The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

KOMPAS


KOMPAS, Rabu, 29 Juni 2005

Rumah Warga, Potret Kemiskinan di Maluku

Infrastruktur Transportasi Sangat Buruk

Oleh: M Zaid Wahyudi

Ambon, Kompas - Berbeda dengan sejumlah daerah lain di Indonesia, kemiskinan di Maluku sebagian besar tergambar oleh buruknya kondisi perumahan warga. Konflik yang pernah terjadi membuat banyak rumah warga hancur. Buruknya sarana transportasi menuju daerah-daerah terpencil membuat harga bahan bangunan menjadi tinggi sehingga makin sulit dijangkau rakyat.

Kepala Bidang Informasi Keluarga dan Analisa Program Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Maluku Nathan Palonda di Ambon mengatakan, rumah-rumah yang dihuni umumnya tak layak huni. Lantainya masih berupa tanah dan arealnya tidak mencapai delapan meter persegi untuk setiap penghuni rumah.

"Di Maluku pangan bukan lagi menjadi masalah. Hanya masalah perumahan yang masih pelik," kata Palonda.

Data BKKBN Provinsi Maluku menyebutkan, dari 287.391 keluarga di Maluku pada tahun 2004, 46,34 persen atau 133.203 keluarga termasuk keluarga miskin. Dari jumlah keluarga miskin yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Maluku itu, hanya 104.157 keluarga yang diketahui penyebabnya.

Faktor utama kemiskinan yang menyelimuti masyarakat Maluku adalah akibat buruknya kondisi perumahan. Faktor ini dialami 68.282 keluarga (65,56 persen). Disusul disebabkan oleh masalah sandang sebanyak 22.063 keluarga (21,18 persen) dan masalah pangan 13.812 keluarga (13,26 persen). Jika dilihat dari aspek papan saja, kemiskinan tertinggi berada di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang mencapai 84,07 persen dan Kota Ambon 81,07 persen.

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Maluku Rohani Ohorella mengatakan, buruknya kondisi perumahan itu akibat banyaknya rumah yang hancur selama konflik. Banyak warga harus tinggal di pengungsian maupun mengontrak di rumah-rumah kecil di permukiman padat yang memiliki satu keyakinan karena dianggap lebih aman. Dengan terbatasnya perumahan yang tersedia, banyak rumah yang dihuni lebih dari satu keluarga. "Tak layaknya kondisi perumahan di Ambon bukan karena dibangun dengan kondisi tidak layak, tetapi akibat konflik," ujar Ohorella.

Contoh riil buruknya perumahan rakyat di Ambon terlihat di sejumlah lokasi penampungan pengungsi di Kota Ambon, di antaranya di Taman Hiburan Rakyat Ambon. Di lokasi tersebut tinggal 500 keluarga dengan jumlah anggota keluarga rata-rata lebih dari empat orang. Dalam bilik-bilik yang berukuran 3 x 3 meter itu ada yang dihuni hingga tujuh orang. Artinya, setiap jiwa hanya menempati ruang sebesar 1,28 meter persegi.

Infrastruktur buruk

Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat maupun Seram Bagian Timur, menurut Ohorella, banyak rumah tidak layak karena buruknya infrastruktur transportasi menuju daerah itu. Kondisi geografis daerah yang berpulau-pulau membuat daerah itu terisolasi dan sulit dijangkau.

"Kalaupun ada pasokan bahan bangunan, harganya jauh lebih mahal. Padahal, kemiskinan membuat daya beli masyarakat rendah sehingga tidak mampu membeli bahan-bahan bangunan tersebut," kata Ohorella.

Bupati Maluku Tenggara Barat SJ Oratmangun mengakui mahalnya ongkos transportasi menuju daerahnya. Wilayah Maluku Tenggara Barat yang terletak di ujung selatan Maluku dan berbatasan dengan Timor Timur dan Australia menyebabkan ongkos transportasi dari Ambon ke ibu kota kabupaten di Saumlaki sudah sangat mahal.

Jika harga satu zak semen di Ambon antara Rp 30.000 hingga Rp 35.000, di Saumlaki bisa mencapai Rp 50.000 per zak.

Biaya transportasi yang mahal, tambah Oratmangun, berimbas pada tingginya biaya hidup di wilayah yang memiliki luas hampir 2,5 kali Provinsi Jawa Timur tersebut. Menurut data Badan Pusat Statistik Maluku, pendapatan per kapita masyarakat Maluku Tenggara Barat mencapai Rp 126.544 per bulan (2003), sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan per kapita per bulan masyarakat Maluku pada tahun sama yang mencapai Rp 128.430.

Wilayah Maluku Tenggara Barat yang dikelilingi laut dalam dan ombak yang besar membuat kapal pengangkut barang, terutama yang berasal dari Surabaya dengan membawa aneka kebutuhan pokok masyarakat, tidak dapat setiap saat berlayar di sekitar perairan Maluku Tenggara Barat. Saat musim ombak, sebuah pulau dapat terisolasi dari dunia luar selama berbulan-bulan. "Dari seluruh wilayah laut Maluku, yang paling ganas berada di Maluku Tenggara Barat," tandas Oratmangun.

Untuk mempermudah biaya transportasi masyarakat, menurut dia, pihaknya telah meminta bantuan Departemen Perhubungan agar memberikan bantuan kapal perintis. Saat ini kapal perintis di Maluku yang dua buah itu berpangkalan di Ambon untuk menghubungkan seluruh daerah tertinggal di Maluku. Dengan kapal perintis yang ada, satu pulau terpencil hanya dilayari kapal perintis beberapa bulan sekali.

Hal senada diungkapkan Penjabat Bupati Seram Bagian Timur Abdul Gani Wokanubun. Menurut dia, kabupaten yang dipimpinnya merupakan kabupaten yang kondisi ketertinggalan dan kemiskinannya paling parah dibandingkan dengan kabupaten dan kota lain di Maluku. Kondisi tersebut disebabkan tidak adanya jaringan transportasi dan komunikasi di daerah yang baru dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah 2003.

"Sudah 60 tahun Republik ini merdeka, hubungan antardesa di Seram Bagian Timur tidak ada sehingga memengaruhi komunikasi, transportasi, dan alih teknologi antara tempat yang satu dan tempat lainnya," kata Wokanubun.

Copyright © 2002 Harian KOMPAS
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/hoelaliejoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044