KOMPAS, Jumat, 17 Juni 2005
Gagal Panen Jagung, Diminta Makan Pisang
Ambon, Kompas - Musim kemarau yang melanda wilayah Kabupaten Maluku
Tenggara Barat menyebabkan gagal panen jagung. Jagung merupakan makanan
pokok masyarakat setempat, dicampur beras. Mengantisipasi kelangkaan pangan,
masyarakat diarahkan makan pisang.
Bupati Maluku Tenggara Barat SJ Oratmangun di Ambon, Kamis (16/6) mengatakan,
selama empat tahun terakhir, musim kering selalu berlangsung April-November dan
selalu mengakibatkan gagal panen jagung. Dampak terburuk kekeringan ini dialami
Kepulauan Babar dan Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, seperti Pulau Kisar,
Kepulauan Leti, dan Pulau Sermata.
Musim kering di pulau-pulau yang terletak di selatan Provinsi Maluku dan berbatasan
dengan Australia dan Timor Leste tersebut dalam setahun terjadi selama
delapan-sembilan bulan. Panjangnya musim kering tersebut karena tiupan angin
kering dari Benua Australia.
"Dengan kondisi seperti ini, bisa saja muncul kasus busung lapar ataupun
kekurangan gizi pada masyarakat. Namun hingga saat ini belum ada laporan
mengenai itu," kata Oratmangun.
Masyarakat Maluku Tenggara Barat menjadikan jagung sebagai makanan pokok
mereka yang dicampur dengan beras. Jagung ditanam sendiri oleh masyarakat, beras
harus didatangkan dari luar daerah.
Jika musim kering tiba, masyarakat sulit mendapatkan jagung. Sedang bila laut
sedang berombak, masyarakat sulit mendapatkan pasokan beras karena tidak ada
kapal yang bisa berlayar mengangkut beras untuk daerah itu.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut, selama dua tahun terakhir ini
masyarakat Maluku Tenggara Barat diarahkan untuk makan pisang rebus dan
pepaya. Pisang rebus dipilih sebagai makanan pokok alternatif karena dianggap
memiliki nilai karbohidrat dan vitamin yang tinggi.
Sebagai pelengkap, masyarakat juga dianjurkan untuk mengonsumsi pepaya, baik
daunnya sebagai sayur ataupun buahnya. "Pisang dan pepaya merupakan tanaman
yang tahan hidup di segala cuaca, termasuk udara panas," kata Oratmangun.
Wajib menanam
Untuk memenuhi kebutuhan pisang dan pepaya, saat ini setiap pegawai negeri sipil di
Maluku Tenggara Barat diwajibkan menanam 100 pohon pisang dan 30 pohon
pepaya, sedangkan untuk setiap keluarga diwajibkan menanam 50 batang pohon
pisang dan 30 batang pohon pepaya. Aturan ini juga berlaku bagi pasangan yang
akan menikah yang diwajibkan menanam 50 batang pohon pisang dan 30 pohon
pepaya sendiri, bukan milik orang tua. "Jika tidak memenuhi peraturan tersebut,
maka mereka tidak boleh dinikahkan oleh imam, pastor, dan pendeta yang ada," kata
Oratmangun.
Sanksi tegas dikenakan bagi mereka yang melanggar aturan-aturan tersebut. Kepala
desa dan camat yang tidak aktif mengampanyekan makan pisang, akan disingkirkan.
Demikian pula terhadap imam, pastor, dan pendeta yang menikahkan seseorang
tanpa memenuhi kewajiban menanam pohon pisang dan pepaya akan dipanggil oleh
pemerintah.
"Semua ini sudah pernah terjadi, termasuk pemanggilan imam, pastor atau pendeta,"
katanya. Meskipun demikian, lanjut Oratmangun, bukan hal mudah mengubah
kebiasaan masyarakat agar terbiasa makan pisang rebus. Karena itu, kampanye
makan pisang dan pepaya perlu dilakukan secara terus-menerus.
Menyangkut langkah darurat untuk mengantisipasi kekurangan pangan yang mungkin
terjadi, Oratmangun mengungkapkan, pihaknya telah meminta kepada dinas sosial
untuk mengirimkan bantuan beras. Namun Oratmangun yakin, dengan sudah
banyaknya pohon pisang yang ditanam, akan mampu mencukupi kebutuhan pangan
masyarakat Maluku Tenggara Barat. (mzw)
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|