Belajar Jurnalistik Bersama Putu Setia |
Teknik Pengolahan Data
Menjadi pembicara pada Latihan Ketrampilan Penerbitan Kampus Mahasiswa (LKPKM) se-Indonesia bukan yang pertamakali buat saya. Pada LKPKM tingkat dasar di UGM Yogyakarta saya sudah menjadi pembicara. Namun, saya tak tahu pasti, apakah pesertanya sama, atau sebagian sama. Atau adakah yang di Denpasar sekarang ini (tingkat pembina) adalah kelanjutan dari Yogya (tingkat dasar) dan Padang (untuk tingkat lanjutan). Tentang materi yang saya bawakan ini, Teknik Pengolahan Data, memang baru pertama kali untuk pers kampus. Sebelumnya saya berbicara materi yang lain. Walau begitu, saya sempat membaca makalah tentang Teknih Pengolahan Data pada tingkat-tingkat sebelumnya. Saya melihat di sana masih bergulat pada persoalan teori dan tidak menukik pada permasalahannya. Mudah-mudahan kali ini saya sempat memberikan yang tidak sekadar teori, tetapi juga contoh-contoh sehingga bisa dipraktekkan. Saya pikir, pada tingkat pembina ini persoalan yang langsung pada permasalahan akan makin diperlukan. Mengumpulkan Data
Adapun tentang riset kepustakaan, ini memang tidak memerlukan teknik khusus. Dan saudara-saudara yang selama ini sudah duduk di bangku universitas tentu tak asing dengan soal ini. Dalam membuat paper, makalah, dan nantinya skripsi, hal-hal seperti ini sudah pasti dilakukan. Dan itu sama saja untuk kepentingan jurnalistik. Bagaimana kita membongkar-bongkar buku untuk mencari data yang akan menunjang tulisan kita. Atau memilah-milah klipping koran, atau menyimak brosur-brosur. Semua ini tak kalah pentingnya dengan pekerjaan wawancara atau reportase. Di penerbitan-penerbitan besar seperti TEMPO, Kompas dan lain-lainnya, tenaga seperti ini yang dinamai periset statusnya sama dengan wartawan. Karena mereka harus punya kejelian yang sama dengan wartawan. Bahkan mungkin lebih karena mereka umumnya lebih banyak membaca buku dan mengingat peristiwa-peristiwa -- walau itu tak mutlak karena sekarang pendataan klipping, file, brosur, indeks atau katalog buku sudah didukung peralatan komputer yang canggih.
Setelah Data Terkumpul
Mengolah Data
Misal: Ada sekelompok petani melakukan protes karena tanahnya digusur. Pemimpin kelompok itu dan aktifis-aktifis lainnya adalah pelaku utama. Sedang figurannya adalah puluhan petani yang lain. Kita tak perlu harus menyebut seluruh petani yang protes, cukup pemimpinnya saja, atau pendampingnya yang vokal saja. Sedangkan puluhan lainnya cukup disebut jumlahnya, asalnya. Tidak perlu deskripsi lengkap: nama-nama mereka, usianya, deskripsi tubuhnya dan sebagainya. Tapi pemimpinnya perlu: usianya, pendidikannya, caranya bicara dan sebagainya.Ini juga termasuk pelaku yang lebih penting. Sebagai contoh, delapan anggota kongres AS berkunjung ke Indonesia. Karena mereka dari satu partai yang sama dan delegasi ini merupakan satu kesatuan, maka yang disebut cukup pemimpinnya saja. Apalagi yang lain tidak ngomong. Untuk apa menyebutkan data-data yang lain, selain susah mengeja namanya, apa relevansinya untuk pembaca kebanyakan?Pergunakan data sesuai dengan kebutuhan berita itu. Misalnya soal-soal detail. Tak semua detail itu penting. Misalnya menyebutkan jarak terbunuhnya perampok di tangan polisi. Apa gunanya menulis berita begini: ''Perampok itu ditembak polisi pada jarak 5, 74 meter.'' Pembaca malah bisa keliru kalau membacanya cepat-cepat, lima meter atau tujuh meter atau empat meter. Sebut saja angka bulat, misalnya, kurang dari enam meter atau sekitar enam meter -- walau Anda betul-betul mengukurnya secara tepat dengan sangat susah.Tetapi untuk hal tertentu, detail penting. Misalnya, pertandingan sepakbola. ''Gol terjadi pada menit ke 43''. Ini tak bisa disebut sekitar menit ke 45, karena menit 45 sudah setengah main. Menit ke 43 sangat penting artinya dibandingkan menit ke 30, misalnya. Atau tulisan begini: ''Pelari itu mencapai finish dengan waktu 10.51 detik.'' Ini penting sekali bagi pembaca. Mereka akan marah kalau detail itu ternyata salah. Apakah pembaca bingung melihat angka-angka ini? Tidak, karena sebelum mereka membaca berita itu, mereka sudah punya persiapan rubrik apa yang dibacanya. Kalau rubrik itu Nasional (di majalah) atau berita utama di koran tertulis seperti ini: ''Selesai berdemonstrasi menentang SDSB, Polan pulang ke rumahnya. Baru 15 menit, 12 detik, 6 second ia di rumah, polisi dengan kekuatan 12 orang datang menciduknya. Nama-nama polisi itu Erwin Siregar usia 26 tahun pangkat Serka, Ida Bagus Rai usia 35 tahun pangkat Letda, Muhamad Jarnawi usia 28 tahun pangkat serma asal Purwodadi.....'' Ya, capek membaca kan? Untuk apa? Pelaku utamanya Polan, yang lain figuran semua. Figuran terpenting di sini hanya komandan polisi yang menangkapnya. Bahan-bahan seperti itu yang Anda dapatkan dari laporan polisi (biasanya keterangan pers) tidak usah dipakai semua.
