Radio Nederland Wereldomroep, September 2, 2005
Cornell Paper (1)
Penentang Pertama Peristiwa G30S Versi Soeharto
Hari Jum'at 30 September mendatang, tepat 40 tahun lalu terjadi peristiwa G30S yang
mengubah sejarah Indonesia. Profesor Benedict Anderson guru besar emeritus pada
Cornell University di Ithaca, Amerika Serikat adalah salah satu pengarang apa yang
disebut Cornell Paper atau Makalah Cornell, yaitu risalah pertama yang meragukan
versi Soeharto terhadap peristiwa yang dikenal sebagai G30S/PKI itu. Apa
sebenarnya Cornell Paper itu dan penemuan-penemuan lebih lanjut apa yang
didapatkan oleh Profesor Ben Anderson?
Baret merah
Ben Anderson [BA]: "Apa yang terjadi begini. Kebetulan pada waktu itu saya masih
mahasiswa di Cornell terus ada dua teman lagi. Satu cowok namanya Fred Bunnell
masih mahasiswa dan mbak Ruth McVey yang sudah lulus dan senior kita. Kami
mengikuti apa yang terjadi di Indonesia dengan sangat cermat karena bingung. Kok
ini bisa terjadi? Apa asal usulnya? Dan kebetulan pada waktu itu Cornell satu-satunya
tempat di Amerika di mana hampir semua koran, majalah masuk dengan cukup
cepat. Majalah dalam bahasa Indonesia, majalah dalam bahasa Jawa. Jadi kita dapat
koran dari Medan, dari Balikpapan dari Solo dari Bali, dari Surabaya dan sebagainya.
Ini luar biasa. Jadi kami bisa mengikuti apa yang terjadi pada bulan
Oktober-November-Desember 1965, bukan bergantungan pada sumber-sumber di
Jakarta yang dikuasai sepenuhnya oleh Soeharto. Tapi di lain-lain daerah."
"Dan dari situ kami melihat bahwa apa yang dikatakan oleh Jakarta, sama sekali
tidak masuk akal. Karena mengikuti apa yang terjadi di Solo, Yogya dan sebagainya,
kita lihat bahwa pembunuhan massal mulai di Solo, Jawa Tengah, persis pada hari itu
baret merah masuk. Sebelumnya tidak ada. Terus satu bulan lagi kira-kira tanggal 17
November 1965 itu sudah mulai di Surabaya persis pada waktu RPKAD masuk. Dan
sebaliknya, baru di pertengahan Desember 1965, dus hampir tiga bulan setelah
G30S, pembunuhan mulai di Bali. Sekali lagi, ketika baret merah masuk."
Versi Soeharto tak masuk akal
"Jadi itu jelas sekali bahwa pembunuhan ini bukan sesuatu yang spontan, yang
timbul karena kemarahan rakyat dan sebagainya. Tapi timbul dalam situasi di mana
tentara masuk dan memberi sokongan kepada golongan-golongan yang anti PKI.
Malah di beberapa kasus yang saya tahu betul pada waktu itu, mereka masuk di
salah satu desa. Terus bilang pada salah satu orang di situ, mana itu orang komunis
di sini. Orang dalam desa ingin menjaga mereka punya keluarga dan sanak saudara,
bisanya bilang, ya tidak ada. Tapi tentara bilang ini daftarnya, mana orangnya? Lalu
orangnya didorong ke depan. Terus tentara itu bilang sama salah satu orang di
sekitarnya, kamu anti komunis atau tidak? Ya, saya anti komunis. Baik, untuk
membuktikan, silahkan membunuh empat orang ini. Jadi orang seperti ini, tani biasa,
antara dibunuh oleh tentara, atau membunuh temennya sendiri atau keluarga sendiri,
ya akhirnya harus cari selamat."
