Rubrik : Hindu Nusantara |
Merajut Bumi Poso yang Terkoyak
Catatan Perjalanan Dharmayatra I Nyoman Putra ke Sulawesi Tengah
Untuk memenuhi sebuah
undangan, pada 23 Desember 2006 saya berangkat ke Palu. Berangkat dari Surabaya
sore hari, tiba di Palu jam 22.30 WITA. Tiba di bandara, ternyata Ketut Winaya
dan sang istri sudah siap menungu kedatangan saya. Mereka ini pada peristiwa
Poso sempat menjadi korban dan harus melarikan diri ke tengah hutan bersama dua
orang tetangganya yang beragama Kristen dan Islam. Tanggal 24 Desember 2006 jam
08.00 saya dijemput di hotel dan mengajak seorang remaja putri berangkat menuju
Poso. Tiba di Parigi kami berbelok dulu ke Desa Buranga, Kec.Ampibabo, Kab. Parimo,
tempat keluarga Putu Swarsih yang meminta saya melakukan japa mantram, karena
adik-adiknya sering sakit-sakitan secara bergantian. Begitu selesai acara di
Buranga, kami langsung menuju Poso. Jarak Palu ke Poso sekitar 250 km dan Ketut
Winaya dengan santai mengemudi. Sekitar jam 17.00 kami memasuki Poso. Saya
menarik napas dalam-dalam begitu berada di tengah-tengah kota Poso. “Oh Poso, sebuah
kota gersang dan menaburkan aroma panas menyesakkan dada.” Dari Poso kami
menuju Tentena sejauh 70 km ditempuh dalam waktu 2 jam sehingga jam 19.00 kami
sudah masuk Hotel Intim Danau Poso yang terletak di tepi sungai Poso, tepat
menghadap danau Poso yang luas membentang. Pada 25 Desember 2006,
saat Natal, sekitar jam 08.00 kami menuju Desa Toinasa yang terletak 25 km
menuju Utara dari Tentena. Perjalanan ke Toinasa melewati tepi danau Poso yang
luas membentang dengan air yang tenang. Kami berjalan menyusuri tepi danau yang
berada di pinggir lereng-lereng perbukitan yang rawan longsor. Jam 10.00 sampai di Toinasa
dan acara dimulai setelah ruangan dipenuhi sekitar 100 orang siswa berasal dari
SMP Toinasa, SMP Meko, SMP Sueptonusa. Begitu waktu diserahkan, selama satu jam
saya paparkan tentang jati diri seorang Hindu didasari oleh sradha (keyakinan)
dan bhakti (cinta mendalam pada Hyang Widhi) yang tidak bisa dipisah-pisahkan
seperti kawin cerai artis selebritis. Judul dharmawacana saya: “Ada Apa Dengan
Cinta” masih digemari. Saya mengupas dengan tuntas, bahwa kalau mengaku
beragama Hindu laksanakan kewajiban sembahyang tiga kali sehari. Jangan
sembahyang sekali saja, itu pun menunggu Purnama Tilem, atau Galungan –
Kuningan. Esok paginya, 26 Desember
2006, Ketut Winaya sambil mengemudi berkisah, “Para Ketua PHDI Desa dan
Kecamatan masih curiga kehadiran Bapak akan membawa aliran tertentu. Dan acara
kemarin itu digagas oleh Gusti Ngurah Widnyana, S.P., selaku sekretaris Peradah
sebagai ajang pemantauan, sehingga penjelasan Bapak kemarin tentang siapa Bapak
sebenarnya dan kwalitas dharmawacana yang didengarkan bisa dikaji.“ Saya dengarkan dengan tenang
kisah Ketut Winaya dan saya menyela: “Beh saya lulus fit and proper test
seperti calon Ketua Legislatif, astungkara. Pantasan waktu pertama
ketemu di ruangan kelas, wajahnya seperti menyimpan seribu misteri sangat
serius menatapi wajah saya.” Jadwal yang disusun secara mendadak
ternyata cukup padat. Pagi ini jam 09.00 saya berada di Desa Tomusu, kediaman Gusti
Ngurah .Sucipta, SP selaku Ketua Peradah Rayon Tentena yang di SMP Toinasa
hadir bersama Guru Made Oka, Ketua PHDI Desa Tomusu. Saya kagum dengan umat di
Tomusu dengan jumlah 58 kk pada pagi ini semua tidak ada ke kebun untuk bekerja,
tua-muda sebanyak 150 orang memadati bale
banjar tempat dharma wacana. Selesai dharmatula kami
istirahat sejenak di rumah mertua Ketut Winaya. Sempat saya diajak melihat air
terjun. Jam 15.00 saya dengan Ketut Winaya menuju Toinasa yang jaraknya 12 km.
