The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Kamis, 07 Juli 2005

Reformasi Intelijen: "Velox Et Exactus"

Oleh : SUBUR TJAHJONO

"... Pada bulan Agustus 1970 saya bersama Kepala Komunikasi/Sandi Deplu Sdr Drs Gunawan dan Drs Ekonomi Nazarudin berangkat ke LN untuk memasang alat-alat komunikasi SSB di berbagai negara yang pada waktu itu dinilai penting untuk mengamati gerakan komunis sedunia, sisa G 30 S/PKI serta RMS dan OPM di LN...."

Itu adalah sekelumit pengalaman intelijen Mayjen (Purn) Inf RM Jono Hatmodjo yang ditulis dalam bukunya "Intelijen Sebagai Ilmu" terbitan Balai Pustaka tahun 2003. Jono Hatmodjo pernah menjadi Direktur Intel Luar Negeri Badan Koordinasi Intelijen Negara atau disingkat Bakin tahun 1969-1971 dan Deputi IV Kepala Bakin tahun 1975-1980.

Jono sendiri dalam bukunya berpendapat, di Indonesia semestinya kegiatan intelijen di tingkat nasional dikoordinasikan oleh Bakin karena namanya adalah Badan Koordinasi Intelijen Negara. Akan tetapi, dalam kenyataannya organisasi ini menjadi kabur sejak ketiga fungsi intelijen (penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan) baik di Bakin atau BIA (Badan Intelijen ABRI) tidak lagi diabdikan pada kepentingan nasional, melainkan untuk menegakkan kepentingan kekuasaan dan mempertahankan kemapanan Orde Baru.

Ilmuwan Australia Richard Tanter dalam disertasi doktor di Monash University tahun 1991 berjudul Intelligence Agencies and Third World Militarization: A Case Study of Indonesia 1966-1989 secara rinci menggambarkan eksesifnya intelijen Indonesia. Dalam kasus Indonesia pada masa Orde Baru, sistem pengintaian yang dimiliterisasi mencapai tingkat terbawah kota dan desa di Indonesia.

Seiring dengan berkembangnya demokrasi pascakejatuhan rezim Soeharto, pada era reformasi ini Bakin telah divalidasi menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) dan BIA menjadi Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (Bais TNI).

Namun, wacana intelijen mengemuka karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 Juni lalu menghidupkan kembali salah satu ujung tombak terbawah intelijen, yaitu Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) dan Badan Koordinasi Intelijen Daerah (Bakorinda). Alasannya karena meluasnya aksi terorisme. Koordinasi diharapkan dilakukan di antara intelijen kepolisian, TNI, kejaksaan, pemerintah daerah, serta masyarakat hingga ke tingkat rukun tetangga/rukun warga.

Trauma masa Orde Baru kembali muncul karena struktur koordinasi hingga ke tingkat RT/RW itu mengingatkan kembali pada struktur intelijen Orde Baru yang menjangkau hingga ke masyarakat bawah. Trauma bahwa intelijen akan kembali mengintai masyarakat kembali muncul.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat H Nuriana pada Januari 2003 pernah mengusulkan agar Bakorinda Jawa Barat dihidupkan kembali. Bakorinda itu terdiri atas unsur kejaksaan, komando daerah militer, kepolisian, dan bagian kesatuan bangsa dan perlindungan masyarakat Pemerintah Provinsi Jabar.

BIN juga telah membangun Pos Intelijen Wilayah di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota melalui Keputusan Kepala BIN Nomor 1352 terhitung mulai 31 Desember 2001.

Wacana soal intelijen ini muncul kembali karena reformasi dalam bidang ini belum tersentuh secara mendasar. Rintisan reformasi intelijen itu sebetulnya sudah dimulai Presiden Megawati Soekarnoputri dengan menerbitkan sejumlah keputusan presiden dan instruksi presiden untuk menyempurnakan organisasi dan mekanisme kerja intelijen, terutama BIN sebagai intelijen sipil.