Sebar Data, Kalau Penting
Kalimat saya ini sebenarnya sudah bagus karena meletakkan koma dengan benar. Kalau meletakkan koma ceroboh dan sama sekali diabaikan, pembaca bisa bingung. Jangan-jangan yang dimaksudkan ''ia'' itu istri Rinuh, jangan-jangan yang dimaksudkan mendapat penghargaan itu anaknya yang insinyur.Tapi, sebagus-bagusnya kalimat seperti yang saya buat tentu tetap capek membacanya. Dan itu bukan bahasa jurnalistik, apalagi jurnalistik model sekarang ini yang sering disebut sebagai jurna listik baru. Anda haru memecah-mecah data yang mendukung Ketut Rinuh itu. Misalnya:Pada kalimat pertama Anda cukup tulis: Ketut Rinuh, 50 tahun, mendapat penghargaan dari pemerintah. Kemudian dilanjutkan dengan kapan penghargaan itu diberikan, dalam rangka apa, siapa yang memberikan. Lantas, tentang siapa Ketut Rinuh dilanjutkan lagi dengan menulis: Pelukis lumpuh dari Desa Kesiman itu begitu terharu menerima penghargaan itu. Kemudian dilukiskan suasana pada saat upacara itu berlangsung. Mungkin, supaya berita tidak datar, Anda membutuhkan kutipan. Di situpun Anda bisa mendomplengkan data. Misalnya: ''Saya tak pernah mimpi mendapatkan penghargaan ini,'' kata Ketut Rinuh, lelaki yang lumpuh sejak kecil itu. Lalu Anda kembali melakukan reportase. Misalnya Anda menulis: Saat menerima penghargaan itu Ketut Rinuh tidak didampingi istrinya karena lagi mengajar di sebuah TK. Namun, ayah sembilan anak ini tampak begitu bahagia. Out-line Perlu
Misalnya, Anda mau menulis masalah perpakiran di kota ini. Ada peg baru (kejadian hangat yang membuat berita itu layak diangkat) yakni: urusan parkir akan ditenderkan oleh Walikota. Nah, sebagai seorang redaktur yang menangani proyek tulisan ini, Anda tentu menyebar banyak wartawan. Ada yang mewawancarai tukang parkir, ada ke wali kota, ada yang mewawancarai pengusaha yang berminat ikut tender, ada yang ke polisi, ada yang mewawancarai tokoh masyarakat atau orang biasa. Bahan yang masuk tentu banyak sekali, sementara jatah halaman yang tersedia terbatas. Maka out line sangat membantu mengatasi masalah ini. Misalnya, Anda merancang kan begini:
Bagian pertama tentu saja yang paling aktual (atau peg news) yakni menyangkut rencana tender parkir. Berapa besar tender, bagaimana minat pengusaha, target pendapatan kotamadya dari perparkiran, bagaimana perbandingan dengan tahun lalu ketika parkir tak diborongkan. Bagian kedua: menyangkut kebijaksanaan perparkiran. Misalnya disorot masalah hukumnya. Apakah seluruh wilayah kotamadya itu menjadi taman parkir? Kalau tidak kenapa di depan apotek ini ada parkir, di depan nasi guling di sebelahnya tidak ada? Kenapa ada parkir di trotoar, peraturan mana yang membolehkan? Kenapa tukang parkir saling bersaing, apakah mereka yang menyetor sesuai target? Adakah kemungkinan penyelewengan, karcis tak dirobek, lalu dipakai berulang-ulang. Kalau begitu siapa yang rugi, pengusaha atau kotamadya?
Bagian ketiga: tanggapan dan pendapat masyarakat. Pemakai jalan, polisi, tukang parkir itu sendiri. Kalau tiga bagian ini masih kurang, mungkin perlu ada wawancara khusus yang menjadi bagian tersendiri atau tulisan (opini) berupa kolom dari seorang pakar. Misalnya, mereka menyoroti apa beda parkir dan penitipan motor. Kalau motor hilang, apakah tukang parkir bisa dituntut. Apakah tukang parkir itu bertanggung-jawab terhadap keamanan mobil atau motor atau mereka hanya menyediakan tempat dan untuk itu kita membayar.Nah, kalau _out-line_ itu sudah jelas, Anda tak akan lari ke mana-mana kalau sudah menulis. Tanpa kejelasan itu, Anda bisa melebar ke mana-mana. Persoalan A belum selesai, Anda sudah menulis persoalan C. Kemudian ingat lagi masalah A, ditulis lagi. Tulisan jadi tak runtut. Akan terjadi pengulangan-pengulangan.Demikian sesuatu yang bisa saya berikan semoga ada manfaatkan untuk Saudara-saudara. Denpasar, 1998 Putu Setia
|