ANTARA, Jun 10 2005 10:03
Sosiolog: Konflik komunal penyebab kerusuhan dan pemboman
Jakarta (ANTARA News) - Rangkaian kejadian pemboman dan kerusuhan yang terjadi
di sejumlah daerah di Indonesia terjadi karena berbagai konflik komunal yang hingga
kini belum dapat diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah, kata Sosiolog
Universitas Indonesia, Dr Thamrin Amal Tamagola.
Dia mencontohkan, hingga saat ini konflik komunal yang terjadi di Tanah Air seperti di
Poso, Mamasa, Ambon, dan Sampit (Kalimantan Tengah) belum ditangani dengan
baik.
"Sampai sekarang konflik itu belum teratasi dan tidak `ditekel` secara tuntas
sehingga kejadian itu berulang lagi dan lagi," katanya usai diskusi reguler tentang
pemboman di Tanah Air yang diselenggarakan oleh International Centre for Islam and
Pluralism (ICIP) di Jakarta, Kamis.
Akibatnya terjadi ketidakpuasan dan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang
bertikai sehingga mereka berusaha menyelesaikan konflik itu dengan cara mereka
sendiri yang tentunya dianggap menguntungkan bagi kelompoknya, termasuk dengan
tindak kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa.
Oleh karena itu, menurut Thamrin, pemerintah sebagai pihak yang mendominasi
pembuatan kebijakan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, harus membuat
kebijakan yang tepat untuk menjembatani penyelesaian konflik sehingga konflik
komunal yang terjadi bukan hanya terredam atau tertutupi tetapi dapat diselesaikan
dengan segera dan tuntas.
"Karena keadilan struktural hanya bisa diwujudkan melalui kebijakan publik yang
baik," tambahnya.
Jadi konflik yang terjadi, menurut dia, tidak boleh ditutupi atau ditutup dengan paksa
tetapi harus dibicarakan dengan baik agar terselesaikan karena sebenarnya konflik
bukanlah sesuatu yang berbahaya jika dapat ditangani dengan baik.
Penyelesaian konflik komunal sendiri, katanya, harus dilakukan berdasarkan struktur
anatomi terjadinya konflik komunal yang terdiri atas empat hal utama yakni sarana
(hard core) terjadinya konflik, amunisi (akar permasalahan), faktor penyebab (fuse
factor) dan penyulut (trigger).
Sarana terjadinya konflik di antaranya berupa kompetisi antar agama dan etnis,
imigran, perusakan sistimatis terhadap tradisi lokal dan konteks nasional tertentu
seperti penguasaan pemerintahan oleh pihak tertentu, amunisinya adalah pelumpuhan
nilai-nilai tradisi secara sistematis sedangkan "fuse factor"nya adalah sentimen
agama dan sentimen kesukuan.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sentimen yang menyebabkan konflik terjadi
ketika suatu kelompok atau golongan berusaha menguasai atau mengangkangi
sumber daya strategis, baik sumber daya ekonomi maupun non ekonomi, dan tidak
mengijinkan kelompok lainnya untuk turut serta menikmati.
Akibatnya kelompok yang merasa tersisihkan dan tertindas akan melakukan berbagai
cara untuk mendapatkan hak-hak mereka yang terambil.
Dia menjelaskan untuk menyelesaikan konflik tersebut pemerintah dengan bantuan
masyarakat kewargaan (civil society) harus memulai penyelesaian konflik dengan
menghilangkan unsur yang paling sedikit pengaruhnya terhadap terciptanya konflik
yakni menangkap semua provokator.
Langkah yang harus dilakukan selanjutnya menurut dia adalah menghilangkan `fuse
factor` melalui reaktualisasi ajaran kesukuan.
Sementara upaya meminimalkan atau menghilangkan sarana terjadinya konflik dan
menuntaskan akan permasalahannya baru dapat dilakukan kemudian.
"Karena penyelesaian akar masalah tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat,"
demikian Thamrin.
Dalam beberapa tahun terakhir kejadian pemboman dan kerusuhan akibat konflik
komunal terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air dan mengakibatkan timbulnya
banyak korban jiwa dan kerusakan sarana fisik.(*)
Copyright (c) 2004 LKBN ANTARA
|