Dharma Wacana
 

Redefinisi Wawasan Berbangsa dan Bernegara
Bagaimana Umat Hindu Harus Berperan?

Putu Setia

Masalah yang saya bahas ini masih dalam bagian hubungan dharma dengan negara. Istilah yang biasa kita gunakan dalam rujukan pembicaraan ini adalah dharma negara. Karena itu marilah kita menengok ke belakang sejenak, apa yang terjadi di Ubud, ketika 11 sulinggih dan 22 welaka yang diyakini sebagai figur-figur terkemuka umat Hindu melangsungkan pertemuan tanggal 17-23 November 1961. Pertemuan penting yang menghasilkan Piagam Campuan ini, bukan saja meluruskan sebutan agama dari Hindu Bali menjadi Hindu dan majelis agama Hindu menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia -- nama yang dikenal sampai sekarang -- tetapi juga melahirkan konsep dharma agama dan dharma negara.

Konsep Dharma Negara inilah yang menjadi pedoman umat Hindu dalam meniti masalah-masalah berbangsa dan bernegara. Wawasan kenegaraan dalam dharma negara ini meliputi penegasan bahwa umat Hindu sadar menempatkan posisi dirinya sebagai bagian keluarga besar bangsa Indonesia, bangsa yang berdiri atas persamaan nasib dan pengalaman sejarah, lalu bersatu dan membina kehidupan kenegaraan di atas satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa nasional. Sebagai konsekuensi dari "ikrar" dharma negara itu, umat Hindu menerima tanggung jawab untuk tidak sekedar memperhatikan kepentingan pribadi dan kelompok sendiri, melainkan bertanggung jawab secara bersama-sama mewujudkan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang lebih baik. Butir 1 dan 2 dharma negara yang berbunyi: (1) tidak dapat menyetujui penjajahan atas wilayah dan bangsa lain, (2) menyesalkan penggunaan pengetahuan untuk pemusnahan peradaban dan mahkluk Tuhan, menyiratkan penegasan dan tanggung jawab umat Hindu guna turut serta menciptakan perdamaian dunia dan kehidupan kemanusiaan yang luhur di atas bumi ini.

Kita harus bersyukur, bahwa umat Hindu di Indonesia sampai sekarang tetap memegang teguh komitmen dharma negara sebagaimana yang dirumuskan itu. Setidak-tidaknya, belum pernah muncul masalah besar antara umat Hindu dengan pemerintah -- sebutlah itu misalnya pemberontakan umat Hindu terhadap negara. Bagi umat Hindu menjaga keutuhan bangsa dan negara adalah juga kewajiban menjalankan agama. Rg Weda VIII 25.16 menyebutkan: Tasya vratani anu vas caramasi, yang artinya hendaknya selalu dan semua taat dan patuh kepada peraturan negara.

Tapi kini, dalam masa eforia kebebasan setelah 32 tahun dibelenggu rezim orde baru, wawasan kebangsaan dan wawasan bernegara mengalami pergeseran. Definisi kebangsaan di masa lalu disatukan oleh persamaan nasib sebagai daerah-daerah yang terjajah, kita disatukan oleh penderitaan yang sama di bawah kolonial Belanda, dan wawasan kebangsaan kita dilahirkan pula oleh perjuangan yang sama, yakni mengusir penjajah. Namun setelah bangsa dan negara ini berdiri, persamaan-persamaan itu lama-lama menjadi merenggang. Terjadi ketidak-adilan yang makin lama makin membesar antar daerah, antar etnis, antar suku, juga antar agama. Yang lebih celaka lagi, ketidak-adilan itu tak bisa kita teriakkan dengan lantang karena kebebasan yang terkekang dengan berbagai dalih, terutama dalih stabilitas nasional.

