Media Indonesia, Sabtu, 03 September 2005
Penutupan Rumah Ibadah
Atas Nama Umat Mereka Beraksi
SAYUP-SAYUP suara nyanyian rohani Kristen masih terdengar dari sebuah rumah di
Kompleks Perumahan Permata Cimahi, Minggu (14/8) siang. Alunan nada-nada
pujian terdengar syahdu dinyanyikan dari rumah berukuran sedang itu.
Namun, tiba-tiba, suasana menjadi senyap. Sekelompok warga mendatangi rumah
tersebut sambil berteriak-teriak. Tembang-tembang pujian pun terhenti. Rupanya,
sekitar seratusan orang warga meminta penghuni rumah tersebut menghentikan
kegiatan rohani itu.
Suasana memang mencekam saat itu. Tapi, karena dialog antarkedua kelompok
dilakukan dengan kepala dingin, insiden pun bisa dihindari. Esoknya, penutupan
tempat peribadatan itu pun menjadi berita hangat di koran-koran dan isu mengenai
rumah-rumah yang dijadikan tempat peribadatan pun menjadi topik panas.
Pro-kontra atas penutupan rumah seperti itu juga bermunculan. Bahkan tidak sedikit
kelompok massa yang langsung bertindak, mencari rumah-rumah yang dijadikan
tempat ibadah.
Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), organisasi gabungan organisasi massa
Islam, misalnya, sudah sejak lama bertindak. Bersama masyarakat yang tinggal di
sekitar rumah-rumah yang dijadikan tempat peribadatan itu, mereka bergerak
melakukan penutupan.
"Kami hanya menutup rumah yang dijadikan tempat peribadatan. Karena tidak sesuai
peraturan, rumah-rumah itu kami anggap sebagai gereja liar," tutur Muhammad
Mu'min, koordinator AGAP, baru-baru ini.
Di Perumahan Permata Cimahi, saat itu, Mu'min dan kawan-kawan menutup dua
rumah ibadah yang dijadikan gereja liar. Namun, upaya ini dilanjutkan masyarakat
setempat, yang kemudian tidak mengizinkan beroperasinya lima rumah yang
dijadikan tempat peribadatan, di dalam kompleks perumahan ini.
Dari catatan Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Jabar, ke tujuh rumah itu
dijadikan tempat peribadatan jemaat dari Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI),
Anglikan, Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA), dua gereja Philadelphia, Pos Layanan
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Anugerah, dan Gereja Bethel Injil Sepenuh.
Tidak berhenti di Cimahi, penutupan rumah-rumah ibadah pun berlangsung sporadis di
beberapa tempat di Kabupaten Bandung dan Garut. Gereja Kristen Pasundan (GKP)
paling banyak ditutup.
Setelah di Cisewu, Garut, GKP Dayeuhkolot ditutup pada 21 Agustus, setelah GKP
Ketapang ditutup pada 27 Juli lalu. Dua gereja milik Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP) di Lembang dan Kompleks Perumahan Gading Tutuka di Soreang pun
mengalami hal serupa.
Dari catatan Ketua Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) Jabar Jon Simon
Timorason, sejak Agustus 2004, sudah 35 gereja yang dipaksa tutup. Jumlah ini
membengkak menjadi lebih dari 200 gereja, jika dihitung sejak 1996.
"Gereja yang ditutup itu sebenarnya sudah memiliki izin operasional dari Departemen
Agama. Jadi kami menolak jika tempat peribadatan itu dikatakan sebagai gereja liar,"
tutur Ketua Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) Jabar Jon Simon Timorason.
Harus dihentikan
Aksi perusakan oleh massa itu kontan membuat aparat dan pejabat pemerintah
ketar-ketir. Pasalnya, aksi mereka dikhawatirkan akan meluas menjadi tidak
terkendali. Dikhawatirkan aksi itu justru tidak akan menenteramkan warga, malah
justru akan meresahkan semua warga.
Wakil Gubernur Jabar Nu'man Abdulhakim mengaku pihaknya sudah mengirim surat
ke seluruh bupati, wali kota, dan camat untuk menjaga stabilitas keamanan
daerahnya. Mereka diminta melakukan dialog dengan kedua belah pihak, baik massa
yang ingin menutup rumah peribadatan maupun para pengurus gereja setempat.
Beberapa anggota DPR RI pun ikut turun tangan dan datang langsung ke Bandung
menemui Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jabar Irjen Edi Darnadi, 29 Agustus
lalu.
Kepada Kapolda, Apri S dan Piurlan Hutagaol, keduanya dari Fraksi Partai Damai
Sejahtera (PDS) juga Sekretaris Jenderal PDS Carol Kedang, meminta perlindungan
keamanan bagi warga kristiani dalam melakukan ibadah. "Semua pihak harus
mengutarakan kepentingannya dengan kepala dingin. Tidak perlu ada tindakan
anarkistis," tutur Kapolda.
Kapolda memastikan, pelaku perusakan dan tindakan anarkistis akan diproses
secara tegas sesuai hukum yang berlaku. "Seyogianya warga, termasuk ormas, tidak
bertindak sendiri-sendiri dalam menyikapi persoalan ini. Koordinasikan saja dengan
aparat pemerintah daerah setempat," kata Kapolda. (Sugeng Sumaryadi/Eriez M
Rizal/B-1).
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|