Cari Angin - Kolom Khas Putu Setia di KORAN TEMPO Minggu |
Buruan Dong Diburu
Putu Setia
Kamus Umum Bahasa Indonesia, baik yang besar maupun
kecil, tidak menampung bahasa prokem. Tetapi, entah dari mana kekuatan sihir
itu, bahasa prokem bisa menjadi bahasa resmi di kalangan anak muda, muncul
dengan seenaknya di media masa, dan mejadi judul apa saja, termasuk judul film.
Kata “buruan”, misalnya. Menurut kamus, itu berarti
binatang yang diburu. Atau orang yang dicari polisi untuk ditangkap.
Konotasinya negatif karena akan jadi buron. Ciuman bisa diburu, jika maksudnya
melenyapkan nafsu untuk berciuman, misalnya, dengan pasangan yang tidak sah.
Ya, memang begitu artinya kalau kita mau sedikit menegakkan kepatuhan berbahasa
Indonesia. Ciuman itu sakral, tidak sembarang orang bisa melakukan di depan
umum. Seorang ibu mencium kening anaknya, memerlukan energi kasih yang
berlimpah, tak bisa dengan ceplok begitu saja sembari nafasnya ngos-ngosan
habis mengucah jengkol. Ada ritual kecil dari getaran hati paling dalam. Jangan
anggap remeh makna ciuman, jangan dijual obral kebiasaan cium-mencium itu. Ada seorang politisi yang berkata: “Buruan koalisi.”
Kalau kata “buruan koalisi” itu dibaca dengan semangat tahun 1928 tatkala
Sumpah Pemuda lahir, artinya koalisi mesti diburu, termasuk orangnya harus
ditangkap polisi. Karena saya bukan politisi, saya tak tahu kenapa koalisi
harus diburu? Ya, siapa tahu koalisi politik sekarang sudah bermaksud buruk,
yaitu hanya untuk membagi-bagi kekuasaan dan kembali menguasai negeri ini dari
hilir ke hulu. Koalisi hanyalah perwujudan dari tak relanya melepaskan
kekuasaan yang telah digenggam. Koalisi bukan karena persamaan perjuangan dan
menyatukan flatform, tetapi kebersamaan untuk tetap memegang jabatan. Masak ada
partai nasionalis berkoalisi dengan partai yang memperjuangkan asas agama, atau
partai yang bertekad memberantas korupsi berkoalisi dengan partai yang korup,
atau partai yang menyatakan tak rela dipimpin seorang wanita berkoalisi dengan
partai yang dipimpin wanita. Ini kan menipu diri sendiri, karena tak berhasil
menipu rakyat. Kalau begitu benar juga koalisi harus diburu. Namun, negeri ini sudah tak sepenuhnya menganut asas
berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga kata “buruan” dalam konteks
bahasa prokem jangan dilihat artinya di kamus. Kata “buruan” ini diprokemkan
dari istilah terburu-buru atau buru-buru. Kurang lebih artinya cepat, atau
kalau Anda suka menonton iklan di televisi kira-kira maksudnya: “cepat dikit
dong, lama amat” dan lawan bicara akan menjawab: “ya, ampun, sabar dong….” Jadi, “buruan cium gue” artinya kamu cepat-cepat
cium saya, nggak usah pakai perasaan segala, nggak usah menunggu cincin kawin,
nggak usah ke penghulu dulu. “Buruan koalisi” artinya cepat-cepat bergabung
sehingga jumlah gabungan itu bisa untuk menakut-nakuti rakyat agar rakyat tidak
memilih yang “gabungannya lebih kecil”. Pokoknya cari jalan pintas, menipu atau
sedikit mengada-ada, tak jadi persoalan. Tentu saja ini membuat orang gusar. Orang-orang
waras seperti AA Gym meminta supaya film Buruan ditarik dari peredaran.
Ram Punjabi yang membuat film itu juga waras dan langsung menarik filmnya dari
peredaran. Anggota Lembaga Sensor Film tentu sangat waras, barangkali mereka
meloloskan film itu untuk uji coba apakah masyarakat kita sudah cerdas atau
tidak. Kalau cerdas tentu tidak akan menonton film itu, sehingga produsernya
rugi. Kalau belum cerdas, pasti akan menonton, lalu protes ramai-ramai.
Ternyata masyarakat kita memang belum cerdas. Apakah nantinya masyarakat kita juga cerdas atau tidak
cerdas dalam menyikapi “buruan koalisi” yang dibuat partai-partai yang beraneka
asas dan aliran itu? Pemilu Presiden 20 September nanti yang akan menjawab
lewat hasilnya. Siapa yang menang, apakah koalisi di tingkat elit, atau koalisi
tanpa deklarasi di tingkat rakyat, kita harus sabar menunggu, jangan
terburu-buru. Sayangnya tidak banyak lagi orang berkata: “Buruan
dong diburu”. Kata-kata ini harus diartikan dengan cara memadukan bahasa prokem
dan bahasa kamus. Artinya kurang lebih, “cepat dong diburu, nggak sabar nih.”
Siapa yang diburu? Ya, koruptor di perusahaan BUMN, anggota DPRD yang memalsu
izasah, gubernur dan bupati yang tidak netral, dan – mohon maaf –polisi yang
ketahuan membela calon presiden tertentu. Mungkin orang malas meneriakkan kata-kata itu lagi,
karena akan melayang-layang tak bisa dijangkau aparat penegak hukum. Lagi pula,
bagaimana bisa memburu koruptor di perusahaan BUMN, kalau seluruh pekerja BUMN
sudah mau berkompak-ria untuk “buruan mendukung” seorang calon presiden? Kalau begitu kita mau apa, ya? Cuek pada
ketidak-adilan ini? Masa bodoh dengan begitu banyaknya uang yang dihabiskan
untuk meresmikan proyek? Atau masih mau mendoakan agar anggota Paswanlu
sehat-sehat saja? Semuanya bisa dicoba. Saya sendiri punya keinginan sederhana,
buruan menyelesaikan tulisan ini, masih ada pekerjaan yang lebih serius. 29 Agustus 2004 |