Rubrik : Renungan Akhir
 

Sisi Lain Mahasabha

JMG Satya Manikgeni

Sudah saya duga, suksesnya Mahasabha IX Parisada di Jakarta disambut dengan berbagai pertanyaan di ashram, begitu saya pulang. Pertanyaan itu umumnya berdasarkan opini yang beredar di Bali bahwa Mahasabha kali ini tidak berhasil menyatukan PHDI Bali, antara versi Besakih dan versi Campuhan.

“Kalau tak tahu masalahnya, ya, jangan terpancing. Cara mengobok-obok umat Hindu itu banyak dilakukan dengan berselimutkan membela Hindu. Mau mendengar penjelasan Guru apa tidak?” saya menoleh satu persatu ke arah kerumunan orang.

“Ya, tentu saja mau,” serempak orang-orang menjawab.

“Tapi ingat, apa yang Guru sampaikan ini dijadikan pegangan sebagai informasi dari tangan pertama. Nanti kalau terbukti Guru berbohong tanggung-jawab Guru amat besar. Nama Guru akan rusak, nama ashram akan rusak. Padahal baru saja di ashram ini ada perhelatan pemuda Hindu dari berbagai penjuru tanah air.”

Orang-orang lalu duduk, kalau tak salah ada sembilan orang, maklum pukul tujuh malam, dua jam lagi, mereka akan berlatih menabuh.

“Begini, niat Panitia semula memang menyatukan PHDI Bali yang dikatakan kembar itu. Namun, yang melakukan Mahasabha ini kan bukan panitia, tetapi utusan dari daerah-daerah. Bagi mereka itu, tak ada PHDI kembar di Bali. PHDI Bali dalam struktur PHDI Pusat adalah pimpinan I Made Artha. PHDI Bali pimpinan Ida Pedanda Gunung sudah menyatakan tidak mengakui PHDI Pusat, lalu PHDI Pusat juga tidak mengakui mereka. Lha, yang punya Mahasabha kan PHDI Pusat, masak yang tidak mengakuinya diundang. Tetapi karena kita menghormati Sulinggih sekaliber Ida Pedanda Gunung, maka beliau diundang secara pribadi, ingat pribadi, dengan status peninjau.

“Dengan status peninjau beliau berhak bicara. Apalagi ketika membahas AD/ART menyangkut Sabha Pandita, yang berbicara hanya para Sulinggih, karena Mahasabha ini forum tertinggi Sulinggih. Di situ lalu diputuskan, anggota Sabha Pandita hanya boleh dipilih dari dan oleh Sulinggih yang hadir sebagai peserta Mahasabha. Ya, begitu keputusan Sulinggih, ya, kita hormati.....”

“Tak ada yang protes, Guru?”

“Guru yang protes, tetapi melalui jalur Pandita yang guru kenal. Alasan Guru, ini tidak fair karena mungkin ada Sulinggih yang kualitasnya bagus tetapi tak ikut Mahasabha. Nanti, kalau kualitas Sulinggih yang hadir di Mahasabha mencerminkan keunggulan utama, baru diperlakukan itu. Tetapi para Sulinggih tetap memutuskan begitu, masak Guru yang masih walaka terus protes. Nah, akhirnya Ida Pedanda Gunung, tentu tidak bisa dipilih sebagai anggota Sabha Pandita.”

“Andaikata beliau bisa dipilih, kira-kira dipilih juga nggak Guru?”

“Guru tak bisa berandai-andai. Menurut Guru, juga tidak mungkin terpilih. Logikanya: beliau kan belum mencabut pengakuannya yang tidak mengakui PHDI Pusat. Coba saja kalian pikir, tidak mau ikut jadi Sekeha Gong Ashram, tetapi kepingin dipilih menjadi Ketua Sekehe Gong, itu pikiran dari mana?

“Nah, jika sekarang hal itu dijadikan alasan untuk tetap membuat PHDI Bali Campuhan, ya,  biarkan saja. Kalau saja Guru yang jadi pengurus PHDI Pusat, Guru akan menggugatnya ke Pengadilan, karena tidak boleh ada organisasi tandingan di Indonesia. Seperti PKB yang kembar kan harus diputuskan secara hukum. Akhirnya terpaksa Sulinggih digugat, apa boleh buat, karena jalan damai, santun, bersahabat tak digubris. Tetapi kalau mereka membuat  organisasi yang namanya tidak sama, misalnya saja, Parisada Perjuangan Bali, atau apalah, itu hak asasi setiap orang di Republik ini. Guru pun mendukung, makin banyak ada organisasi yang melayani umat, makin bagus kan? Nah, sekarang paham?”


©Raditya2002