Dharma Wacana |
Umat Hindu Memasuki Indonesia Baru
Putu Setia
Bali dengan penduduk yang mayoritas Hindu, kurang sekali mengantisipasi perkembangan sosial politik yang terjadi di negeri ini. Baik untuk jangka pendek apalagi jangka panjang. Seperti halnya pemerintahan Orde Baru, umat Hindu sepertinya berpandangan sama, alergi membicarakan masalah politik, apalagi dikaitkan dengan agama. Dari 156 partai politik dan 48 yang ikut Pemilu, tidak ada satu pun partai yang berasaskan Hindu. Partai yang berasaskan agama lain banyak. Memang untuk menyenang-nyenangkan diri, kita masih bisa berdalih: partai yang berasaskan Budha juga tak ada. Tetapi ingat, Partai Reformasi Tionghoa Indonesia boleh disebutkan sebagai partainya orang Budha. Lihat saja flatform mereka atau tercermin dengan tabloid yang mereka terbitkan, Naga Pos, dan juga sepak terjang aktifis partai ini.
Partai berasas Hindu? Nehi! Agama Hindu hendaknya seteril dari dunia politik, kata sejumlah tokoh. Alasannya, agar umat tidak pecah dan bingung. Memang, dalam sejarah politik Indonesia, Hindu tak pernah tampil dengan bendera partai. (Tetapi kalau menyebutkan agama Hindu tak pernah bersinggungan dengan politik, itu salah, karena di India banyak ada partai Hindu. Bahkan salah satunya, berkuasa saat ini).
Mari kita kilas balik sebentar melihat bagaimana Hindu dalam kaitan dengan politik, atau jika alergi dengan kata politik, kaitan Hindu dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada zaman Kerajaan Majapahit, agama Hindu menjadi agama negara. Kerajaan itu mencapai masa-masa emasnya dengan Hindu sebagai agama kerajaan. Masalah-masalah agama menempel dengan masalah kerajaan. Resikonya, ketika kerajaan pecah karena intrik yang sebenarnya urusan elit kekuasaan (politik), pengayoman dan pembinaan masalah agama Hindu pun tak kokoh lagi. Karena memang di luar kerajaan tak ada lembaga agama yang kuat. Kalau dianalogikan saat ini, tak ada Partai Hindu atau ormas Hindu.
Karena itu, ketika Islam masuk dan membangun basis-basis agamanya di pesisir (di Bali saat ini, pesisir pun mulai bertebaran masjid) antisipasi umat Hindu terhadap "gerakan dakwah" ini hampir tak ada. Akhirnya, dakwah Islam leluasa masuk ke dalam, bahkan mencobakan dakwahnya dengan meminjam idiom-idiom Hindu, terutama sekali kebudayaan Hindu yang sangat populer saat itu: wayang kulit. Para wali penyebar Islam, terutama sekali Wali Sanga, dan khususnya lagi Sunan Kalijogo, menyebarkan Islam dengan kebudayaan Hindu, yaitu wayang kulit itu. Ephos Mahabharata yang di kalangan umat Hindu disebut Itihasa -- cerita yang diyakini kebenarannya -- dipakai menyebarkan Islam, dan ajaran-ajaran Islam masuk lewat cerita itu. (Kalau kita analogikan saat ini, pertunjukan wayang kulit di saat itu barangkali semacam televisi sekarang ini, sudah demikian merakyat dan juga menjadi media propaganda yang ampuh. Nah, "televisi" itulah yang diambil-alih peran dan fungsinya oleh kalangan Islam).
