Dharma Wacana |
Tentang Obyek Wisata di Bali
Putu Setia
ALMARHUM Boediardjo belum dikenal sebagai ahli pariwisata.
Ia purnawirawan perwira TNI AU, penah menjabat Menteri Penerangan, dan penggemar
fotografi. Di akhir kehidupannya, ia memimpin PT Taman Wisata Candi Borobudur dan
Prambanan, yang membangun dan kini mengelola taman wisata di kedua candi itu. Di saat
pembangunan taman itu, saya sering ketemu beliau. Salah satu ucapannya yang tak terlupakan
adalah kekagumannya pada aset pariwisata di Bali. "Modal budaya di Bali membuat
industri pariwisata tak perlu lagi membangun obyek wisata. Yang dibangun hanyalah sarana
pariwisata," katanya. Ketika ada kebijaksanaan pemerintah untuk membangun sepuluh
daerah tujuan wisata, orang banyak yang iri dengan Bali. Di pulau yang dihuni mayoritas
Hindu ini, budaya berkembang secala alami. Alam juga asri tanpa sengaja dibuat untuk
kepentingan pariwisata. Para leluhur orang Bali mengembangkan agama sedemikian rupa,
sehingga pembangunan Pura selalu berada dalam lingkungan yang indah. Begitu pula dengan budaya orang Bali, baik yang berhubungan
dengan kehidupan religius maupun dalam kreasi seninya. Semuanya berlangsung tanpa sama
sekali ada pretensi bahwa itu akan membuat turis terkagum-kagum. Iringan orang-orang
melasti ke laut, rombongan orang yang naik perahu tradisional menuju Pura Sakenan, ratusan
orang yang bermain-main dengan ombak kecil ketika menuju Pura Tanah Lot, atau antrian
sesajen yang dibawa naik ke Pura Besakih, semuanya berlangsung wajar dalam koridor
persembahan kepada Hyang Maha Kuasa. Begitu pulalah pada prosesi pembakaran mayat dan
upacara adat lainnya, semuanya mengacu kepada ketentuan adat, ada atau tidak ada turis. *** TAPI, apa "balas jasa" yang telah dilakukan oleh
industri pariwisata di Bali sejak puluhan tahun lalu? Adakah mereka melestarikan dan
mengembangkan obyek wisata itu? Jangankan melakukan hal itu, mereka justru merusak dengan
dalih mengembangkan sarana untuk wisatawan. Konsentrasi industri pariwisata di Bali hanya
untuk memuaskan kehidupan phisik turis mancanegara. Tak ada perhatian yang memanjakan
kebutuhan rohaniah atau bathiniah, yakni budaya masyarakat Bali yang lestari. Para
pengelola industri pariwisata menciptakan jarak yang lebar dengan pelaku obyek wisata di
Bali. Mereka seperti mengatakan: "Budaya orang Bali bukan urusan kita." Ini
kontradiktif dengan kampanye yang mereka lempar dalam brosur-brosur pariwisata yang
intinya menyatakan: "Kunjungi Bali dan lihat budayanya." Benturan antara kepentingan sarana wisata dengan obyek
wisata itu sudah sering terjadi. Kegiatan melasti terjepit oleh arogansi pemilik hotel,
seolah-olah pantai Bali adalah miliknya. Kawasan Pura Tanah Lot dikepung sarana wisata,
bukan untuk melestarikan obyek wisata. Laut yang memisahkan Pura Sakenan dengan Bali
bahkan ditimbun. Kasus reklamasi Pulau Serangan ini adalah bukti bagaimana pengelola
industri pariwisata justru telah mengajarkan orang Bali untuk terjebak pada kehidupan
moderen yang serba instan. Sekarang ini, pada piodalan di Pura Sakenan, umat datang
bermobil dan langsung parkir di depan pura. Tak ada lagi proses budaya itu, di mana lagi
ada keceriaan muda-mudi naik jukung atau menyingsingkan kain mengarungi laut. Jika kita
tetap berpikir bahwa budaya adalah aset pariwisata, maka inilah pembunuhan atas aset itu
sendiri. Ironis dan tragis. Sama ironisnya dengan membangun taman-taman burung dan
margasatwa sementara membiarkan populasi surut monyet-monyet yang hidup alami di Sangeh
atau jalak di Bali barat. Di berbagai pertemuan, saya sering menerima keluhan tentang
terjadinya perubahan budaya di Bali, yang lambat laun akan membuat kedatangan wisatawan
menyurut. Saya justru balik menuding, inilah kesalahan terbesar pihak Anda, para pengelola
industri pariwisata. Anda tak pernah membina dan melestarikan obyek wisata yang Anda jual.
Adakah pembangunan Pura di Bali disubsidi oleh hasil pariwisata, sementara Anda selalu
bangga menyebutkan Bali sebagai "pulau seribu pura"? Pernahkah Anda membina
seni-seni tradisi seperti gambuh, arja, wayang wong, dan lain-lainnya, sementara Anda
selalu menyebutkan dalam poster keindahan seni itu? Anda justru menyuruh orang Bali untuk
mengais rezeki di pinggiran industri pariwisata yang Anda kelola. Memang, mengais rezeki
itu membuat orang Bali lebih makmur, tetapi mereka terjebak pada kehidupan industri,
padahal budaya orang Bali bukan budaya industri. Anda sekarang melihat perubahan, penjor
orang Bali dibuat seadanya saja, lamak dari janur sudah diganti dengan lamak sablon, seni
yang dipertunjukkan sudah seni kodian, itu karena Anda mengajarinya secara salah, Anda
menyuruh orang Bali bekerja menunjang industri pariwisata. Yang benar adalah orang Bali
"pemilik" dari industri pariwisata, karena mereka obyeknya. Sebagai
"pemilik" mereka berhak dapat "dividen dan bonus", artinya kucurkan
kue pariwisata kepada orang Bali. Kata sederhananya, Anda harus memelihara dan
melestarikan obyek wisata di Bali, yaitu budayanya. Jangan budaya Bali yang dieksploitasi
untuk pariwisata, tetapi eksploitasilah industri pariwisata untuk budaya Bali.
|