Rubrik : Hindu Nusantara |
Pemangku yang Dibutuhkan dan Diacuhkan
Putu Kesuma
Keberadaan Pemangku tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan umat, khususnya dalam memberikan tuntunan, serta sebagai penganteb upakara dalam berbagai upacara panca yadnya. Selain itu ada fakta, bahwa sampai
saat ini kesejahteraan para Pemangku masih sangat jauh dari
harapan. Dan umat menganggap hal itu sebagai
sebuah konsekwensi logis dari pilihan
untuk menjadi Pemangku. Pada hal sebagian besar
umat yang menjadi Pemangku bukan karena keinginannya, akan tetapi
karena ditugaskan oleh umat melalui
berbagai mekanisme. Ketidaksejahteraan para Pemangku bertambah lengkap dengan berbagai pantangan yang harus dijalani sebagai Pemangku. Banyak Pemangku yang untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari harus menjadi petani, pengrajin, tukang kayu, tukang batu,
atau tukang atap. Dan tidak
menutup kemungkinan juga ada yang menjadi
bebotoh. Sedihnya,
umat merasa tidak perlu bertanggung
jawab akan
kesejahteraan para Pemangku. Banjar sebagai institusi hanya bertanggung jawab manakala Pemangku meninggal dunia untuk memperabukan
jenazahnya. Warga banjar merasa sudah memenuhi tanggung jawabnya hanya dengan menanggung biaya pelebon, padahal pelebon hanya sekali dalam
seumur hidup. Lalu di mana tanggung
jawab umat dalam kebutuhan sehari-hari para Pemangku? Cukupkah hanya dengan menghaturkan peras sebagai imbalan
jasa yang diberikan ketika umat memerlukan
untuk nganteb upakara? Untuk itu, umat perlu meningkatkan
tanggung jawabnya dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan para Pemangku. Jika para Pemangku
semakin sejahtera, maka Pemangku akan dapat lebih berkonsentrasi dalam peningkatan kemampuannya (meskipun tidak selalu demikian).
Namun,
paling tidak umat wajar menuntut peningkatan kwalitas manakala tanggung jawab umat sudah
ditingkatkan. Itu pun kalau
manggunakan mental dagang. Bagaimana idealnya hubungan umat dengan
Pemangku?
Idealnya hubungan itu seperti
hubungan sisya-guru, murid-guru. Seorang murid baru disebut murid jika
ada guru, dan seorang guru disebut guru jika ada murid.
Seorang guru adalah dia yang telah mengetahui, mengetahui jalan yang akan
kita tempuh. Seorang guru adalah seorang pemandu. Seorang “murid” adalah seorang
yang telah menyerahkan sepenuhnya pikirannya kepada guru, sehingga sang guru dapat bekerja melalui
diri sang murid. Dalam hal ini perlu kiranya
dikutip mantra guru puja
yang bunyinya sebagai berikut. Menurut mantra di
atas begitu mulianya kedudukan seorang guru, karena tanpa guru tidaklah mungkin kita tahu
jalan yang sedang kita lalui saat
ini. Entah siapa pun guru itu, yang jelas guru sangatlah berjasa dalam hidup
kita. Tanpa kehadiran seorang guru dalam hidup kita,
maka hidup ini akan
gelap. Seorang guru adalah pelita
dalam hidup kita. Jika kita bisa menerima hubungan
umat dengan Pemangku seperti hubungan murid dengan guru, maka sudah sepantasnya kesejahteraan para Pemangku menjadi bagian dari praktek
keagamaan kita ketimbang berbagai kemegahan ritual yang kita lakukan. Adakah yang dapat kita lakukan
untuk meningkatkan kesejahteraan para Pemangku? Tentu ada. Dan tanpa perlu mengeluarkan
biaya tambahan, kita hanya perlu
belajar untuk menundukkan sedikit demi sedikit ego kita, sederhanakan berbagai ritual dan pahami maknanya. Ketika ego kita semakin kecil, maka kita akan bisa hidup dalam keserderhanaan.
Kerendahan ego akan
dapat memahami kemuliaan dalam kesederhanaan. Kerendahan ego akan membawa
kita kepada kepedulian akan penderitaan mahluk lain, bukan manusia saja. Bagaimana dengan Pemangku? Seorang Pemangku jika ingin
dihormati seperti seorang guru, maka tidak ada jalan
lalin kecuali meningkatkan kwalitasnya terus menerus. Bukan saja meningkatkan
kemampuan dalam memahami berbagai kitab suci, akan tetapi juga mampu memberikan
konsultasi kepada umat. Di samping
itu seorang Pemangku yang sekaligus seorang guru harus mampu memberikan jalan keluar manakala
ada perselisihan di masyarakat atas
sebuah kebiasaan (tradisi) berdasarkan kesadarannya sebagai seorang guru yang mampu menunjukan jalan. Bukan saja umat
yang perlu belajar untuk merendahkan ego, akan tetapi
Pemangku harus bisa menjadi contoh
dalam kerendahan ego, sehingga bisa menjadi
wadah dari berbagi pemikiran yang berbeda tanpa memihak.
Hanya dalam kerendahan eglo-lah hal itu
bisa terjadi. Tanpa peningkatan kwalitas hubungan umat dengan
Pemangku, maka akan sangat
sulit untuk meningkatkan kesejahteraan, baik kesejahteraan material dan non material. Baik untuk Pemangku
maupun untuk umat. Untuk itu maka sudah
saatnya hubungan umat dan Pemangku
yang selama ini berdasarkan hitungan “dagang” menjadi hubungan antara guru dan murid yang melampaui hubungan “dagang” itu sendiri.
Dalam hal ini hubungan
antara guru dan murid sepenuhnya dilandasi atas prema, kasih, asih. |