Seiring dengan kehancuran Majapahit karena perpecahan di dalam dan perebutan kekuasaan, pemeluk Hindu pun beralih ke agama baru yaitu Islam. Karena kerajaan tak berfungsi lagi sebagai pengayom, sementara di luar kerajaan, lembaga-lembaga keagamaan tak ada yang berfungsi sebagai pengayom. Dalam hal penyebaran (kita sebut saja peralihan) agama ini, sejarah menuliskannya dengan sangat damai. Namun, saya agak meragukan hipotese itu. Kalau semuanya berlangsung damai, kenapa umat Hindu yang tidak bersedia beralih agama lari ke gunung-gunung dan juga ke Bali? (Sisa-sisa umat Hindu di Jawa, kebanyakan berada di gunung/pedalaman: Tengger, Bromo, Gunung Kidul, Lingga Asri, Linggar Jati, Badui, dan seterusnya).
Munculnya kerajaan-kerajaan di Bali, juga identik dengan pola Kerajaan Majapahit. Para pendeta Hindu menempel dengan kekuasaan, dijadikan bhagawanta. Semua ritual keagamaan berpusat pada raja. Ini masih mendinglah, karena bentuknya kerajaan. Namun, sampai saat ini setelah 54 tahun merdeka, agama Hindu tetap menempel erat dengan pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah yang dibawah komando pemerintah pusat. Lihat sajalah, pujawali seperti Panca Wali Krama di Besakih, kepanitiaannya dan tetek bengeknya diatur oleh Gubernur, dengan SK Gubernur. Lembaga-lembaga keumatan perannya hanya pendamping.
Kalau kita kembali ke masa penjajahan, sampai menjelang perang kemerdekaan, peta politik umat Hindu tetap seperti dulu, tak pernah mengibarkan bendera agama. Jika pun kemudian terjadi perlawanan besar bahkan di mana-mana semangat perang puputan (perang sampai habis) muncul, itu bukanlah pembelaan pada agama, tetapi lebih pembelaan pada "tanah tumpah darah" dan kesetiaan pada Raja.
Umat beragama lain, semangat keberagamaan itu mengental dan memberi warna pada perjuangan politik. Hindu tak dimunculkan dalam pembicaraan-pembicaraan dan perjuangan yang bersifat politik. Alasan lainnya, menyatukan pendapat dalam urusan yang lebih interen (menyangkut ajaran) pun masih menghadapi banyak kendala. Para cendekiawan Hindu menjelang proklamasi tak muncul ke permukaan. Kalau pun ada orang Bali yang muncul, itu bukan "mewakili" agama, tetapi mewakili pulau, mewakili daerah teritorial. Kalau agama-agama lain, khususnya Islam, sangat aktif dan vokal dalam memberi warna politik pada negara yang akan dibangun, Hindu tak memberikan apa-apa -- selain memang dalam keanggotaan BPUPKI yang merumuskan dasar negara tak ada anggotanya yang beragama Hindu.
Baru setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, tepatnya ketika sidang PPKI mematangkan dan mengesahkan UUD tanggal 18 Agustus 1945, seorang anggota tambahan dari Sunda Kecil bernama I Gusti Ketut Pudja mengajukan usul keberatan mengenai pembukaan UUD. Keberatannya adalah dipakainya kata Allah pada kalimat "Atas berkat Allah Yang Maha Kuasa". Ia mengusulkan kata Allah diganti Tuhan. Dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang dikeluarkan Sekretariat Negara, Ketut Pudja tak menyebutkan alasannya. Namun melihat perdebatan sebelumnya di mana dasar negara ini harus tidak mencerminkan sebuah agama tertentu, agar bisa diterima oleh seluruh penduduk yang beragam agama, maka alasan Ketut Pudja pastilah tak jauh dari "menyelamatkan UUD 45 dari warna khas agama tertentu". Semangat seperti itu memang sudah ada dan karena itu ketika Soekarno yang memimpin sidang PPKI menawarkan kepada hadirin tentang usul perubahan itu, tak seorang pun keberatan. Dan Soekarno pun kemudian membacakan kembali Pembukaan UUD tersebut dengan perubahan yang diusulkan Ketut Pudja. Lalu disahkan.