Yang menyedihkan adalah ketika kebebasan itu muncul di era reformasi ini, akumulasi dari kekecewaan karena perlakuan tidak adil pemerintah di masa lalu, mencuat ke permukaan menjadi semacam pemberontakan dan melahirkan wawasan kewilayahan atau wawasan kedaerahan yang lebih sempit jika kita bandingkan dengan wawasan kebangsaan pada saat mendirikan negara ini. Berbagai gejolak di daerah dan ancaman disintegrasi bangsa menghantui negeri ini. Aceh sudah mengibarkan bendera nasional "bangsa Aceh" -- bahkan bagi Hasan Tiro lebih luas lagi: "bangsa Sumatra" -- lalu Papua sudah pula mengikrarkan kemerdekaannya lewat Kongres Rakyat Papua II atau istilah yang mereka putuskan, meminta Indonesia mengakui kedaulatan Papua yang sudah diproklamirkan tahun 1961. Riau pun sudah pernah menggelar dialog untuk kemerdekaan wilayahnya. Tiga provinsi ini -- ditambah provinsi Kalimantan Timur -- memiliki sumber alam yang sangat besar.

Apa yang terjadi di Sovyet dan Yugoslavia, bisa saja terjadi di Indonesia di tahun-tahun yang akan datang. Karena Indonesia, negeri tumpah darah kita yang katanya beradab ini, sama saja dengan kedua negara tadi, lahir dari keberagaman etnik, suku, bahasa, agama. Kalau keberagaman itu tidak lagi punya perekat wawasan kebangsaan yang sama kadarnya dengan wawasan kebangsaan ketika kita mendirikan negara ini, maka dipastikan perahu bangsa ini akan segera bocor, lalu berkeping-keping.

Nah, dalam keadaan seperti ini, apa yang mestinya diantisipasi oleh umat Hindu? Umat Hindu harus tetap bersatu dan berjuang bersama-sama umat lain yang tetap mempertahankan wawasan kebangsaan sebagaimana ketika melahirkan negara ini. Itu tak bisa ditawar-tawar. Umat Hindu harus ikut menjaga perahu bangsa agar tidak bocor, bahkan kalau mampu menjadi perekat agar perahu tidak pecah dalam perjalanan di masa depan. Kenapa harus begitu? Karena umat Hindu berpencar di seluruh republik ini. Umat Hindu di Bali hanya sepertiga -- atau mungkin kurang -- dari jumlah keseluruhan umat Hindu yang ada di Indonesia. Umat Hindu tak bisa lagi hanya mengklaim Bali sebagai "wilayah agamanya". Nasib petani Bali -- yang semuanya beragama Hindu -- yang terusir setelah sukses membangun kehidupan di Timor Timur bisa menjadi pelajaran yang menarik sekali. Tak ada yang menyangka mimpi buruk itu akan terjadi ketika transmigran Bali diberangkatkan ke Timor Timur. Jika Aceh melepaskan diri dari republik ini, mungkin pengaruh buruknya terhadap umat Hindu sedikit atau malah tidak ada, karena jarang umat Hindu di sana. Tapi bagaimana kalau Papua merdeka, atau Riau merdeka, apalagi kalau Lampung, Sulawesi ikut-ikutan melepaskan diri dari negara kesatuan RI. Ini akan membawa dampak besar buat umat Hindu, apalagi umat Hindu etnis Bali yang sudah puluhan tahun menjadi transmigran di sana. Mereka bisa terusir sebagaimana halnya petani Bali yang sudah sukses di Timor Timur. Atau, akan menjadi warganegara kelas II di sana, seperti halnya etnis India di Fiji yang ternyata harus menghadapi masalah politik yang pelik karena sentimen etnis.

Karena itu saya kembali menyatakan, umat Hindu harus berada di barisan terdepan dan bersama-sama umat lain yang sepaham untuk menegakkan kembali wawasan kebangsaan kita yang semakin pudar ini.

Apa langkah-langkah politis yang perlu diambil dalam kasus ini? Umat Hindu harus berani menegaskan kembali, bahwa bangsa dan negara ini dibangun dari keberagaman, termasuk keberagaman dalam masalah agama. Negara ini bukan dibangun oleh wawasan suatu agama, apalagi oleh wawasan satu agama saja. Dengan demikian, umat Hindu -- baik lewat majelis agamanya, ormas-ormas agamanya, atau bahkan politisi yang kebetulan beragama Hindu walau mereka ini dalam hal melaksanakan kewajibannya sebagai politisi tidak mewakili agama -- harus tegas menentang diberlakukannya simbol-simbol agama tertentu di dalam membicarakan masalah bangsa dan negara. Simbol-simbol agama, idiom-idiom agama, ciri khas agama, hanya boleh memberi semangat dalam perjalanan bangsa ini, tetapi tidak menjadi bagian yang utuh dalam perangkat kenegaraan.

