Radio Vox Populi [Ambon], 11-Aug-2005
Christina Martha Tiahahu Menggugat di Gedung Kesenian
Jakarta
11-Aug-2005, Fitra Iskandar - Jakarta
Jakarta, Vox Populi (Kamis, 11 Agustus 2005)
Suasana panggung Gedung Kesenian Jakarta nampak hening. Tak ada cahaya yang
menerangi. Betul-betul gelap gulita. Lima belas menit kemudian, secercah cahaya
kecil yang dipancarkan lilin, mencoba memberi nada kehidupan. Cahaya itu makin
lama kian membesar menerangi sebagian besar areal sekitarnya. Bersamaan dengan
itu, lima perempuan muda melangkah kecil berkerumun di tengah. Lalu masih dengan
gerakan perlahan, kedua tangan mereka ayunkan secara bergantian mengarah ke
langit-langit ruangan, sembari menengadahkan wajah. Gerakan-gerakan yang dibuat
sangat halus mengiringi elegi yang menghambur di tengah kesunyian.
Gerakan kelima penari wanita yang masing-masing memegang obor ini, kemudian
bergerak sendiri-sendiri. Diiringi tabuhan totobuang dan tifa yang menghentak
bergantian, mereka menari mengikuti dengan gerakan yang tidak sama satu dengan
lainnya.
"Etea andia tamata upina upiama? (=dimana serta kemana ibu dan bapak?)," sebait
syair dari seorang perempuan lainnya mengalun tegas. Suaranya berayun-ayun
dengan tempo pelan, menyisir jengkal-jengkal nada yang meninggi di hampir setiap
penggalan kata. Akhir baitnya lebih menunjukkan sebuah ratapan. Sosok perempuan
itu menggambarkan Christina Martha Tiahahu.
Martha, perempuan muda berumur sekitar 17 tahun ini adalah anak Raja Desa Abubu,
Paulus Tiahahu. Dia meratapi kepergian sang ayah yang mati di hadapan regu
tembak pasukan Belanda. Sang ayah yang selama ini menjadi spirit melawan
penjajah Belanda, harus menghadap sang pencipta. Masyarakat kehilangan
pemimpin, padahal perjuangan belum selesai.
Di tengah situasi yang tidak menentu itu, masyarakat yang mencoba melawan
penjahah bergerak sendiri sendiri. Tanpa arah dan sporadik. Perlawananpun menjadi
sia-sia, karena sangat mudah dipatahkan. Di saat itulah sosok Christina Martha
Tiahahu muncul untuk menggugat keadaan yang ada.
Meski awalnya sempat meratap, Christina tidak larut dalam kesedihan. Dia
menggugat ketidak ketidakberdayaan masyarakatnya. Dia menggugat tidak
bersatunya warga. Dan terutama, dia menggugat patahnya semangat masyarakat
untuk melawan penjajah. Dia lalu hadir menjadi penerang semangat untuk keluar dari
ketertindasan. Sebuah kesadaran yang diperjuangkan oleh sosok perempuan muda
yang berjiwa heroik, untuk meneruskan perjuangan. Hanya satu yang dicita-citakan,
membakar semangat masyarakat untuk kembali mengusir penjajah.
Kehadiran sosok Christina, lantas mengubah gerakan lima penari lainnya. Secara
bersama mereka membentuk posisi lingkaran, kemudian bergerak serempak dan
begitu padu mengimbangi bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh sembilan personil
lainnya, yang memainkan tifa, totobuang, rebana, suling bambu dan toleng-toleng
(kentongan).
Para penari itu lantas meraih tombak yang sedari tadi dipancangkan di kiri kanan
panggung. Dengan gerakan tegas mereka bergerak sambil menusukkan tombak ke
arah samping. Kemudian tombak ditikam ke arah tanah lalu ditusukkan ke atas.
Tusukkan tumbak ke samping, adalah sebagai simbolisasi menggugat masyarakat
yang kebingungan kehilangan sosok pimpinan dan menyebabkan mereka tercerai
berai. Sedangkan tusukan ke bawah sebagai simbolisasi gugatan terhadap penguasa
(penjajah Belanda) yang merampas tanah mereka. Selanjutnya, tusukan ke atas
sebagai gugatan kepada Sang Pencipta atas nasib yang menimpa mereka.
Di akhir semua gerakan, para perempuan muda kabaresi (patriotik) itu jatuh terkulai.
Lampu kembali padam. Hanya seberkas cahaya lilin, yang tinggal sebagai penerang.
