KOMPAS, Selasa, 20 September 2005
Mobil Mewah di Antara Tenda Pengungsi...
Oleh: Khairina Nasution
Mencari mobil mewah yang harganya di atas dua ratus juta rupiah per unit di Jakarta
atau kota-kota besar lainnya bukan hal aneh. Di Jakarta, semua merek dan kelas
mobil tersedia. Seri mobil terbaru yang baru diluncurkan di Jakarta hari ini pun sudah
dapat disaksikan di jalanan keesokan harinya.
Namun, ternyata bukan hanya di Jakarta orang bisa menyaksikan parade mobil mahal
di jalanan. Di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), yang jaraknya
ribuan kilometer dari Jakarta dan belum lama ini diluluhlantakkan tsunami, mobil
berharga ratusan juta sangat mudah ditemukan di jalan-jalan. Kebanyakan masih
sangat baru, dengan pelat nomor kendaraan berdasar putih dan bertinta merah.
Mobil-mobil mahal yang berseliweran di Banda Aceh umumnya jenis SUV double
cabin. Mereknya beragam, mulai dari Mitsubishi Strada, Ford Ranger, hingga Nissan
Frontier. Badan mobil-mobil itu umumnya ditempeli stiker bertulisan nama organisasi,
lembaga, atau lambang yayasan yang memang banyak membantu masyarakat Aceh
yang terkena bencana tsunami.
Mobil-mobil tersebut bergerak dari satu barak pengungsi ke barak lainnya atau dari
satu tenda pengungsi ke tenda lainnya. Beberapa mobil malah parkir di samping
tenda pengungsi yang bocor dan nyaris roboh. Orang-orang di dalam mobil itu turun
untuk menanyakan kebutuhan para pengungsi, memberi bantuan, atau
menyelenggarakan kegiatan yang sifatnya membantu dan membangun warga NAD.
Kalau ada yang datang ke sini, mau membantu, biasanya naik mobil-mobil baru
tersebut. Mereka foto-foto, setelah itu berjanji hendak membantu, ujar Siti Aminah
(32), pengungsi di tenda pengungsian di Desa Bait, Dusun Payung, Kecamatan
Baitussalam, Aceh Besar.
Siti Aminah ditemui saat sedang mencuci seember pakaian milik suami, dua
anaknya, serta pakaiannya sendiri. Pakaian-pakaian itu harus segera dicuci agar
tidak berbau apek. Hujan yang turun semalaman merembes ke dalam tenda dan
membasahi pakaian-pakaian itu.
Sudah delapan bulan, ya wajar saja kalau tenda ini bocor-bocor dan seolah mau
roboh. Saya tidak tahu harus minta kepada siapa, katanya datar.
Zainudin (29), tetangga Aminah, juga tengah menjemur pakaian yang basah akibat
semalaman hujan.
Kondisi tenda Zainudin lebih memprihatinkan. Ayah dua anak itu bahkan tidak mampu
menyediakan tikar untuk anak-anaknya yang berusia enam dan tiga tahun. Angin
malam yang dingin menusuk melalui sela-sela lantai kayu.
Dua bulan lalu, kata Zainudin, pernah ada yang datang dan berjanji membantu
memberikan tenda baru. Lokasi tempat tinggalnya, yang dekat dengan Sungai Krueng
Cot, difoto berkali-kali.
Nyatanya mereka hanya foto-foto. Sampai kini belum ada yang datang lagi. Kami
pasrah, namanya juga kena musibah, ungkap Zainudin yang kini mencari nafkah
sebagai pencari ikan, kepiting, dan udang di sungai.
Kondisi pengungsi yang memprihatinkan juga ditemukan di Desa Pante Raya,
Kecamatan Trienggadeng, Pidie. Para pengungsi kekurangan air bersih sehingga
harus mengalami berbagai penyakit kulit. Air bersih memang didatangkan. Itu bantuan
dari satu lembaga swadaya masyarakat internasional. Namun, jumlahnya terbatas.
Kawasan tempat tenda-tenda pengungsi didirikan umumnya kumuh dengan sanitasi
yang tidak terjaga. Namun, kebanyakan tenda didirikan persis di pinggir jalan besar
sehingga sebenarnya mudah dijangkau oleh para pemberi bantuan.
Meski mudah dijangkau—apalagi dengan mobil mahal yang dapat berlari kencang
hingga di atas 160 kilometer per jam—para pengungsi hanya mendapat bantuan
seadanya. Jatah hidup mereka yang besarnya paling-paling tidak sampai Rp 100.000
per orang per bulan pun tidak dibayarkan secara teratur. Para pengungsi yang jatuh
miskin karena bencana juga hanya bisa menyaksikan mobil-mobil mulus itu
berseliweran tanpa membawa bantuan.
Harga mobil-mobil luks itu berapa ya, Kak? Seandainya uangnya diberikan kepada
kami, mungkin kami bisa mengganti tenda-tenda itu atau membangun rumah kami
sendiri, ujar Aminah dengan wajah lugu.
Rendy Mongdong, dari Bagian Komunikasi, Informasi, dan Kelembagaan Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias menjelaskan, jumlah organisasi
nonpemerintah milik asing yang bergerak di bidang perumahan untuk pengungsi dan
terdaftar di BRR mencapai 43. Ini belum termasuk organisasi nonpemerintah asing
maupun nasional yang bergerak di bidang lain, seperti kesehatan, pendidikan, dan
sosial. Total anggaran yang diajukan organisasi nonpemerintah dan disetujui BRR
mencapai 2,2 juta dollar AS.
Itu yang sudah kami approve. Kalau angka yang mengajukan dan belum di-approve
beda lagi, katanya.
Rendy mengatakan, pihaknya belum mendengar ada audit untuk organisasi
nonpemerintah. Akan tetapi, BRR bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan membentuk satuan antikorupsi.
Kalau misalnya ada kontraktor nakal, langsung kami laporkan, katanya.
Copyright © 2002 Harian KOMPAS
|