Saat ini misalnya, sebagian umat Islam yang tergabung dalam PPP, sudah mengumumkan kebijaksanaan politiknya untuk mengubah Pembukaan UUD 1945, yang intinya mencantumkan syariat Islam dalam rumusan menyangkut Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Umat Hindu harus menentang hal ini, lewat jalur-jalur konstitusional yang dimiliki, entah itu lewat anggota MPR utusan golongan atau wakil-wakil partai yang kebetulan beragama Hindu. Dan mereka harus bergandeng tangan dengan umat lain, termasuk sebagian besar umat Islam lainnya yang di luar PPP.

Agama harus menekankan hal-hal mendasar: menegakkan perdamaian, keadilan, dan kesejahtraan masyarakat. Bukan untuk kepentingan politik kekuasaan.

Idiom-idiom yang khas suatu kelompok atau agama, sebaiknya dihindari untuk kepentingan umum, apalagi diterapkan untuk kepentingan seluruh bangsa. Ini untuk menjaga "perasaan dan hati umat" yang kebetulan tidak mengenal idiom itu. Sehingga tidak timbul penafsiran yang bukan-bukan, yang akhirnya menjadi kecurigaan-kecurigaan kecil. Kalau lantas ada yang menyulut jadilah sumber kerawanan. Misalnya, di masa Orde Baru dulu ada Gerakan Jumat Bersih. Di sebagian besar wilayah Indonesia, gerakan ini tentu disambut gembira dan istilahnya tak akan dipertanyakan. Tetapi, bagi umat Hindu bagaimana menjelaskan hal ini, kenapa dinamai Gerakan Jumat Bersih? Kenapa tidak Senin Bersih -- kalau Minggu Bersih masih dianggap tidak netral. Atau kenapa tidak Kliwon Bersih, atau Gerakan Setiap Hari Bersih? Katanya, kebersihan adalah sebagian dari iman yang harus dilakukan setiap saat dan setiap hari, kenapa harus setiap Jumat?

Ini kasus lama di masa orde baru, di mana tak ada orang yang berani protes. Untunglah sekarang tidak lagi terdengar, kalau ada mari kita protes. Mari kita membiasakan berani untuk bicara dan urun rembug, jangan selalu low profile.

Umat Hindu Harus Berpartisipasi dan Berperan

Masalahnya sekarang, siapakah yang paling sah dan paling berhak mewakili Hindu? Siapakah juru bicara umat Hindu Indonesia? Tak mudah untuk menjawab pertanyaan ini. Hindu tak punya partai politik. Bahkan kalau pun misalnya ada Partai Hindu, tentu tak bisa pula anggota DPR dari Partai Hindu menjadi juru bicara umat Hindu, jika tidak semua umat menyalurkan aspirasinya ke partai Hindu. Partai-partai yang berasaskan agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha sudah membuktikan hal itu. Dalam kaitan ini, boleh dikatakan kita bersyukur tak punya partai berasaskan Hindu.

Parisada lah sebagai majelis tertinggi umat Hindu yang harusnya bisa menjadi juru bicara umat Hindu keluar, apalagi amanat yang mereka emban sudah ada jalurnya dalam konsep dharma negara itu. Tapi, kenyataan yang kita hadapi sekarang jauh dari itu. Parisada kurang bergaul di lintas agama, terlalu kecil kontribusi yang mereka berikan untuk bangsa ini. Tak ada gebrakan apa-apa di kalangan orang-orang PHDI dalam mengantisipasi keterbukaan dan kemajuan informasi ini. Jangankan punya Hindu Centre, web site di internet saja tak punya, bagaimana orang bisa berkomunikasi di era moderen ini. Bahkan, diundang untuk diskusi mengenai RUU Kerukunan Beragama saja tak bisa datang. Sudah berapa kali umat Hindu kecolongan. Undang Undang Zakat misalnya mengatur bagaimana umat Islam yang memberikan zakat (sumbangan) bisa dikompesasikan dengan pajak penghasilan yang dibayarkan tiap tahun. Kalau umat Hindu menyumbang untuk pembangunan pura dan lain-lain, mana ada kompensasinya dengan pajak. Ini hanya contoh-contoh kecil.

