Rubrik : Hindu Nusantara |
Membentuk Pamangku Sesuai Tuntutan Zaman
Sudah berkembang wacana di masyarakat yang
menginginkan hadirnya sosok Pemangku atau pinandita ideal. Ia tidak saja
diharapkan mampu nganteb upakara dan
hal-hal yang berkenaan dengan kesibukan ritual lain, tetapi sekalian memiliki
fungsi multi. Karena statusnya sebagai rohaniwan yang semestinya juga
melaksanakan fungsinya secara menyeluruh, seperti sebagai konselor rohani
keluarga umat, konselor rumah tangga dengan berpedoman pada sastra-sastra
Hindu, sebagai konsultan bisnis sesuai etika Hindu, dan juga mampu beropini
terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan berdasarkan cara pandang
filosofis Hindu. Dengan demikian, seorang Pemangku tidak ‘tertanam’ dalam dunia
bebantenan dan mantra-mantra saja,
tetapi ia juga menjadi leader di
bidang sosial kemasyarakatan. Ini semata-mata karena tuntutan zaman, sehingga
tidak akan ada lagi kesan Pemangku udik atau kampungan yang tidak berani
berpendapat menyoal masalah-masalah masyarakat yang semestinya ikut sumbang
saran memberi solusi sesuai ajaran Hindu. Harapan terlalu berat memang disandangkan di
bahu para Pemangku, tetapi wacana itu terkesan bersifat sepihak. Di mana umat
hanya gemar menuntut sesuatu yang ideal dan berkwalitas sempurna dari figur Pemangku, tetapi alpa untuk memperlakukan Pemangku
itu sebagaimana layaknya. Terutama keadaan yang berkembang di sebagian besar desa pakraman di Bali, di mana Pemangku
nyaris seperti figur kesepian. Ia berjuang sendiri meningkatkan pengetahuan
agamanya, belajar tattwa, agem-agem kepangkuan, tata cara penyelenggaraan
upacara yadnya dan lainnya. Tak jelas, berapa waktu yang mereka korbankan untuk
urusan itu, sementara mereka ini memiliki keluarga yang harus ditanggung secara
ekonomi. Inilah kemudian yang menjadikan seseorang yang menjabat sebagai Pemangku
terlebih dahulu akan melakukan fungsi grhasta-nya
(rumah tangga) yakni memutar ekonomi rumah tangganya. Setelah semua urusan itu
beres, barulah sisa waktu dimanfaatkan untuk belajar tattwa agama. Jelas, jangankan beropini di ruang publik, akhirnya
masalah penyelenggaraan upacara yadnya pun tak tuntas mereka kuasai. Semuanya
dipungkas dengan jurus, desa-kala-patra. Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Drs. Ketut Wiana,
M.Ag ketika dijumpai di rumahnya, 15 Januari 2007 lalu berpendapat, bahwa kini
masanya pura dimanajemen secara modern. “Untuk mempertahankan tradisi harus
melakukan manajemen modern, sebab tanpa pengaturan yang serius dan terencana
agama Hindu di Bali akan hancur,” cetusnya. Ungkapan ini ia lontarkan dari
berbagai fenomena, yang salah satunya adalah cara umat Hindu memperlakukan Pemangku-nya
masih kurang. Terutama yang menyangkut kesejahteraan ekonomi Pemangku. Karena sangat riskan bila Pemangku
harus berkutat memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara ia juga dituntut melayani
umat setiap saat. Apalagi mereka yang berprofesi sebagai petani akan semakin
repot. Padahal jelas-jelas dalam Lontar
Tattwa Siwa Purana disebutkan, “Samalih
yan sampun madeg Pemangku tan wenang ngambil banteng, mikul tenggala mwang
lampit tan palangkahan sawa, sarwa sato, saluwiring sane kinucap cemer”
(Dan lagi bila sudah menjadi Pemangku, tidak patut mengambil sapi, memikul alat
bajak, tidak dilangkahi jenasah, binatang maupun segala yanag tergolong
ternoda). Tapi dalam praktiknya di Bali, Pemangku dilarang melangkahi tali sapi
dan dilarang memukul sapi. Kalau uger-uger
pabratan Pemangku ini ditepati, betapa tragisnya, jikalau yang bersangkutan
kebetulan sebagai peternak sapi atau sebagai petani dalam kesehariannya.
