Cari Angin - Kolom Khas Putu Setia di KORAN TEMPO Minggu
 

Unjuk Gigi

Putu Setia

Ada unjuk rasa, ada unjuk gigi. Unjuk rasa itu yang dipamerkan adalah perasaan. Misalnya perasaan bersedih, jadi seseorang yang berunjuk rasa bisa saja menangis tersedu-sedu menceritakan nasibnya. Kalau kebetulan ada kamera televisi yang menyorot mereka, sedihnya jadi bertambah. Sedangkan unjuk rasa yang melampiaskan rasa marahnya, bisa berteriak-teriak menyalahkan ini menyalahkan itu, hanya dia dan mereka saja yang benar.

Kalau unjuk gigi lain. Yang dipamerkan bukan giginya, tetapi seluruh tubuhnya dengan segala ego bahkan termasuk apa yang ada di dalam otaknya. Jika perlu melawan arus dan norma-norma sosial yang berlaku selama ini. Apa yang tabu di masa lalu dan sesuatu yang harus disembunyikan karena mungkin tergolong aib, sekarang tidak. Malah terang-terangan memamerkan dirinya. Dulu orang takut kalau dicap keluarga dari pentolan partai politik yang berkhianat kepada negara. Sekarang bahkan anak seorang tokoh partai terlarang berani menyatakan bangga menjadi anak dari pentolan partai terlarang itu. Hebat, memang.

Dulu, kalau seorang pejabat ditanya apakah ia mau dicalonkan jadi presiden, menteri, atau gubernur jawabnya bisa tidak jelas. Misalnya, “saya tak akan menolak tugas yang diberikan, karena tugas itu amanah.”  Atau jawaban begini; “Saya sama sekali tidak berambisi, tetapi kalau rakyat memilih saya, saya tak akan mengecewakan rakyat.” Ada pula kalimat yang kelihatan lebih keren tetapi klise: “Sebagai prajurit saya siap ditempatkan di mana saja.” Yang pasti, prajurit ini tak akan mau ditempatkan di penjara.

Sekarang, di era unjuk gigi semua itu sudah berlalu. Semuanya mengaku siap menjadi pejabat apa saja. Tak perlu basa-basi tapi langsung berkata lantang: “Pilih aku, jangan pilih dia….” Orang sudah terang-terangan meminta jabatan dan minta dukungan. Calon presiden tiap hari mondar-mandir untuk meminta dukungan dari rakyat. Politisi yang ingin jadi menteri, tiap hari pula kasak-kusuk agar namanya masuk nominasi. Apalagi kalau jabatan basah seperti direktur utama BUMN, setiap saat ada yang ingin merebutnya. Dan menteri yang berkuasa untuk itu bisa pula seenaknya menaruh orang, RUPS Persero seolah-olah penuh di tangannya. Orang yang hari ini mengurusi telepon, besok bisa disuruh mengurusi minyak, lusa mengurusi bank, minggu depan mengurusi pesawat terbang.

Apa yang dulu dianggap penyimpangan, malah termasuk hal yang perlu dipamerkan. Seorang artis tak segan-segan menyelenggarakan jupa pers untuk mengatakan: “Saya sudah cerai dengan dia.” Bahkan ada pula yang bangga telah merebut suami orang, tak peduli bagaimana nasib istri dan anak yang suaminya direbut itu. Perkawinan bukan lagi sesuatu yang agung apalagi sakral. Perkawinan hanyalah bagian dari show.

Kaum gay juga mulai unjuk gigi. Dulu, kaum ini dianggap penyimpangan. Keluarga yang ada anaknya “menderita gay” berusaha menutup-nutupi hal itu. Sekarang era sudah berubah. Para gay percaya diri untuk pamer. Mereka membentuk organisasi, melengkapi komunitasnya dengan berbagai perangkat komunikasi. Mereka pun bisa bilang: “Ini dadaku, mana dadamu.”

Penyair Rendra pernah menulis sajak: “Bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta.” Tapi sampai sekarang belum ada Persatuan Pelacur Refomasi, juga tidak ada Persatuan Mucikari Perjuangan, apalagi Persatuan Hidung Belang Sejahtra. Mereka ternyata tahu diri juga. Mungkin mereka pun sadar, kalau misalnya mereka membuat pernyataan dukungan kepada salah satu calon presiden, pasti calon presiden itu akan menghindar.

Belajar dari dunia kaum PSK (Pekerja Seks Komersial) – indah betul nama ini --  kita jadi tahu, untuk unjuk gigi ada persyaratan minimal yang dilupakan para politisi dan selebritis. Yakni, mematut-matutkan diri. Bisa dengan mengambil cermin, pandang wajah kita berlama-lama. Apa kita pantas untuk pamer diri itu?

Sebuah televisi swasta menayangkan acara debat kandidat dan di situ dua orang kandidat menteri saling adu argumentasi. Berbicara saja belepotan, ditanya A dijawab B, bagaimana bisa menjadi menteri? Keduanya belum bercermin apa sudah pantas unjuk gigi.

Seorang aktifis – ini tidak jelas jabatan atau julukan – selalu berkata kepada wartawan, negeri ini harus diperbarui. “Tak ada cara lain untuk membangun negeri ini kembali selain cara revolusi. Saya siap memimpin revolusi itu,” katanya. Aktifis ini sepertinya tak pernah potong rambut ke barber shop atau salon. Kalau pernah, dia pasti otomatis berhadapan dengan cermin barang beberapa puluh menit selama dicukur, dan di sana dia bisa bertanya sendiri, apa pantas memberi pernyataan begitu? Rakyat mana yang mau diajak revolusi dan mau dipimpin oleh dia, wong ketika dia mendirikan partai saja pendukungnya cuma nol koma sekian?

Karena itu bagi mereka yang mau unjuk gigi sadarlah tentang kemampuan, seberapa besar “gigi” (modal) yang dimiliki. Bagi masyarakat luas, jangan mudah tergiur oleh mereka yang punya profesi melakukan unjuk-unjuk, baik unjuk gigi maupun unjuk rasa. Semuanya harus dipertimbangkan dengan nalar.

22 Agustus 2004


©Raditya2002