Tapi kita juga jangan menyalahkan PHDI terus-menerus karena kita akan terjebak pada lingkaran yang tak selesai-selesai. Lebih baik kita menyalahkan diri kita sendiri, kenapa Mahasaba PHDI di Solo dibiarkan dengan hasil yang sama sekali tidak sempurna. Atau kita lupakan saja Parisada dan kita bergerak dalam LSM-LSM Hindu -- seperti yang dilakukan Forum Penyadaran Dharma ini -- atau lewat ormas-ormas Hindu.

Sebenarnya, karena kita sepertinya bersepakat untuk tidak membuat "partai Hindu" ormas seperti Prajaniti Hindu Indonesia bisa mengambil alih urusan dharma negara yang banyak bersinggungan dengan masalah politik dan kenegaraan ini. Tapi, apa kiprah Prajaniti, semua orang tahu bagaimana organisasi ini kurang lincah bergerak. Saya, sebagai bekas Ketua Prajaniti versi konsolidasi (ketika mau diaktifkan kembali), dan juga bekas Ketua dan pendiri Forum Cendekiawan Hindu Indonesia, sebenarnya tak habis pikir, kenapa ormas-ormas yang pernah berbuat banyak ini tiba-tiba diambil alih "kalangan militer". Sebagian umat Hindu terutama pada tingkatan elit, sangat percaya kalau tidak dipimpin oleh jenderal kurang merasa gengsi dan kurang berwibawa. Dan itu kenyataan kita, tak bisa dipungkiri. PHDI, Dirjen, Ormas seperti Prajaniti dan FCHI, "diduduki" militer. Sesungguhnya, saya juga tak mau terjebak pada dikotomi sipil dan militer, tergantung orangnya dan bagaimana organisasi itu berjalan. Tapi, bagaimana pun kalau sistem komando diterapkan pada lembaga-lembaga keagamaan tak akan jalan. Kenyataan ini sudah di depan mata kita. Maka masyarakat madani yang dicanangkan di tingkat nasional, hendaknya juga diikuti di kalangan umat Hindu. Sekali lagi, bukan masalah militernya semata-mata, tetapi umumnya orang sipil lebih bisa melakukan dialog dan terbuka pada perbedaan pendapat tanpa menimbulkan masalah, dan juga lebih lincah bergerak karena tak ada hambatan psikologis yang diakibatkan garis komando itu. Setelah dua kepemimpinan PHDI diambil militer, saya merindukan orang sipil muncul pada Mahasaba PHDI tahun depan, juga di ormas-ormas yang ada -- kalau ormasnya tidak segera mati suri.

Apakah penting umat Hindu terjun di politik dan memperjuangkan masalah keumatan lewat jalur politik? Tentu saja sangat penting. Semua perangkat kenegaraan ini disusun berdasarkan kekuatan politik dan "tekanan politik". Pembuatan UU adalah pekerjaan politik. Bagaimana kita bisa mendirikan Peradilan Hindu kalau yang menyuarakan di DPR saja tidak ada? Bagaimana kita membentengi Bali yang mayoritas beragama Hindu kalau DPR asal Bali tak bersuara ketika membicarakan GBHN yang bersinggungan dengan masalah otonomi? Tapi, bukan salah anggota DPR itu, karena mereka wakil partai, dan di partai ada aturannya, tak bisa diatur oleh umat atau ormas Hindu. Yang kita bisa harapkan hanyalah, karena mereka beragama Hindu, ya tolong sekali-sekali wakili suara Hindu, tentu setelah "permisi" pada pimpinan partainya yang kebanyakan bukan umat Hindu.

Sejarah bangsa ini telah memberikan contoh, bagaimana agama Hindu sempat "terkesampingkan" karena tiadanya "tekanan politik dari umat Hindu" ketika membangun republik ini. Umat beragama lain, berusaha keras memberikan warna agama pada negara yang akan dibentuk, menjelang proklamasi 1945. Hindu tidak, karena para cendekiawan Hindu menjelang proklamasi tak muncul ke permukaan. Walaupun kita dipuji berjuang di medan perang, di medan diplomasi politik nampaknya tak ada yang berminat. Begitulah, dalam keanggotaan BPUPKI yang merumuskan dasar negara tak ada anggotanya yang beragama Hindu.