Bahwa jika kemudian, di dalam Lembaran Negara RI -- yang akhirnya kita warisi sampai saat ini -- ternyata terjadi "kekeliruan tulis" sehingga kata Tuhan kembali menjadi Allah, maka itu pun tak lagi dikutak-katik oleh para cendekiawan Hindu di masa sibuk-sibuknya mempertahankan kemerdekaan itu. Juga sampai detik ini.
Hindu memang tak mengenal kata Allah, sebagaimana agama-agama yang lain. Namun Hindu sangat menghormati berbagai nama untuk mengganti nama Tuhan dalam upaya mengangungkan-Nya, sebagaimana dalam Hindu banyak nama lain untuk pemujaan pada Tuhan.
Di satu pihak, kita bisa berbangga, ini menunjukkan kebesaran umat Hindu, menerima dengan tulus dan ikhlas "kekeliruan tulis" itu. Kita juga boleh bertepuk dada dengan tidak mempermasalahkan hal ini dengan alasan "ada kepentingan yang lebih besar lagi, yakni mempertahankan keutuhan bangsa dan negara." Namun, jangan lupa, masalah kenegaraan seperti ini pada hakekatnya adalah masalah politik, dan bagaimana pun juga dalam penjabarannya kemudian tercermin pada langkah-langkah politik pemerintahan.
Buktinya, "kebijaksanaan politik" setelah proklamasi, Hindu jadi "dilupakan". Pada kementrian agama yang dibentuk setelah kemerdekaan, Hindu tak mendapatkan wadah pembinaan. Ini berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian muncul tokoh I Gusti Bagus Sugriwa yang dekat dengan Presiden Soekarno. Berkat lobby Sugriwa ini, agama Hindu masuk di kementrian agama, walau pun dengan sebutan: Hindu Bali. Itu baru terjadi 1958. Bayangkan, setelah 13 tahun merdeka. Dan itupun namanya Hindu Bali, dan itu pun masih suka diperdebatkan oleh pemeluk agama lain, apa Hindu itu sebuah kepercayaan atau sebuah agama.
Rupanya, mulai muncul kesadaran, bahwa sebuah lembaga umat perlu ada, tak bisa mengandalkan dengan menempel terus pada pemerintah. Nah, pada 1959, di Denpasar berkumpul tokoh-tokoh agama Hindu dan dibentuklah Parisada Dharma Hindu Bali. Lewat majelis agama inilah konsolidasi umat Hindu mulai digalang. Hasil gemilang dan bersejarah adalah adanya pertemuan 11 sulinggih (pendeta/ulama) dan 22 welaka (pemikir/cendekiawan) yang diyakini sebagai figur-figur terkemuka umat Hindu Bali yang berlangsung di Campuan, Ubud, pada tanggal 17-23 November 1961. Pertemuan penting ini menghasilkan Piagam Campuan. Di sinilah terjadi pelurusan sebutan agama dari Hindu Bali menjadi Hindu dan majelis agama Hindu pun berubah menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia -- nama yang dikenal sampai sekarang. Memang, tidak ada agama Hindu Bali. Toh tak serta merta pemerintah mengakui sebutan baru itu. Sebutan itu baru diresmikan pada 1965, setelah 4 tahun berjuang..
Dalam Piagam Campuan yang tak kalah pentingnya adalah dirumuskannya dua hal mendasar: bagaimana umat Hindu melaksanakan kewajibannya menjalankan ajaran agama, dan bagaimana pula kewajiban umat Hindu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua rumusan ini dikenal dengan sebutan dharma agama dan dharma negara.
Dharma Negara inilah yang menjadi pedoman umat Hindu dalam masalah-masalah berbangsa, yang sesungguhnya sebagai landasan berpolitik Wawasan kenegaraan dalam dharma negara ini meliputi penegasan bahwa umat Hindu sadar menempatkan posisi dirinya sebagai bagian keluarga besar bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensi dari "ikrar politik" itu, umat Hindu menerima tanggung jawab untuk tidak sekedar memperhatikan kepentingan pribadi dan kelompok sendiri, melainkan bertanggung jawab secara bersama-sama mewujudkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang lebih baik. Butir 1 dan 2 dharma negara yang berbunyi: (1) tidak dapat menyetujui penjajahan atas wilayah dan bangsa lain, (2) menyesalkan penggunaan pengetahuan untuk pemusnahan peradaban dan mahkluk Tuhan, menyiratkan penegasan dan tanggung jawab umat Hindu guna turut serta menciptakan perdamaian dunia dan kehidupan kemanusiaan yang luhur di atas bumi ini.