Bisa-bisa Pemangku dan keluarganya tidak makan. Dengan demikian menurut Ketut
Wiana, sebuah pura sepatutnya dikelola secara modern. Ada direktur yang
bertanggungjawab mengurus pura dan juga ada AD/ART pura. Sebuah pura selain
berfungsi sebagai tempat latihan pertumbuhan spiritual, juga mesti dikelola
supaya bisa memutar roda perekonomian yang tujuannya untuk manajemen pura itu. Akan lebih baik bila ada aturan jelas berapa
jumlah sesari, iuran tetap pura, dan
sejenisnya yang harus dihaturkan oleh umat bila bersembahyang atau untuk
keperluan lain. Uang hasil operasional pura sehari-hari inilah kemudian
dikumpulkan untuk berbagai alokasi dana, seperti untuk biaya pemeliharaan pura,
biaya ritual, biaya hidup Pemangku dan dana operasional lainnya. Selain mencari
pemasukan dana dari umat, akan kian baik bila pura memiliki tanah pelaba pura, juga di Bali sebagian dana
bisa diperoleh lewat bagian keuntungan LPD setempat. Ini baru cara kerja yang
benar, di mana umat yang memang membutuhkan Pemangku berkomitmen menanggung
kewajibannya. Tidak hanya berani menunjuk orang jadi Pemangku atau ikut memakai
jasa Pemangku, tetapi acuh untuk memberikan’imbalan’ yang pantas. Baik itu
imbalan materi atau imbalan sosial dalam bentuk penghormatan, kepercayaan,
pemberian hak istimewa dan sejenisnya. Umat Hindu ke depan perlu memikirkan, bagaimana Pemangku
bisa mengabdi dengan nyaman dan tenang. Caranya ialah dengan mendapat santunan
biaya hidup dari umat. Setelah itu sepatutnya Pemangku konsentrasi untuk selalu siap di pura setiap hari, melayani umat
yang datang, baik untuk sembahyang atau konsultasi tentang berbagai masalah
kehidupan. Inilah peran konselor yang kini belum digiatkan sebagai sebuah
budaya keagamaan, sehingga pada masyarakat Bali konselor spiritual masih
diperankan oleh balian, dasaran, ahli
gaib dan sejenisnya. Jelas-jelas itu bukan cara penyelesaian masalah menurut
sastra agama. Untuk mampu memerankan fungsinya sebagai
konselor keagamaan, maka seorang Pemangku idealnya terlebih dahulu mengikuti training atau pendidikan intensif.
Apakah calon Pemangku itu berasal dari
keturunan, didaulat berdasarkan upacara nyanjan,
dengan lekesan atau dipilih, maka
sebaiknya setelah itu umat yang mendaulatnya membiayai Pemangku itu untuk
mendapat pendidikan yang cukup. Di sinilah dibutuhkan tokoh-tokoh lokal di desa pakraman atau tokoh di lingkungan
keluarga (wangsa/soroh) yang cerdas dan inovatif untuk membentuk Pemangku yang
ideal di masa depan. Pendidikan formal ini bisa ditempuh dengan
bergandengan bersama lembaga-lembaga formal seperti Institut Hindu Dharma,
Universitas Hindu Indonesia, PHDI, Departemen Agama, atau yayasan-yayasan yang
bergerak di bidang keagamaan. Lagi-lagi, desa
pakraman yang membawahi Tri Kahyangan hendaknya bergerak progresif, baik
untuk menyediakan dana pendidikan Pemangku, maupun memberikan dorongan dan pengertian
kepada warganya, tentang urgennya memiliki Pemangku yang lintas sektoral. Ia
tidak semata-mata bertugas melakukan puja, tetapi memiliki tugas di berbagai
bidang. Perlunya Pemangku standbay di
pura saban hari adalah untuk menjalankan fungsinya ini. Mewujudkan rohaniwan Hindu semacam ini memang
akan mendobrak tradisi, di mana selama ini Pemangku kebanyakan belajar secara otodidak, bahkan sebagian malahan enggan
belajar. Ada oknum Pemangku yang ditunjuk lewat nyanjan bertingkah arogan, bahwa dirinya tidak perlu lagi belajar,
toh Ida Bhatara sudah kayun kairing olehnya. Mungkin cara
berpikir seperti ini bukan milik satu dua orang, tapi banyak. Padahal
pendidikan ini juga bertujuan menjadikan Pemangku disiplin memegang teguh sasana kePemangkuan-nya, sehingga layak
menjadi simbol kesucian. Dalam Lontar
Kusumadewa ada disebutkan, “Aja sira
pati pikul-pikulan, aja sira kaungkulan ring warung banijakarma, aja sira
munggah ring soring tatarub camarayudha, saluwiring pajudian, mwang aja sira
parek saluwiring naya dusta” (jangan dia-Pemangku- sembarang memikul, janganlah
dia masuk ke warung tempat berjualan, janganlah dia duduk di bawah tetaring sabungan ayam, semua jenis
judian, dan janganlah dia-Pemangku-
dekat dengan niat yang jahat). Demikianlah sebagian pantangan untuk Pemangku
yang bertujuan menjadikannya berperilaku santun, beretika dan suci. Toh
demikian, acap kali kita menjumpai di masyarakat seorang oknum Pemangku bukan
hanya berada di bawah tetaring
sabungan ayam, tetapi ikut taruhan di arena sabungan ayam, sebagain lagi menajadi
saya gisi dan sebagainya. Tidak
tegaknya bebratan Pemangku, karena
tidak ada sistem tegas mengatur tentang tata cara pengangkatan seorang Pemangku. Jarang ada Pemangku dipecat, kecuali
melakukan tindakan kriminal mencolok. Dan juga orang ogah menggantikan posisi Pemangku,
karena takut menderita. Menjawab semua kelemahan ini, maka kiranya perlu
diadakan pembenahan dengan melakukan manajemen terarah yang lebih modern dalam
hal pengaturan pura berikut segala aktivitasnya. Dengan demikian diharapkan
tradisi beragama Hindu bisa tetap eksis, tidak hancur gara-gara ketidakseriusan
mengelola diri sendiri. N. Putrawan |