Baru setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, tepatnya ketika sidang PPKI mengesahkan UUD tanggal 18 Agustus 1945, ada anggota tambahan dari Sunda Kecil bernama I Gusti Ketut Pudja. Beliau cukup berani, dan mengajukan usul keberatan mengenai pembukaan UUD 1945. Keberatannya adalah dipakainya kata Allah pada kalimat "Atas berkat Allah Yang Maha Kuasa". Ia mengusulkan kata Allah diganti Tuhan. Ketut Pudja tak menyebutkan alasannya. Namun melihat perdebatan sebelumnya di mana dasar negara ini tidak boleh mencerminkan sebuah agama tertentu, agar bisa diterima oleh seluruh penduduk yang beragam agama, maka alasan Ketut Pudja pastilah tak jauh dari "menyelamatkan UUD 45 dari warna khas agama tertentu". Semangat seperti itu memang sudah ada dan karena itu ketika Soekarno yang memimpin sidang PPKI menawarkan kepada hadirin tentang usul perubahan itu, tak seorang pun keberatan. Dan Soekarno pun kemudian membacakan kembali Pembukaan UUD tersebut dengan perubahan yang diusulkan Ketut Pudja. Allah diganti Tuhan, lalu UUD disahkan. Ini saya mengutip dari buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI yang dikeluarkan Sekretariat Negara.

Uniknya, di dalam Lembaran Negara RI yang akhirnya kita warisi sampai saat ini, terjadi "kekeliruan tulis" sehingga kata Tuhan kembali menjadi Allah. Juru ketiknya pastilah bukan orang Hindu. Dan karena itu zaman lagi susah dan peralatan tulis-menulis tak secanggih sekarang, tipp ex jelas tak ada, dibiarkan sajalah kekeliruan itu.

Orang bisa menafsirkan macam-macam sekarang ini. Bisa disebutkan, itulah kebesaran hati umat Hindu, menerima dengan tulus dan ikhlas "kekeliruan tulis" itu dan tidak mempermasalahkannya, karena ada kepentingan yang lebih besar lagi, yakni mempertahankan keutuhan bangsa dan negara, sehingga "itu saja kok repot-repot", seperti ungkapan Gus Dur sekarang ini. Tapi bisa pula ditafsirkan, umat Hindu kurang ngotot, padahal bisa diketik ulang lagi. Dan mungkin karena kurang ngotot ini, dalam kementrian agama yang dibentuk setelah kemerdekaan, Hindu tak mendapatkan wadah pembinaan. Ini berlangsung bertahun-tahun, sampai kemudian muncul tokoh bernama I Gusti Bagus Sugriwa, yang dekat dengan Presiden Soekarno. Berkat lobby Sugriwa ini, agama Hindu masuk di kementrian agama, walau pun dengan sebutan: Hindu Bali. Itu baru terjadi 1958. Bayangkan, setelah 13 tahun merdeka.

Setahun setelah "pengakuan" itu, pada 1959, di Denpasar dibentuk Parisada Dharma Hindu Bali. Lalu lewat Piagam Campuan, Ubud, pada tanggal 17-23 November 1961 sebutan itu diubah menjadi Hindu, tanpa ada Bali. Itu pun masih menimbulkan "pertanyaan" di Pusat, apa benar agama yang dianut orang Bali itu sebuah agama, dan bukan kepercayaan lokal. Sebutan sebagai agama Hindu itu baru diresmikan pada 1965, dua puluh tahun setelah kemerdekaan.

Jangan-jangan sekarang kita selalu tertinggal dalam hitungan 20 tahun. Sekarang ada Partai Buddha, dua puluh tahun lagi baru ada Partai Hindu. Kitab suci agama lain sudah puluhan tahun lalu diterjemahkan besar-besaran, kita baru sekarang mulai. Mudah-mudahan ketertinggalan ini tidak dibangga-banggakan sebagai tradisi, sehingga kalau sekarang PHDI tak memiliki komputer apalagi jaringan internet yang menghubungkan PHDI pusat dan PHDI daerah, orang bisa berdalih: "kita belum terlambat, masih ada waktu dua puluh tahun lagi". Padahal saat itu, komputer sudah berada di gagang kacamata orang.