Sayang sekali dalam perjalanannya kemudian, PHDI sebagai lembaga di luar pemerintah yang akan berfungsi mengayomi umat Hindu, salah menempatkan dirinya sebagai "alat politik umat Hindu". Dia bergabung di Golkar, ya, sejajar dengan Kino-kino lain seperti MKGR, Kosgoro dan sebagainya. Sampai muncul perdebatan seru, bagaimana lantas umat Hindu yang tidak berada di kubu Golkar?
Barangkali tak sepenuhnya salah. Memang banyak argumentasi saat itu, hal itu dilakukan justru untuk menyelamatkan umat. Lagi pula, situasi politik saat itu yang sekarang kita ketahui bersama-sama sangat tidak demokratis. Tetapi kenapa hal itu bisa berlama-lama? Ini pertanyaannya. Akhirnya, yang terjadi adalah PHDI praktis menjadi bagian dari pemerintah, karena Golkar sendiri di masa Orde Baru itu identik dengan pemerintah. Ya bisa dimaklumi akhirnya, seperti contoh sekarang ini, PHDI yang mengaku pengayom dan bisa disebutkan yang punya "umat Hindu", kalah dalam menentukan hak untuk mengurusi upacara ritual seperti Panca Wali Krama di Besakih nanti. Tetap saja pemerintah daerah berperan besar.
Di lain pihak, di masa Orde Baru, PHDI menjadi kendaraan politik sejumlah orang. Kalau ingin menjadi anggota DPR, rebut saja kepengurusan di PHDI, tak peduli orang itu mengerti agama atau tidak, bisa ber-Trisandya atau tidak. Sementara umat Hindu diposisikan harus alergi dengan masalah politik, pimpinan umat berbondong-bondong mengincar jabatan politik dengan lembaga umat itu. Ini ironis.
Dan kini di alam reformasi, semuanya ini harus dibenahi. Kalau PHDI menempatkan diri sebagai organisasi keumatan yang benar-benar mengayomi umat Hindu tanpa kecuali, bebaskan diri dari politik praktis. Dan beri kondisi hidupnya organisasi yang bisa menghimpun umat Hindu dalam masalah-masalah politik, tanpa menakut-nakuti itu akan memecah-belah umat.
Nanti, akan banyak masalah politik yang bersentuhan dengan agama dengan dibebaskannya azas ormas memakai azas agama. Kita harus mengantisipasi banyak permasalahan. Ya, misalnya, pembicaraan tentang Undang Undang Dasar negara, kalau negara kita tetap menjadi negara kesatuan. Seperti yang kita ketahui bersama, Sidang Istimewa MPR pada bulan November 1998 telah mencabut Ketetapan (TAP) MPR tentang referendum. Itu artinya terbuka kemungkinan yang "lebih mudah" untuk mengganti atau mengadakan amandemen terhadap UUD 45. Cukup memakai pasal 37 UUD tersebut, tidak perlu lagi menanyakan kepada rakyat lewat referendum.
Di era reformasi ini, kemungkinan adanya perubahan itu bisa saja terjadi. Suara-suara ke arah itu sudah muncul. Sepanjang yang tersirat ke permukaan, perubahan itu lebih besar terjadi pada batang tubuh UUD 45, dan ada keinginan untuk tetap mempertahankan keutuhan Pembukaan UUD 45. Padahal, yang saya uraikan tadi, justru ada "masalah" dalam Pembukaan UUD 45. Kalau memang mau diganti, kenapa "masalah kecil" Pembukaan UUD 45 itu tidak juga diganti, toh kalau mengacu pada semangat perdebatan dan sejarah UUD 45 itu diresmikan, tidak ada persoalan yang mendasar.