Namun, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Keppres No 103/2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen hanya menempatkan BIN sebagai salah satu dari 23 LPND yang diatur dalam Keppres No 9/2004 tersebut.

Keppres tersebut secara sederhana mengatur susunan organisasi, fungsi, kewenangan, pengawasan, serta pembiayaannya, yang tak jauh berbeda dengan 22 Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) lainnya. Padahal, bidang intelijen adalah bidang yang khusus karena sifat kerahasiaannya.

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002 menambah kewenangan kepada Kepala BIN untuk mengoordinasikan penyusunan perencanaan umum dan pengkoordinasian pelaksanaan operasional kegiatan intelijen seluruh instansi lainnya.

Mantan Deputi Bidang Operasi Dalam Negeri dan Deputi Teknologi BIN Bijah Subijanto mengakui, sebetulnya dibandingkan dengan intelijen zaman Orde Baru, intelijen masa kini sudah jauh lebih reformatif. Struktur juga disesuaikan dengan prinsip-prinsip intelijen di negara demokrasi. Dari segi struktur, misalnya, Deputi Kerja Sama Intelijen dan Deputi Penggalangan sedang diusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk dihapus dan dilebur dalam Deputi Kontraintelijen.

Usulan reformasi intelijen itu juga diwujudkan dengan usulan pembentukan RUU Intelijen versi BIN yang secara diam-diam materinya telah diterima sejumlah anggota DPR. Namun, RUU Intelijen versi BIN itu terlalu mengatur BIN. Tidak direncanakan diatur sedikit pun bagaimana Bais akan diletakkan dalam reformasi intelijen, bagaimana tugas dan fungsi intelijen, koordinasi, pembiayaan, serta pengawasannya.

Alih-alih meningkatkan pengawasan bahkan diusulkan suatu "cabang khusus" yang sangat rahasia dan bekerja langsung di bawah Kepala BIN. Cabang khusus ini adalah jaringan khusus yang meliputi seluruh Indonesia dan anggotanya terdiri atas agen-agen yang sangat terlatih. Dalam jangka panjang cabang khusus ini diharapkan memiliki jumlah anggota yang lebih banyak daripada yang bekerja di lingkungan pangkalan.

Sesat

Menurut buku Jane’s Sentinel Security Assesment (Nomor 15 Tahun 2004), tanpa hadirnya lembaga-lembaga penyaring yang tersentralisasi, seperti Komite Bersama Intelijen (Joint Intelligence Committe) di Inggris, Bais melapor langsung produk intelijennya kepada Markas Besar TNI, dan pada saat yang sama BIN dan Polri melapor langsung ke presiden. Kondisi ini dinilai akan menciptakan kemacetan informasi dan kemungkinan produk intelijen yang penting menjadi sesat atau terdistorsi.

Untuk melaksanakan reformasi secara menyeluruh terhadap intelijen tersebut, 10 pakar yang tergabung dalam Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara berinisiatif membuat RUU Intelijen "versi masyarakat sipil".

Andi Widjajanto dari Pokja Intelijen menuturkan, untuk membuat RUU Intelijen itu, Pokja Intelijen membuat perbandingan dengan reformasi intelijen di negara lain, terutama Yugoslavia dan Afrika Selatan, karena keterlibatan masyarakat sipil yang luas dalam melaksanakan reformasi intelijennya.

Menurut Pokja Intelijen, alasan politik dari mendesaknya UU Intelijen itu karena telah adanya pergeseran watak tertutup represif dari kegiatan dan dinas intelijen negara ke watak yang sesuai dengan kebutuhan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Konsolidasi demokrasi di Indonesia membutuhkan suatu sistem intelijen negara yang memungkinkan adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap seluruh aktivitas dinas intelijen negara.

Langkah yang diambil kalangan masyarakat sipil Indonesia itu patut diberi apresiasi. Semuanya bermaksud menciptakan intelijen yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang penting lagi adalah menciptakan intelijen yang profesional untuk mewujudkan prinsip utama intelijen, yakni velox et exactus, bahasa Latin yang berarti "cepat dan tepat".

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/hoelaliejoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044