Radio Vox Populi [Ambon], 13-Sep-2005
Penyelesaian Pengungsi Maluku Diundur Akhir 2005
13-Sep-2005, Azis Tunny-Ambon
AMBON- Radio Vox Populi ( Senin, 13 September 2005)
Meskipun penanganan pengungsi di Maluku sudah dilakukan sejak tahun 2001 lalu,
namun masalah kemanusiaan yang muncul akibat kerusuhan antar warga ini belum
juga tuntas. Padahal, sebelumnya pemerintah provinsi Maluku sudah menetapkan 15
September 2005 sebagai batas waktu penyelesaian masalah ini. Kenyataanya masih
ada 15.788 kepala keluarga yang hidup tersebar di beberapa lokasi pengungsian,
belum dipulangkan ke tempat asal atau direlokasi.
Janji baru kemudian dibuat pemerintah lagi yakni akhir tahun 2005 masalah
pengungsi harus selesai. Kepastian pengunduran batas waktu ini disampaikan Kepala
Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku, selaku pihak yang selama ini berkutat
dengan masalah penyelesaian pengungsi korban kerusuhan.
Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku Chris Hehanussa menyatakan,
rencana penyelesaian masalah pengungsi pada 15 September 2005, berkaitan
dengan komitmen pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Hanya saja, kata dia,
hal ini tidak terealisasi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni data jumlah
pengungsi yang selalu berubah dan anggaran yang tersedia tidak mencukupi.
"Jadi mudah-mudahan pada akhir tahun 2005 ini, masalah pengungsi sudah bisa
diselesaikan," kata Hehanussa kepada Radio Vox Populi di ruang kerjanya, Selasa
(13/9).
Dia mengatakan, pemerintah pusat sendiri sudah menyatakan sikap bahwa
daerah-daerah yang masih memiliki pengungsi harus bisa diselesaikan pada akhir
tahun 2005 nanti. Hal ini ini berlaku untuk 12 provinsi di Indonesia, salah satunya
adalah Maluku.
Menyangkut batas waktu penanganan pengungsi sebenarnya sudah berulangkali
ditetapkan pemerintah baik saat pemerintahan dipegang Mantan Irjen Departemen
Dalam Negeri, Sinyo Harry Sarundajang, sekarang menjabat gubernur Sulawesi
Utara, hingga gubernur Karel Albert Ralahalu.
Sarundajang saat masih menjabat sebagai penjabat gubernur Maluku, menetapkan
penanganan pengungsi berakhir pada Desember 2002. Namun, optimisme itu tak
terwujud dan diundur hingga akhir tahun 2003. Saat Ralahalu menjabat sebagai
gubernur, batas waktu itu ternyata belum bisa menyelesaikan masalah sosial ini
hingga akhirnya diundur lagi sampai April 2004.
Itu juga masih berlanjut hingga ditetapkan akhir tahun 2004 sebagai batas akhir
penyelesaian pengungsi. Apa hasilnya? Belum juga selesai. Lagi-lagi pemerintah
berjanji akan menyelesaikannya pada 15 September 2005. Janji pun tidak dapat
dipenuhi dan akhirnya akhir tahun 2005 ditetapkan lagi sebagai batas akhir
penanganannya.
Hehanussa menyebutkan, jumlah pengungsi yang masih tersisa saat ini sebanyak
15.788 kepala keluarga dan tersebar di seluruh daerah kabupaten dan kota di Maluku.
Untuk pemulangan atau relokasi para pengungsi, pihaknya dalam tahun ini mendapat
kucuran dana dekosentrasi Rp.170 miliar yang bersumber dari dana cadangan umum
di departemen sosial.
Pada bulan Agustus lalu, Rp.61 miliar sudah dikucurkan ke Pemerintah Provinsi
Maluku, sisanya Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah rencananya akan sendiri
mengantakan bantuan dana penanggulangan bencana alam dan bencana sosial
tersebut ke Ambon pada tanggal 19 September nanti.
Meskipun dana untuk pengungsi akan dikucurkan dalam waktu dekat ini, Hehanussa
masih pesimis dengan jumlah bantuan tersebut karena menurutnya, kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) sekarang ini turut mempengaruhi harga material pabrik
untuk penyediaan bahan bangun rumah (BBR) pengungsi. Akibatnya, masih ada
kekurangan Rp.15 miliar lagi untuk itu.
"Harga pasar lokal naik dan ini mempengaruhi biaya untuk penanganan masalah
pengungsi dalam membangun rumah-rumah mereka," ujar Hehanussa.
Dia mengatakan, jika anggaran yang dikucurkan belum bisa menyelesaikan masalah,
maka pihaknya akan mencoba mencari solusi lain pada tahun 2006 nanti dengan
memanfaatkan dana-dana lintas sektor di departemen seperti Departemen Kimpraswil
dengan proyek-proyek perumahan rakyatnya atau perbaikan daerah kumuh. "Ini bisa
kita gunakan kalau masalah pengungsi pada akhir tahun 2005 belum juga selesai.