Itu kalau negara kita tetap negara kesatuan. Kalau negara federal, apa konsep umat Hindu yang bisa mengamankan umat di Bali yang sekaligus mengamankan juga umat Hindu di luar Bali? Bisa-bisa umat Hindu di luar Bali semakin tergenjet dan tidak mendapatkan pengakuan.
Kalau Bali menjadi daerah istimewa, apa istimewa yang mau diambilnya? Kan semuanya butuh pemikiran. Hal-hal seperti inilah yang menurut saya kurang sekali mendapat porsi pembicaraan. Kita masih sibuk dengan "pemuput karya", ogoh-ogoh, seragam ke pura dan sebagainya.
Ada yang bilang, periode ini adalah periode kebangkitan agama-agama. Saya tak tahu apakah istilah ini tepat atau tidak, apalagi kalau dikaitkan dengan Hindu. Yang tak dipungkiri, saya melihat ada kegairahan yang besar dan sangat mencolok dari umat Hindu belakangan ini, yang mungkin karena faktor pendidikan, kemakmuran, kesempatan, atau boleh jadi karena imbas kegairahan dari umat non-Hindu. Kegairahan itu tak cuma berurusan dengan ritual upacara keagamaan, tetapi juga "beragama yang benar". Istilah "beragama yang benar" ini muncul karena bertahun-tahun pemeluk Hindu di Indonesia menjalankan ritual keagamaannya berdasarkan tradisi yang turun-menurun, atau menerima "wejangan-wejangan suci" dari Pandita-Pandita. Umat sendiri tak tahu di mana wejangan itu termuat dalam kitab suci, umat tak tahu di mana cara menjalankan ritual keagamaan itu tersirat dalam kitab suci. Kini, ada kemajuan besar. Arus informasi di era globalisasi ini ikut mendukung kemajuan itu dengan datangnya berbagai buku mengenai Veda. Kemakmuran menyebabkan sebagian orang bisa membeli buku, lalu belajar agama lewat buku itu. Istilah "beragama yang benar" pun muncul, yang hanya diartikan secara sempit, belajar agama yang betul-betul bersumber dari kitab suci Veda -- walau umumnya lewat penggalan-penggalan Veda dan sejumlah tafsirnya. (Kitab Veda secara utuh belum diterjemahkan ke Bahasa Indonesia). . Begitu pula, diskusi, seminar, sarasehan banyak digelar. Bahkan sloka (ayat) Veda diperlombakan iramanya dalam acara Dharma Gita (meniru MTQ, meniru yang baik tak apalah). Ibarat manusia, sekarang ini masa-masa puber. Di masa puber ini, kerawanan akibat adanya gesekan-gesekan pun terjadi. Gesekan itu bisa terjadi di kalangan umat sendiri (interen) bisa juga dengan umat lain. Kalau tak pandai-pandai membina gesekan ini, bisa hancur. Contoh urusan interen, misalnya, seragam safari putih dan destar putih ketika bersembahyang, berpakaian hitam-hitam jika ada kematian, puja Trisandya yang dikumandangkan lewat pengeras suara tiga kali sehari, soal ogoh-ogoh, dan banyak lagi. Dan untuk hal ini, mesti ada lembaga umat yang bisa memberikan patokan: ini salah, itu benar, ini bisa dipakai, itu jangan, atau yang itu boleh-boleh saja tapi jangan dipaksakan, dan sebagainya. Jangan biarkan sampai simpang-siur. Contohnya soal baju. Seorang tokoh bicara, saat-saat upacara kematian, harus berpakaian hitam sebagai tanda berkabung. Yang tak memakai baju hitam didenda. Suatu saat tokoh lain bicara, Hindu tak mengenal istilah "berkabung" karena kematian adalah proses pelepasan jiwa menuju kepada Yang Tunggal, apalagi berkabung lewat warna adalah ciri masyarakat