari jalanan, ditaruh disitu seperti putra dan putri raja. Sebaliknya Mother Teresa bersama suster-susternya, mempelai Kristus, tinggal di kandang ayam. Benar, tak salah. Ada kandang ayam di sebelah villa itu yang mereka ubah menjadi biara. Ini adalah ide Mother Teresa. Disitu mereka menerima tamu-tamunya, baik orang ternama maupun orang kebanyakan. Biara itu bersih dan menyenangkan tetapi tetap bak kandang ayam. Ruangannya kecil-kecil, dindingnya polos. Bila musim panas, ruangan itu "mendidih" dan bila musim dingin "membeku" karena tidak ada AC atau pemanas. "We Missionaries of Charity must suffer with Christ," kata Mother Teresa lebih dari sekali dengan sangat yakin. "This is the only way we will be in a position to share the sufferings of the poor. Our congregation would die out if our sisters did not walk with Christ in his suffering and if our sisters did not live in poverty. Strick poverty is our safeguard. To be able to understand and help those who have nothing, we have to live like them. A radical difference lies in the fact that the people we help are poor against their will while we are poor by free choice." Teresa of The Poor (26) Dari mulai sekitar 10 suster di awal Missionary of Charity pada bulan Oktober tahun 1950 sampai dengan sekitar 3500 saat ini di 95 negara panggilan terus melimpah. Banyak institusi kerohanian wanita yang harus menutup rumah-rumah mereka karena kurangnya panggilan, namun perkembangan Missionary of Charity terus melaju. Setiap rumah yang baru berarti pengeluaran, dana dan investasi. Mereka bukan suatu perusahaan dan tidak didirikan untuk mengumpulkan uang. Karya mereka adalah suatu pelayanan untuk orang termiskin dari yang miskin. Jadi mereka membutuhkan dana tentunya. Singkatnya mereka memerlukan uang tapi tidak menghasilkannya. Karya mereka mencakup ratusan ribu orang, orang miskin, anak terlantar, orang sekarat, gelandangan, orang cacat, pemudi yang hamil di luar nikah, penderita AIDS dan kusta. Di India saja mereka merawat 150 ribu penderita kusta. Jadi mereka merawat orang yang membutuhkan perumahan, makanan, pakaian, perawatan medis termasuk biaya operasi dan obat-obatan yang mahal. Jelas ongkosnya ada di dalam skala yang luar biasa dan hanya orang yang bukan main kayanya mampu membiayai karya seperti itu. Tapi Mother Teresa tak punya apa-apa. Kongregasinya didirikan atas dasar kemiskinan, kemiskinan yang mutlak. Namun mereka mampu untuk berorganisasi dan membagikan kebahagiaan serta harapan kepada ratusan ribu manusia. Suatu mujizat akan kasih terhadap Tuhan dan iman kepada-Nya. Kaul kemiskinan yang diucapkan suster-suster Missionary of Charity adalah total kemiskinan. Setiap suster hanya mempunyai 3 pakaian dalam dan 2 sari. Bila Mother Teresa harus pergi, ia siap dalam 10 menit. Semua miliknya masuk ke dalam tasnya. Peraturan juga mengharuskan mereka tinggal di rumah yang sederhana. Di negara dunia ketiga, sering suster-suster ini tinggal di gubuk dan bedeng. Juga dalam semangat kemiskinan mereka tidak menginginkan 'privacy'. Mereka tidur di barak tanpa memiliki suatu sudut pun untuk diri sendiri. Mother Teresa ingin kaul kemiskinan ini ditaati bukan saja oleh para suster, tetapi pun oleh kongregasi. Jadi kongregasi mereka juga tidak mempunyai apa-apa, sumber penghasilan atau pendapatan maupun memperoleh stipendium dari karya mereka. Mereka hidup dari karitas. Kata beliau, "We and our poor will rely completely on Divine Providence. To keep our work afloat, much money is needed. Providence thinks about us by sending it through generous people who wish to work with us. Therefore, we live off charity, offerings, and alms, little gestures of love on the part of thousands of people. To show our faith in Providence, we do not accept "fixed" help of any kind, whether it be loans, stipends, or subsidies. A fixed income would allow us to formulate programs, projects, and action plans, but we would no longer be daughters of Providence if we made such concession." Teresa of The Poor (27) Kepercayaan Mother Teresa akan Penyelenggaraan Ilahi memang luar biasa. Hanya manusia setingkat santo-santa mempunyai iman seperti itu. Sepertinya hanya merekalah yang mampu mendapatkan kebahagiaan dan rejeki mengetahui bahwa Penyelenggaraan Ilahi benar ada dan bahwa kasih Tuhan bukan sesuatu yang abstrak. Akibatnya mereka menjadi saksi yang merasa beruntung boleh menyaksikan banyak mujizat. Mother Teresa, yang tidak begitu senang berbicara baik secara pribadi maupun di muka umum, yang hanya menjawab pertanyaan dengan singkat, akan mengoceh dengan penuh kegembiraan mengenai kasih Tuhan yang boleh dialaminya atau keajaiban Penyelenggaraan Ilahi. Beliau bercerita mengenai suatu hari di Calcutta dimana sudah tidak ada lagi makanan untuk 9000 orang yang dirawatnya. Hari Kamis waktu itu. Dapur sudah kosong. "Go to the church right away and present this matter to Jesus," kata beliau kepada suster yang melaporkannya. Ia juga berdoa