Perjalanan mengitari danau Poso, melewati hutan yang rawan longsor. Jam 17.00 kami meneruskan ke
Toinasa. Setiba di sebuah balai banjar
yang besar dan kerangkanya sangat megah yang berdiri di atas tanah 1000 meter
persegi. Umat mulai berdatangan setelah kentongan dibunyikan. Bale banjar ini dirancang untuk
pentas seni, oleh karena itu ada panggungnya dan kami duduk dengan tokoh-tokoh
di deretan panggung, sementara umat sebanyak 300 orang duduk di pelataran bale banjar. Dalam kata pembukaan
pembawa acara menyebutkan bahwa umat Hindu asal Bali di Toinasa jumlahnya 300
kk tetapi yang hadir hanya sebagian saja disebabkan sepulang dari kebun banyak
yang lelah dan butuh istirahat. Sewaktu dharmatula ada
seorang pemuda menyampaikan permasalahan "ngaben" yang dilarang oleh
umat Kristen, dilaporkan ke PHD1 Kecamatan tidak ditanggapi. Pemuda ini agak
marah dan saya redam dengan kasih sayang meminta "Pak Wayan, tolong
tegangannya diturunkan dari 220 volt ke 120 volt, coba ulangi dengan suara agak
rendah," pinta saya. Pak Wayan yang muda ini menuruti permintaan saya dan
suaranya pelan, datar tidak marah. Umat pun tepuk tangan sambil tertawa,
setelah ini saya urai dan jawab dengan konsep "ber- etika". Setelah
jawaban saya selesai dia bilang: terima kasih. Saya Aliran Yeh Telabah Pada 27 Desember 2006 acara
ada di dua desa. Pagi ini Desa Salukaea dimulai jam 09.00 pagi. Umat yang hadir
seketika 180 orang terdiri dari remaja putra putri dan orang tua mereka. Ketua
PHDI desa membuka acara dengan sambutan yang menganjurkan umatnya untuk
mempergunakan kesempatan langka ini seluas-luasnya untuk bertanya. Satu pertanyaan menohok
mengemuka, perlukah mecaru darah di saat
terjadi pembantaian manusia di desanya. Tetapi dari sekian banyak pertanyaan
tidak pernah muncul pertanyaan tentang poligami yang lagi ngetrend saat ini. Acara ini berjalan selama 4 jam. Setelah itu
acara dilanjutkan dengan jamuan makan siang. Jam 15.00 kami meninggalkan Desa
Salukaea menuju Desa Meko yang berjarak 10 km berada di jalan Trans Sulawesi. Acara di Desa Meko
dilaksanakan di Pura Desa dan Puseh, dimulai dengan persembahyangan bersama
dipimpin oleh pemangku. Dharmawacana diadakan dipelataran pura, lalu dharmatula
diadakan di nista mandala. Di Desa Meko banyak umat terpelajar dan umat
yang hadir sekitar 300 orang dengan pertanyaan kebanyakan tentang tattwa-tattwa yang
muncul dengan berevolusi di era
sekarang ini dibawa oleh beberapa sampradaya. Sampradaya, kenapa takut, kenapa curiga kenapa cemburu? Sampradaya, selama kitab sucinya Weda, maka mereka
Hindu. Kedepankan etika, kedepankan
sopan santun dan ikuti ketetapan PHDI Pusat tentang keberadaan sampradaya dengan
jiwa besar dan satria,
bahwa kemajuan umat Hindu ke depan dimulai dari mampunya kita menghargai perbedaan sebagai sesuatu yang indah. Kedepankan sikap bhakti pada Tuhan, kebelakangkan sikap keakuan dalam diri barulah bicara kerukunan dan kedamaian. Saya selaku dharmayatra
sering dicurigai membawa satu aliran dan buat saya sesuatu yang wajar. Dan jawabannya
memang benar saya dari aliran tertentu yaitu aliran: "Yeh Telabah".
Aliran ini tidak ada pengikutnya karena dalam melaksanakan dharmayatra murni
semurni-murninya menaburkan dharma melalui Jnana Punia. Tidak boleh tersinggung,
tidak boleh marah, tidak gila minta dihormati, dan tidak mencari amplop. Bahkan
yeh telabah atau aliran air sungai
dengan rela jadi tempat membuang sampah, kotoran dan apa saja seperti caci
maki, benci dengki, dan ini pada akhirnya semua akan dihanyutkan ke muara yaitu
ke laut dan di lautan semua kotoran itu dibersihkan. Mau ikut aliran Yeh Telabah? Silakan, karena kehadiran Anda
ditunggu dan dinanti di desa-desa mulai jalan beraspal sampai jalan berdebu di
lereng lereng pegunungan. Umat Hindu merindukan dharma duta dari PHDI, apakah pusat,
provinsi maupun kabupaten. Kunjungi Pura yang Pernah Kena Bom Pada pagi yang cerah 28 Desember 2006 kami
kembali ke Palu. Ketut Winaya yang sangat dikenal di Tentena masih tetap setia mendampingi. Di Poso kami mampir makan dan
di luar kota Poso berjarak 5 km menuju
Palu kami berhenti untuk sembahyang di Pura Stana Narayana yang pernah jadi topik berita karena bom meledak di sini. Pura Stana Narayana dijaga
oleh polisi dengan pakaian preman dan sewaktu kami memberi salam Om Swastyastu,
sang polisi membalas sambil mencakupkan tangan padahal bukan umat Hindu. Pura
yang berdiri di areal 1000 meter persegi terdapat Padmasana dengan artistik
Bali setinggi 10 m yang baru selesai di-plaspas
menggantikan Padmasana lama yang telah di-pralina. Pagar penyengker
masih terbuat dari bambu dan di sekitar Pura sama sekali tidak ada umat Hindu. |