Barat. Semestinya, upacara kematian juga upacara penyucian, artinya suci. Maka dicari seragam baju baru: putih. Yang berpakaian hitam di larang masuk. Lantas yang mana benar, adakan bhisama dong. Di Islam, lagu yang menyebut "taakdir" saja langsung difatwakan oleh MUI, supaya jangan terlanjur umatnya risau. Gesekan yang melibatkan orang luar, juga sering muncul dan belakangan ini sudah ada yang menjadi kasus hukum. Tetapi di mana peran lembaga umat sebagai pengayom dan sekaligus memberikan "arahan", tak nampak. Sejumlah mahasiswa Hindu unjuk rasa karena Pura Tanah Lot didampingi lapangan golf. Kasusnya bertele-tele, dan muncul bhisama yang juga simpang-siur. Sekelompok pemuda Hindu memprotes sebuah tabloid yang terbit di Surabaya karena menuliskan sebuah reportase yang menyebutkan "orang Hindu menyembah patung". Mahasiswa Hindu di Bandung memprotes buku antropologi yang menyebutkan korban suci sebagai menyakiti binatang, juga memprotes buku Modul Pegangan PGSD yang masih menyebutkan kaitan Hindu dengan Kasta. Masyarakat Bali tak bisa menerima ketika Bupati Karangasem (masih) mencantumkan Pura Besakih sebagai obyek wisata, sehingga Gubernur Bali turun tangan mencabut keputusan Bupati Karangasem itu. Mahasiswa Hindu memprotes kasus "canang sari mesesari bola golf", dan kasusnya malah kini sampai ke pengadilan. Masyarakat Bali unjuk rasa karena Menteri Pangan dan Hortikultura Dr. A.M. Saeffudin dianggap melecehkan umat Hindu karena mempertanyakan apakah rakyat Indonesia rela dipimpin oleh Presiden yang beragama Hindu. Protes-protes ini kebanyakan (bahkan semuanya) digerakkan generasi muda Hindu di masa-masa puber ini. Nah, semestinya ada yang harus memberi pengayoman dan arahan, agar semua gerakan itu bisa mengharumkan Hindu, dan justru itu tujuan kita semua. Sampai di mana protes itu harus berakhir, supaya jangan keblablasan yang justru pada akhirnya menjadi bumerang. Dalam hal pengamatan saya ada dua hal yang keblablasan: yakni kasus AM Saefuddin dan kasus Canangsari. Bahkan kalau kita tetap ngotot meminta kasus AM ini diproses secara hukum, bisa jadi persoalan berbalik: umat kita yang digugat. Begitu pula kasus Canangsari. Jika terdakwa yang kini diadili dihukum dan mendapatkan kekuatan hukum yang pasti sehingga menjadi yurisprudensi, maka bisa menjadi bumerang di lain kesempatan. Mudah sekali untuk menghukum orang dan ini bisa menimpa umat kita. (Saya tak ingin menjelaskan hal ini dalam bentuk tulisan, karena kalau tulisan ini dimuat di media massa bisa tergolong "mempengaruhi proses pengadilan", karena kasusnya sedang berjalan). Jadi, menuju Indonesia Baru ini banyak hal yang harus dikerjakan dan harus disikapi, baik dengan sekedar antisipasi atau pun langkah-langkah nyata dalam memperkuat jaringan informasi dan peningkatan SDM. Kelemahan umat kita lebih banyak pada jaringan informasi dan kurangnya organisasi umat yang langsung bersentuhan dengan masalah kenegaraan dan kehidupan berbangsa, yang memang pada akhirnya bersinggungan dengan politik. SDM sebenarnya tidaklah kurang amat, yang belum ada bagaimana memanfaatkan mereka dan mengajak mereka untuk bergerak demi kepentingan umat . Jakarta, 23 Februari 1999
|