Saya mengajak LSM Hindu dan politisi yang beragama Hindu untuk mulai membuka mata dan telinga untuk masalah-masalah kenegaraan, karena bagaimana pun umat Hindu akan menjadi taruhan di dalamnya. Kini sedang ramai didiskusikan RUU Kerukunan Umat Beragama, lalu disusul silaturahmi nasional antar umat beragama, lalu pertemuan rutin litbang-litbang keagamaan, mari kita ikuti dan kita aktif di dalamnya. Jangan cuma mengurusi masalah pecaruan, pakelem, pemuput karya, karena itu saja (bukan berarti itu tak penting) tak bisa menyelesaikan masalah kalau ada umat Hindu tiba-tiba terusir jadi gelandangan seperti kasus petani Bali di Timor-Timur.

Selain kita harus berperan dan menguasai masalah-masalah politik, kita juga harus jeli dan membenahi bidang pemberdayaan umat lewat kebijaksanaan ekonomi. Umat Hindu tak cuma di Bali, jutaan umat Hindu di luar Bali terjebak dalam kemiskinan, dan mereka banyak berpindah agama karena kesulitan ekonomi. Di mana solidaritas kita sebagai sesama umat Hindu? Memang, sudah banyak LSM Hindu di Jakarta yang bergerak ke kantong-kantong umat ini, ada yang ke Klaten, ke Blitar, ke Malang, ke Pekalongan, tapi masih banyak yang membutuhkan pertolongan. Pembinaan rohani juga penting, walau masalah perut lebih utama. Orang lapar disuruh menghafal mantram Panca Sembah atau disuruh membaca mantram Reg Weda, mana bisa.

Lihat di sekeliling kita. Di Renon, di Kuta, di Jimbaran, di Sanur, di jalanan kota Denpasar, berapa pendatang yang menyerbu Bali. Coba tanya, apa agama mereka. Lalu selidiki, kenapa mereka bisa mendirikan rombong yang baik, mendapatkan modal yang lumayan. Ada LSM yang membina mereka, menyalurkan kredit dari bank yang memang dimiliki oleh umat mereka. Kepada pedagang bakso, jagung rebus, somay, es kelapa, koran ini, LSM itu tidak memberikan kitab-kitab suci. Perut mereka dibenahi dulu setelah ditaruh di tempat-tempat yang strategis. Kita, umat Hindu, yang mayoritas di Bali ini, suatu saat akan sadar dan baru ngeh (tersentak) setelah mendengar ada suara loudspeker yang keras-keras menjelang dini hari. Dan pada saat itu, kita tak bisa berbuat apa-apa, karena permasalahan beralih dari masalah perut ke masalah politik: siapa yang melarang orang untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya? Siapa bisa melarang orang untuk berdomisili di sebuah tempat di republik ini ketika semua peraturan telah dimiliki secara sah, dan siapa yang mengatakan bahwa Bali adalah pulaunya orang Hindu? Aceh barangkali bisa disebut wilayahnya Muslim, karena mereka memang sejak sekarang menuntut diberlakukannya syariat Islam di sana. Umat Hindu di Bali mana pernah menuntut hal yang serupa. Ya, karena orang Hindu dan orang Bali sangat toleran. Bagus sekali istilah ini.

Kita kurang sekali mengantisipasi masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Panti asuhan jarang kita punyai, bahkan ada yang menyebutkan itu bertentangan dengan konsep pembinaan keluarga versi Hindu. Tapi, solusinya apa kalau kenyataan ada anak-anak yang tak bisa diasuh di dalam keluarga. Mereka akhirnya ditampung di panti asuhan agama lain. Ada beberapa penderita narkoba dari umat Hindu yang masuk ke panti rehabilitasi di pesantren-pesantren di Jawa Timur. Karena berobat di Denpasar mahal, di rumah sakit Bangli juga masih mahal. Adakah LSM yang mengurusi masalah beginian? Mungkin jawabannya: "Kenapa yang begitu diurusin, salah dia sendiri, kalau benar belajar agama Hindu kan dilarang mabuk-mabukan…" Dan ini bukan jawaban, tetapi lari dari kenyataan yang ada.