Karena dana penanggulangan bencana alam dan bencana sosial akan berakhir akhir
tahun ini," ujarnya.
Wakil Ketua DPRD Maluku Jhon Mailoa kepada Radio Vox Populi menyatakan,
mundurnya waktu penanganan pengungsi lebih disebabkan pemerintah Provinsi
Maluku tidak memiliki data pengungsi yang valid, karena sering berubah-ubah. Hal
lainnya, kata dia, dukungan dana dari pemerintah pusat juga dinilainya belum
maksimal atau sebanding dengan jumlah pengungsi yang ada.
"Kebetulan kami di DPRD juga memiliki panitia khusus (Pansus) pengungsi, dan
temuan kami di lapangan memang ternyata jumlah data yang dimiliki pemerintah
tidak sesuai dengan data di lapangan," kata Mailoa tanpa merinci jumlahnya.
Selain itu, kata dia, pelimpahan kewenangan dari pemerintah provinsi ke pemerintah
kabupaten/kota untuk menangani pengungsi pada tahun ini, jangan serta-merta
menjadi beban untuk pemerintah kabupaten/kota. Karena sebelumnya, semua urusan
pengungsi menjadi kewenangan penuh pemerintah provinsi sedangkan pemerintah
kabupaten/kota hanya bertugas memasukan data. "Ini harus menjadi tanggungjawab
bersama dan sudah menjadi kewajiban pemerintah provinsi dan pusat untuk
memberikan dukungan seperti dukungan finansial," katanya.
Memang untuk validasi data, dinas sosial sendiri tidak memiliki data yang pasti. Saat
ditanya kenapa masalah pengungsi Maluku sulit ditangani, Hehanusa hanya
mengatakan bahwa itu sudah komitmen pihaknya dengan pemerintah pusat untuk
mengucurkan dana buat 15.788 KK. Karena kalau akan dilakukan pendataan lagi
maka jumlah ini pasti akan melonjak. "Data itu merupakan komitmen kami dengan
pemerintah pusat karena data resmi menyangkut berapa banyak pengungsi tidak
satupun yang tahu. Hanya tuhan saja yang tahu. Kami tidak akan melakukan
pendataan lagi karena jika tidak masalah ini tidak akan beres-beres," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Indonesia M. Jusuf Kalla sewaktu masih menjabat
sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada pemerintahan Megawati,
dalam satu kesempatan kunjungannya ke Ambon 30 Desember 2003 mengaku
bingung dengan jumlah pengungsi Maluku yang tidak pernah habis-habisnya. Padahal
pemerintah pusat sudah mengucurkan dana ratusan miliaran untuk persoalan
pengungsi di Maluku. Jumlah pengungsi terus berubah, mulai dari 21.000 KK naik
menjadi 25.000 KK, dan terus naik menjadi 30.000 KK. Data ini mengalami
perubahan-perubahan sekitar tahun 2002-2003.
Selain jumlah pengungsi, semasa dirinya masih menjabati sebagai Menko Kesra
yang membawahi persoalan sosial dan kemanusiaan, selalu menerima laporan
Pemerintah Provinsi Maluku tentang data kerusakan rumah yang sering berubah.
Awalnya dilaporkan rumah yang terbakar 20.000 rumah, tapi berubah menjadi 28.000
dan terus bertambah menjadi 30.000.
Selain itu, untuk pembangunan rumah pengungsi pemerintah Provinsi Maluku
melaporkan harga bahan bangun rumah tidak sesuai dengan harga yang berlaku di
pasar. Misalnya, untuk satu zak semen dalam laporan tercantum harga Rp.48 ribu
sampai Rp50 ribu. Padahal harga untuk satu semen saat itu di Kota Ambon hanya
Rp.30 ribu. Bukan saja semen, semua harga-harga mengalami kemahalan.
Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku, pada akhir tahun
2003, pengungsi yang masih tersisa sebanyak 36.878 KK atau 188.109 jiwa.
Menjelang tutup tahun 2003, Pemerintah Pusat mengucurkan Rp.30 miliar dana yang
bersumber dari Anggaran Belanja Tambahan (ABT). Padahal sebelumnya dalam
tahun yang sama, Rp176 miliar dari APBN cair untuk pengungsi Maluku. Tahun 2004,
dana Rp86 miliar dari APBN juga dicairkan.
Lagi-lagi masalah ini belum menampakan hasil. Dari seleluruan dana yang pernah
dikucurkan pemerintah pusat terkhususnya Departemen Sosial ke Maluku sudah
lebih dari Rp.500 miliar untuk pengungsi. Menurut pengakuan Hehanusa, dana
pengungsi yang disalurkan melalui pihaknya lebih dari Rp.500 miliar, itupun belum
termasuk dengan dana bantuan luar negeri lewat NGO asing maupun NGO lokal serta
pemerintah daerah setempat. (VP)
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|