"Nah, cara yang begini yang sangat sadis, itu kami sudah tahu pada waktu itu. Jadi,
timbul usaha untuk coba membongkar rahasia apa sebenarnya yang terjadi pada
waktu itu. Kami mencek beberapa hipotesa. Seandainya ini Bung Karno di
belakangnya, PKI di belakangnya, tentara di belakangnya. Dan walaupun kita tidak
dapat suatu kepastian yang jelas, tapi berdasar informasi yang ada pada waktu itu,
versinya Soeharto jelas tidak masuk akal."
Proyek penting tak terlaksana
"Kami dapet kesimpulan bahwa ini mulainya dengan perselisihan di dalam tentara
sendiri. Itu selesai kira-kira tanggal 3 Januari atau 4 Januari 1966. Kami kerja siang
malam. Bertiga. Setelah selesai, kami merasa bahwa ini suatu dokumen yang
berbahaya. Bukan untuk kita sendiri. Tapi kalau tentara di Jakarta tahu bahwa
dokumen ini ada, mungkin orang-orang yang pernah ke Cornell, orang-orang yang
pernah menjadi teman kita, walaupun mereka sama sekali tidak ada hubungan
dengan apa yang kita tulis, toh bisa dikorbankan."
"Tapi di lain pihak kami ingin supaya orang-orang yang kami percaya, orang-orang
seperti Pak Wertheim, Pak Dan Lev, bisa melihat hasil riset kami. Kami menulis pada
mereka, bilang, ini kalian bisa pakai fakta-fakta yang kami sudah dapatkan, kalau
kalian ingin menulis, terserah. Tapi jangan sebut dokumen ini. Pada waktu itu kami
amatiran. Ternyata itu akhirnya bocor dan tentunya bukan golongan Ali Moertopo cs
yang marah, tapi banyak orang Amerika di pemerintah Amerika juga marah. Karena
ini seolah-olah cerita bahwa tentara berhak untuk membunuh banyak orang. Karena
memang PKI yang mau bikin kup sebelumnya, mungkin tidak benar. Dan legitimasi
pemerintah Soeharto yang sudah jelas menuju ke diktatoran harus direstui. Dan
memang itu maksudnya pemerintah Amerika pada waktu itu."
"Yang tidak lama setelah itu saya diusir dari Indonesia. Dan dalam satu hal
sebenarnya saya merasa salah sendiri. Artinya, karena itu saya sudah merasa tidak
ada harapan untuk meneruskan riset itu tadi karena gak ada akses ke Indonesia. Dan
pada waktu itu belum ada orang lain yang bersedia untuk meneruskannya. So ini
proyek tentang saat yang sangat penting di Indonesia, tidak sampai terlaksana. Itu
ceritanya."
Kampanye Machiavellis
Radio Nederland [RN]: "Tapi menurut Profesor Anderson bahan untuk melanjutkan
studi Cornell Paper itu masih banyak dan ada dan bisa dilakukan ya?"
BA: "Ya. Bahan yang utama adalah segala macem dokumen-dokumen dari Mahmilub
yang ada. Entah berapa, mungkin 20 jilid. Yang walaupun banyak sekali informasi
lainnya, jelas itu hasil dari siksaan, toh juga cukup banyak yang menarik. Apalagi
kalau dibandingkan satu sama yang lain. Nah ini memerlukan pekerjaan yang lama
dan berat. Untuk memeriksa ini semua, membandingkannya satu sama yang lain.
Mencari kunci-kunci yang ada. Itu sampai sekarang belum dilakukan."
"Tetapi betapa pentingnya sumber ini bisa dijelaskan oleh suatu insiden yang terjadi
waktu saya kebetulan periksa ratusan halaman dari salah satu Mahmilub. Dan di
sana saya ketemu satu dokumen yang sangat penting. Yaitu visum et repertum
tentang meninggalnya Ahmad Yani dan teman-temannya yang dituduh sebagai dewan
jenderal."