dan pada hari Jum'at pagi jam 9, sebuah truk datang penuh dengan muatan roti, selei dan susu. Sebenarnya makanan itu diperuntukkan bagi sekolah-sekolah negeri di Calcutta tetapi entah kenapa sekolah diliburkan hari itu dan rejeki Tuhan tidak lagi diperlukan di sekolah. Beliau juga bercerita mengenai seorang tua yang anaknya sakit dan sekarat. Kata dokter anak itu hanya dapat selamat dengan sejenis obat yang sangat mahal dan tak mungkin ada di India. Meski demikian ia menulis resepnya dan Mother Teresa berjanji membantunya. Ketika beliau sedang memikirkan bagaimana caranya mendapat obat itu seorang pembantunya datang seperti biasa dengan sekantong obat-obat yang dikumpulkannya dari rumah-rumah orang kaya. Ketika beliau memeriksanya, dengan segera matanya menatap satu botol yang berisi obat yang dibutuhkan si anak di dalam dosis yang persis seperti yang tertulis di resep. Masih ada beberapa cerita mengenai kebutuhan beliau akan sejumlah uang tertentu dalam saat tertentu yang secara tiba-tiba diperolehnya. Ada lagi cerita ketika kayu bakar habis sama sekali. Seperti biasa beberapa suster disuruhnya untuk berdoa. Tak lama bel pintu berbunyi dan memang ada yang datang menyumbangkan kayu bakar. Katanya, "The generosity and sacrifices of thousands of people who are unknown to us allow us to help many people. However, I trust only in prayer. I never think about money. We want to do the Lord's work and He's the one who has to think about how to do it. If He doesn't send what is needed, it means He doesn't want us to do that work. Ceritanya yang ini istimewa. "Those whom I consider my greatest co-workers and my sisters' greatest co-workers are those sick people who are offering their pain to God for us, as well as the contemplative monks and nuns who are praying for my work. Even I have my "secret collaborator." A Belgian woman whom I have known for more than thirty years. Her name is Jacqueline de Decker and she is very ill. She is offering her suffering to help me carry out my mission successfully. Every time I have something special to do, she is the one who gives me the strength and courage that I need. In fact, her suffering increases at those times. My bedridden friend is the one who is doing the most difficult part of my work for me." Teresa of The Poor (28) Inilah tayangan terakhir dan semoga Anda mendapatkan gambaran dari buku yang ditulis Renzo bahwa suster yang kecil ini adalah salah seorang pahlawan besar di masa hidup kita semua. Dari segi duniawi, beliau tidak mencapai apa-apa yang hebat. Ia tidak membuat penemuan ilmiah yang membuat hidup manusia lebih baik, ia tidak menyelesaikan peperangan bangsa-bangsa yang sedang kebingungan, ia tidak menguasai orang, tidak membangun kota atau monumen atau katedral. Dilahirkan di suatu kota kecil, ia hanyalah anak yang biasa dan bahagia. Ketika ia berusia 18 tahun ia menjadi suster dan misionaris ke India. Pembesarnya menjadikannya guru sekolah dan hidupnya tidak terkenal sampai ia berumur 36 tahun. Lalu ia merasa terpanggil melayani orang miskin. Ia meninggalkan komunitasnya dan menjadi pengemis di antara yang paling miskin dari yang miskin di Calcutta, ibu kota kemiskinan dunia. Sepertinya suatu pilihan sinting dan tak masuk akal tetapi pilihan yang dipandu oleh suatu cahaya dari tempat yang tinggi dan dilakukan dengan cinta tak terkira. Suatu mujizat terjadi di dalam diri Mother Teresa, suatu ledakan ilahi yang menimbulkan daya yang luar biasa. Di dalam waktu yang singkat, suster rapuh dari Calcutta ini menjadi pusaka dunia dan menyalakan api yang menjadi cahaya di jagad raya. Segala macam penghargaan telah diterimanya termasuk Hadiah Nobel Perdamaian. Majalah-majalah terkenal menjadikan beliau tokoh kulit muka seperti yang mereka lakukan bagi bintang film, raja dan bangsawan, juara olahraga, dan pemimpin bangsa. Mother Teresa telah menjadi simbol, pahlawan sejati yang telah membuat sejarah dan di masa mendatang goresan sejarahnya akan semakin nyata. Renzo mengakhiri tulisannya dengan doa yang sangat disenangi Mother Teresa, yakni doa yang ditulis oleh St. Fransiskus dari Asisi. Bila beliau ditanya mengenai karyanya, kerap beliau menyitir doa ini seolah-olah kata-kata yang ditulis St. Fransiskus dalam doa merupakan filsafat hidup yang telah memberikan inspirasi bagi semua yang telah diperbuat beliau. Lord, make me an instrument of your peace: where there is hatred, let me sow love; where there is injury, pardon; where there is discord, unity; where there is doubt, faith; where there is error, truth; where there is despair, hope; where there is darkness, light; where there is sadness, joy. O divine Master, grant that I may seek not so much to be consoled as to console, to be understood as to understand, to be loved as to love. For it is in giving that we receive, it is in losing ourselves that we find ourselves, it is in pardoning that we are pardoned, it is in dying that we are born to eternal life.