Di tengah, Christina berdiri mematung. Perjuangan Martha memang berhenti ketika
pasukan Belanda menangkapnya. Namun spirit perjuangannya tetap hidup. Seperti
secercah lilin yang tetap menerangi panggung Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (9/8)
malam itu.
KABARESI
Malam itu, sosok Christina Martha Tiahahu coba kembali dimunculkan dalam karya
seni tari yang dimainkan oleh seniman asal Sanggar Tari Siwa Lima, berjudul
Kabaresi. Mereka mewakili Provinsi Maluku dalam Festival Karya Tari Indonesia, yang
diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian Departemen Kebudayaaan dan Pariwisata.
Festival Tari yang diselenggarakan selama tiga hari, sejak Senin (8/8) ini, diikuti 30
peserta yang mewakili provinsi dari seluruh Indonesia. Festival pertama kali digelar di
Banjarmasin, Kalimantan Selatan (2002). Kemudian berturut-turut di Padang Panjang,
Sumatera Barat (2003) dan Banda Aceh, Nangroe Aceh Darussalam (2004). Namun
tahun ini Maluku Utara, Kalimantan Barat, Irian Jaya Barat tidak mengirimkan
wakilnya.
Setiap peserta yang hadir menampilkan tema seragam yaitu "Kepahlawanan", karena
memang panitia festival tahun ini memilih menghubungkan festival dengan peringatan
60 tahun Indonesia merdeka. Oleh karena itu, setiap peserta dalam menyuguhkan
tarian garapan barunya, selalu dibarengi dengan pengusungan nilai-nilai patriotisme
dengan wajah tarian tradisi yang begitu kental.
Wakil dari Maluku, yang menampilkan delapan pemusik dan enam penari, malam itu
menghadirkan tema Kabaresi, sebuah nilai masyarakat Maluku mengenai sikap tegas
dan patriotis. Sebuah nilai filosofis yang tertanam dalam khasanah kebudayaan
Maluku, yang diwariskan oleh para pejuang dalam memperebutkan kemerdekaan.
Termasuk Christina Martha Tiahahu yang malam itu menjadi sosok sentral tarian.
Martha diakui sebagai perempuan muda, yang berani muncul di tengah lemahnya
perlawanan dan ketidakberdayaan masyarakat Maluku, dalam menggalang kekuatan
mengusir penjajah. Dia adalah seorang wanita yang memiliki karisma dan keberanian,
yang mampu menyatukan perlawanan masyarakat Maluku untuk merebut kembali
tanah yang dikuasai oleh Belanda.
Menurut S.A. Toisita selaku penata artisitik Kabaresi ini, sosok Christina Martha
Tiahahu sengaja ditampilkan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa
Kabaresi yang biasa disandang kaum laki laki, sebenarnya juga merupakan sikap
yang dapat dimiliki wanita. Meskipun kodratnya seorang wanita adalah mahluk yang
penuh kelembutan, namun nilai-nilai yang diwariskan Martha merupakan bukti bahwa
kaum perempuan pun bisa tampil dan memegang peranan penting dalam masyarakat.
Yang menarik dari aransemen musik karya tari Kabaresi garapan Maynart Alfons
dengan penata tari Doris Matoseja dan Butje Sahertian ini, adalah dimasukkannya
sentuhan penthatonik --yang lajim terdapat pada pakem gending Jawa-- menjadi
bagian irama dalam permainan toleng-toleng pada beberapa penggal adegan. Maynart
mengaku masuknya pakem Jawa (sebagai simbolisasi Nusantara atau Indonesia)
tersebut menjadi pesan, bahwa ada nasionalisme dalam sosok Christina Martha
Tiahahu. "Christina Martha Tiahahu adalah pahlawan nasional, bukan hanya pahlawan
masyarakat Maluku. Sehingga semangat keindonesiaan perlu untuk juga
disampaikan dalam karya Kabaresi ini," ujar Maynart, yang adalah sarjana jebolan
seni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Patriotisme memang merupakan nilai-nilai positif yang diwariskan para pejuang
kemerdekaan yang sifatnya nasional. Patriotisme, sebagai suatu sikap rela
berkorban, selalu bersifat kontekstual dan menjadi kebutuhan sebuah masyarakat di
saat apatisme dan individualistis menjadi bagian yang menggerogoti bangsa ini ."Etea
andia, tamata, upina, upiama (dimana, kemana, ibu, bapak)" elegi ini terdengar
kembali di ujung pentas Kabaresi. Sebuah pertanyaan dari sosok Christina Martha
Tiahahu. Seakan menjadi sebuah gugatan bagi masyarakat Maluku, terhadap apa
yang sempat melanda bumi rempah-rempah tersebut beberapa tahun kemarin.(VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|