KOMPAS, Senin, 05 September 2005
Anak Pengungsi Alami Kekerasan
Ada Ketakseimbangan Posisi Masyarakat
Ambon, Kompas - Ratusan anak-anak korban konflik yang hingga sekarang ini masih
menghuni berbagai penampungan pengungsi di Pulau Ambon mengalami berbagai
tindak kekerasan, baik fisik, nonfisik, maupun seksual.
Guru sebagai pendidik diharapkan mengatasi masalah tersebut. Namun, yang sering
terjadi, sejumlah guru justru menjadi pelaku tindak kekerasan di sekolah.
Menurut Jefry Bevers dari Yayasan Ekkaleo di Ambon, Sabtu (3/9), berdasarkan
penelitian yang dilakukan lembaganya bersama Lembaga Pemberdayaan Perempuan
dan Anak tercatat 75-80 persen dari sekitar 1.000 anak pengungsi yang mereka
dampingi mengalami kekerasan fisik. Bentuknya, antara lain, berupa pemukulan,
penamparan, tendangan, hingga cekikan.
Sebanyak 80-90 persen anak mengalami penganiayaan nonfisik, seperti dihina,
dicaci, dan diancam. Sebanyak 50-60 persen dari anak-anak yang tinggal di
pengungsian itu mengalami kekerasan seksual, seperti diraba bagian tubuh tertentu,
diajak bicara cabul, hingga dipertontonkan bagian tubuh tertentu.
Pelaku dari semua tindak kekerasan tersebut hampir sama, seperti guru, orangtua,
tetangga, teman, keluarga dekat, hingga oknum aparat keamanan, kata Jefry.
Tempat terjadinya berbagai tindak kekerasan tersebut bervariasi, mulai dari sekolah,
rumah, penampungan pengungsi, sampai di jalan umum.
Semua tindak kekerasan tersebut meninggalkan bekas pada anak-anak. Dampak
fisik yang muncul antara lain timbulnya luka atau memar, gangguan neurologis akibat
kepala sering dipukul, serta pertumbuhan yang tidak optimal. Dampak psikologis
yang terjadi antara lain timbulnya rasa tidak berharga, rendah diri, kewaspadaan fisik
yang berlebihan, serta melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Menurut psikolog Universitas Indonesia, Sherly Saragih Turnip, tindak kekerasan
terhadap anak- anak terjadi karena ketidakseimbangan posisi dalam masyarakat.
Korban umumnya di posisi lebih rendah dibandingkan dengan pelaku.
Ketidakseimbangan peran memungkinkan terjadinya tindak pemaksaan oleh mereka
yang memiliki posisi kuat. Dalam budaya masyarakat Ambon yang keras, mereka
menjadi sangat biasa memukul anak-anak, kata Sherly.
Kondisi itu diperparah dengan terjadinya konflik pada tahun 1999 selama beberapa
tahun yang mempertontonkan kekerasan massa terhadap semua orang.
Setelah konflik usai, hampir seluruh masyarakat di Ambon hidup dalam kondisi serba
terbatas. Ini membuat beban yang ditanggung masyarakat semakin berat. Akibatnya,
orang-orang menjadi lebih sensitif dan emosional.
Upaya mengatasi kekerasan yang terjadi terhadap anak-anak, lanjut Sherly, dapat
ditempuh melalui jalur pendidikan, yaitu melalui guru.
Namun, sayangnya guru sendiri sekarang ini adalah korban konflik sehingga acapkali
mereka justru menjadi pelaku kekerasan di sekolah. (MZW)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|