Media Indonesia, Minggu, 31 Juli 2005 17:13 WIB
Pemerintah Diminta Tangani Isu Merdeka Papua
JAKARTA--MIOL: Pemerintah diminta mulai serius menangani segala persoalan di
Papua. Ini perlu dilakukan setelah munculnya campur tangan asing yang 'bermain',
seperti dukungan parlemen Amerika Serikat (AS) bagi kebebasan (kemerdekaan)
Papua.
"Meski masalah Papua belum menjadi isu besar, namun bukan berarti pemerintah
tidak peduli apalagi sudah ada dukungan asing terhadap kebebasan bagi Papua,"
kata anggota Komisi I DPR Marzuki Darusman di Jakarta, Minggu (31/7).
Menurut Marzuki, pemerintah harus mulai menata kebijakannya di Papua agar
senantiasa tepat, hingga Papua dapat diselesaikan dalam kerangka Negara Kesatua
Republik Indonesia (NKRI). Hal penting yang harus segera ditangani serius
pemerintah, menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat Papua.
"Bagaimana pun posisi RI sangat rentan jika dikaitkan dengan masalah rasa
ketidakadilan masyarakat Papua," kata aktivis Partai Golkar ini.
Terkait dengan itu, pemerintah harus segera memperdalam kebijakan otonomi
terhadap Papua. Ini juga harus didukung oleh komponen bangsa lainnya termasuk
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Hal senada diungkapkan anggota Komisi I DPR Djoko Susilo. Menurut dia, saatnya
seluruh komponen bangsa bersatu dalam menangani Papua termasuk LSM.
Selain itu, pemerintah juga harus lebih dapat meyakinkan dunia internasional
terutama PBB dan AS bahwa masalah Papua adalah masalah internal Indonesia.
"Pemerintah RI harus dapat menyakinkan PBB dan AS mengenai sikap dan posisi
Indonesia mengenai Papua. AS dan negara lainnya, juga harus menghormati sikap
dan posisi Indonesia itu terhadap Papua," kata mantan Jaksa Agung itu.
Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono dalam kesempatan terpisah
mengatakan, pemerintah tidak pernah menyepelekan permasalahan Papua.
Persoalan dan konflik vertical di Papua, Aceh dan Poso, kata dia, persoalan yang kini
menjadi fokus pemerintah dalam menegakkan NKRI.
Juwono mengakui, untuk menyelesaikan konflik di tiga wilayah itu memang perlu ada
rasa keadilan dibenak masyarakat di masing-masing daerah itu, hingga konflik
horizontal dan vertical dapat diredam.
Seperti diketahui, pada 9 Juni lalu Komite Relasi Internasional dari House
Representatives, AS, menggolkan sebuah Rancangan Undang-Undang yang berisikan
dukungan pada kebebasan Papua. RUU itu disebut H.R. 2601, the State Department
Authorization Act for FY2006 yang diprakarsai dua anggota Kongres AS, yaitu Donald
M Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomavaega (asal Samoa
Amerika).
Kedua orang ini bekerja keras membuat berbagai pihak memberi perhatian kepada
warga Papua. Menurut RUU itu, Papua yang didominasi etnis Melanesia adalah eks
koloni Belanda.
Meski RI menegaskan Papua merupakan bagian teritori sejak merdeka pada 1945,
Papua tetap berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda hingga 1962. Pada 15
Agustus 1962, Indonesia dan Belanda menandatangani kesepakatan di kantor PBB
New York (New York Agreement).
Kesepakatan itu menjadi dasar penyerahan kekuasaan atas Papua ke United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA), dan lalu pada tahun 1963 diserahkan ke RI
sembari menunggu plebisit.
Lalu plebisit diadakan untuk membuat warga Papua memilih untuk tidak atau tetap
dalam wilayah RI. Dan pada 1969, plebisit dilakukan dengan melibatkan 1.025 orang
yang menyatakan tetap bergabung dengan RI, namun disebutkan plebisit diwarnai
manipulasi.
Juga ditambahkan warga Papua menderita akibat pelanggaran HAM, eksploitasi
kekayaan alamnya, dan lingkungan hidup memburuk.
Meski AS mendukung kesatuan teritori RI, penggunaan kekuatan telah berlebihan di
Papua, yang selanjutnya menimbulkan keinginan untuk merdeka.
DPR sudah menyetujui UU Otonomi Khusus untuk Papua pada Oktober 2001, yang
memungkinkan alokasi pendapatan dan kekuasaan pada pemerintahan lokal.
Namun hal itu tidak terealisasikan dan penderitaan warga Papua tetap berlanjut. RUU
itu masih harus dibahas untuk disetujui atau ditolak oleh Kongres AS dan Senat.
(Ant/OL-02)
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|