"Pemeriksaan terhadap tubuh-tubuh jenderal-jenderal ini sangat teliti. Dikerjakan oleh
dokter-dokter militer dan dokter-dokter sipil di Universitas Indonesia. Diselesaikan
tanggal 3 Oktober 1965. Dan laporannya ditujukan kepada Soeharto sebagai
Pangkostrad pada waktu itu. Dari laporan ini jelas sekali bahwa cerita yang
dikeluarkan oleh Soeharto cs pada tanggal 5-6 Oktober 1965, di koran dan di massa
media bahwa orang-orang ini disiksa oleh PKI. Kemaluan mereka dipotong-potong
oleh Gerwani yang gila seks dan gila drugs. Bahwa ada segala macam horor,
dicungkil matanya dan sebagainya. Itu sama sekali tidak bener."
"Itu sangat sengaja. Jadi laporan tentang apa yang sebenarnya terjadi sudah ada di
tangan Soeharto tiga hari sebelum kampanye horor anti PKI mulai. Jadi itu sangat
sinis, sangat dingin. Anehnya, laporan ini menjadi lampiran entah keberapa pada
akhir dari jilid Mahmilub ini itu. Dan jelas masuk dengan tidak sengaja oleh seorang
tentara kecil-kecilan yang dengan lugunya mungkin merasa bahwa ini dokumen yang
tidak penting."
"Padahal itu satu dokumen yang sangat penting dan sangat menghancurkan konsep
bahwa Moertopo, Soeharto dan sebagainya itu bertindak atas dasar keyakinan. Tidak.
Justru sebaliknya, itu suatu kampanye yang sangat Machiavellis, yang dilaksanakan
dengan penuh kesadaran."
Informasi selalu ada
"Jadi ini suatu contoh bagaimana kalau orang rajin mencari informasi itu bisa ketemu.
Jadi orang-orang tua, baik dari pihak yang menang, maupun dari pihak yang kalah,
juga bisa diusahakan. Orang-orang yang mengunjungi tapol-tapol dalam penjara pada
waktu itu mungkin mereka bikin catatan dan sebagainya, itu belum ditelusuri."
"Saya masih ingat, sangat kebetulan pada waktu, mungkin tahun 1972, saya
membeli suatu bungkusan, apa saya nggak tahu di jalan Surabaya di Jakarta. Itu
memang daerah loak. Dan saya heran karena bungkusan itu, ternyata itu
dokumen-dokumen intel Jawa Timur, yang setelah itu saya terjemahkan dan memang
sudah diterbitkan di majalah Indonesia. Ini semacam mata-mata dari Jakarta yang
putar-putar di Jawa Timur, untuk lapor tentang apa yang terjadi di Jawa Timur pada
waktu itu."
"Dia cerita tentang perselisihan antara perwira-perwira tinggi di situ. Dia melihat
bahwa pembersihan yang jalan sangat baik di Jombang, kok ada masalah
umpamanya di Jember dan sebagainya. Banyak orang dibunuh di situ, tapi kok
sayang di daerah Bojonegoro tidak ada, dan kemungkinan sebab-sebabnya begini
begini. Kan bagaimanapun pemerintah itu suatu birokrasi yang selalu tulis menulis,
selalu ada laporan, selalu ada ini ini."
"Dan saya yakin ada gudang yang penuh dengan segala macam dokumen, yang
orang sekarang, malah tidak tahu ada apa di situ. Memang pada waktu reformasi lagi
bergejolak, salah satu harapan tersembunyi dalam hati saya adalah bahwa anak-anak
muda yang pergi rame-rame akan membongkar gudang-gudang ini dari tangan tentara
dan tangan pemerintah. Seperti yang terjadi pada tahun 1965, di mana Deplu
dibongkar, waktu itu banyak dokumen-dokumen dari zamannya Soebandrio, kan
masuk gelanggang umum."
Demikian bagian pertama wawancara Profesor Benedict Anderson dari Cornell
University.
© Hak cipta 2004 Radio Nederland Wereldomroep
|