Penutup

Tantangan terbesar umat Hindu sekarang ini adalah memperbaiki SDM dan meningkatkan mutu SDM itu untuk bisa terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan, baik yang formal maupun dalam kancah pergaulan sosial kemasyarakatan di lingkungan masyarakat majemuk. Kita terlalu lama terbuai dengan lingkungan di dalam rumah sendiri (desa adat, pekraman, banjar, clan, kawitan, soroh) dan ketika merasa jenuh akibatnya kita saling gesek sesama umat. Kita jarang menengok ke luar, apa yang terjadi di luar rumah kita, dan apa yang bisa kita perbuat di luar pekarangan itu. Seperti ayam dalam kandang, ketika ada makanan, ayam berkelahi dulu sesamanya, setelah menang baru makan. Logis, karena mereka merasa terkurung selalu, dan melihat kesempatan sebagai sesuatu anugerah yang datangnya tidak sering-sering. Tetapi, jika ayam itu terbiasa berkeliaran di luar kandang, dia bisa mencari makanan sendiri, dan kalau pun ada orang yang memberi makanan, mereka tidak berkelahi dulu, tapi asyik berbagi makanan sesama yang lain.

Umat Hindu sudah lama terjebak dalam ketidak-percayaan diri dan minder sebagai orang Hindu. Mengaku Hindu saja takut, tidak naik pangkat, tak bisa jadi jenderal, tak bisa jadi menteri dan sebagainya. Memang betul ada kasus-kasus kecil di masa orde baru yang menyangkut hal ini, tetapi yang kecil-kecil itu dibesar-besarkan dan akhirnya menjadi trauma berkepanjangan.

Namun, adalah kenyataan juga, para elit yang beragama Hindu memang tak percaya diri dengan kehinduannya lantaran tak menguasai agama Hindu, bahkan yang paling elementer jika dihadapkan pada pergaulan antar umat. Seorang elit (pejabat) Hindu sering aktif bersembahyang di Pura-Pura di Bali, bahkan duduk di barisan terdepan supaya dipotret atau masuk televisi. Mereka dengan tekun memuja. Tetapi di Jakarta, dia takut menghadiri pertemuan antar agama, hanya karena: "Wah nanti disuruh berdoa menjelang makan, saya tak tahu doanya". Atau takut pada pertanyaan elementer, misalnya, Hindu itu menyembah banyak Tuhan, ya? Kan ada Dewa Wisnu, Dewa Siwa, Dewa Brahma, dewa lain-lainnya lagi, jadi banyak Tuhan dong yang disembah. Mereka tak bisa menjelaskan karena tak paham apa beda Dewa dengan Tuhan. Dibandingkan ditanya soal-soal begini, lebih baik tak usah berpartisipasi. Nah, itu salah satu kelemahan umat Hindu jika dihadapkan dalam pergaulan lintas agama, di mana kecendrungan sekarang ini adalah mulai meningkatnya kadar keberagamaan masyarakat.

Kita harus berpartisipasi dalam setiap kehidupan sosial masayarakat, termasuk urusan-urusan politik jika ingin Hindu tampil dalam percaturan bangsa ini. Dan kita harus berbagi tugas, dan tentunya jangan salih salah-menyalahkan. Dari mana kita mulai berbenah? Ya, kita mulai dari membenahi PHDI, baik strukturnya, kelembagaannya, maupun menaruh orang-orangnya. Potensi umat Hindu itu besar sekali. Mahasiswa KMHDI di sekolah tinggi komputer di Surabaya sampai diminta bantuan membuatkan web site umat Buddha, masak membuatkan web site untuk PHDI tak bisa -- kalau ada permintaan.

Demikian hal-hal yang bisa saya kemukakan, mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan.

Denpasar, 16 Juni 2000
(Disampaikan pada Pesamuan Agung Umat Hindu Indonesia di The Grand Bali Beach, Sanur, 17 Juni 2000)


©Raditya2002