The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Radio Vox Populi


Radio Vox Populi [Ambon], 19-Mei-2005

Cegah Konflik Lewat Musik, Catatan Tertinggal dari Ekshebisi Musik Etnik di Ambon

19-Mei-2005, Fitra Iskandar - Vox Populi

JUMAT sore (13/5), di puncak kawasan Karang Panjang Ambon nampak ramai oleh kerumunan orang di pinggir jalan. Beberapa dari mereka yang berpapasan, terlihat saling bersalaman. Ada juga yang kemudian berangkulan. Kehangatan yang akrab, begitu terasa di sepanjang jalan depan kompleks Taman Budaya Provinsi Maluku itu.

Sementara di dalam kompleks bangunan yang sempat digunakan sebagai pos keamanan, selama beberapa tahun konflik Maluku ini, terlihat sekumpulan orang menenteng berbagai alat musik etnik. Mereka adalah anggota grup musik yang akan naik pentas. Ada yang mencoba membunyikan alat musiknya. Ada yang hanya berdiri bergerombol dekat pintu teater terbuka. Saat berpapasan dengan rekan dari grup lain, mereka tak lupa menyapa, bersalaman atau berangkulan.

Sore itu sebuah perhelatan seni bertajuk "Ekshebisi Musik Etnik Maluku 2005" akan digelar. Tidak hanya bagi warga masyarakat yang datang sebagai pentonton, para seniman yang hadir ikut menjadikan ajang seni itu sebagai momen reuni. Ini mengingat diantara mereka ada yang baru saling bertemu kembali setelah beberapa tahun tak berjumpa. Malah ada yang baru menginjakkan kakinya lagi ke kawasan Karang Panjang, setelah empat tahun konflik melanda Maluku.

Acara yang diselenggarakan atas kerjasama Grup Baku Bae Peace Movement dengan Taman Budaya Provinsi Maluku tersebut, cukup mendapat apresiasi tinggi warga Kota Ambon. Karena itu, tidak heran, jika dalam gedung teater tertutup yang hanya berkapasitas 500 pengunjung itu, sudah dipadati penonton. Sebagian besar audience yang datang, didominasi oleh siswa SMU yang hadir dengan seragam abu-abunya. Mereka mewakili 17 SMU yang ada di Ambon, dengan jumlah antara 20 sampai 25 orang untuk tiap sekolah. Sementara sebanyak 100 pemusik etnik dari delapan grup musik Sawat dan Totobuang, sudah siap-siap di belakangan panggung untuk tampil.

Sejenak menengok ke atas panggung, terlihat sebuah spanduk berukuran 10 meter membentang dengan huruf-huruf besar menyolok "Baku Bae Peace Movement - Eksebisi Musik Etnik 2005". Melihat tampilan panggung, terkesan pihak penyelenggara sengaja membangun setting dekorasi pada stage utama pertunjukan, dengan menghadirkan nuansa alamiah yang kental. Lihat saja pada back drop screen yang keseluruhannya berwarna hitam, sengaja menimbulkan kesan kontras dengan penonjolan beberapa rumpun bambu kering yang ditempel di situ. Begitu pula dengan stage manager, yang dihiasi sejumlah tanaman hidup pada bagian depan dan atas stage.

Koordinator Baku Bae Peace Movement Jacky Manuputty menjelaskan, pilihan set dekor dengan nuansa natural terkait dengan karakteristik musik etnis yang merupakan jenis musik natural. "Sekalipun diangkat ke dalam ruang sebagai seni pertunjukan, namun sedapat mungkin kami membangun set dekor untuk mengekspresikan situasi natural, dimana jenis musik ini lahir dan berkembang." paparnya.

Selain itu, menurut laki-laki yang ramah dan murah senyum ini, pihaknya ingin menghadirkan suasana batin yang dekat dengan alam. "Ini sebagai rangkaian utuh dari kosmologi orang Maluku, dengan musik dan alamnya," tegasnya.

Resolusi Konflik

Apa yang diharapkan Jacky, tidak jauh dari apa yang dirasakan para penonton. Demikian juga dengan Walikota Ambon M. J. Papilaja yang juga mengakui ekshebisi musik dalam kategori etnik ini sebagai prakarsa yang baik, yang baru pernah diselenggarakan di Maluku. "Karenanya kami mengucapkan terima kasih kepada Baku Bae Peace Movement yang mengambil prakarsa untuk memulainya," timpal Papilaja.

Sebelum membuka acara ekshebisi, Walikota Papilaja menerima poster, stiker dan kaos perdamaian dari Bai Tualeka, salah satu aktivis perempuan gerakan Baku Bae. Ia kemudian membaca naskah yang ada pada poster tersebut: "Ole Sio. Takan lari lagi. Takan berlayar lagi. Biarlah sekarang tetap di sini. Pada satu-satunya Ambon sayang e. Sesungguhnya kedamaian adalah hak dan perdamaian adalah usaha yang tiada pernah berhenti."

Antusiasme yang sangat dinamis semakin terlihat, ketika delapan grup menggabungkan diri dalam komposisi yang rampak untuk mem-back up sambutan Walikota Papilaja, yang diikuti pemukulan rebana tanda dibukanya ekshebisi. Tabuhan tifa totobuang saling berpadu dengan suling sawat dan rebana. Sesekali terdengar bunyi tahuri panjang, diselingi ketokan toleng-toleng bamboo yang menambah daya ritmis komposisi itu.

Menariknya, di antara komposisi yang apik itu, seorang nenek berkebaya dari grup totobuang Waimahu - Latuhalat yang tampil klasik, maju ke depan dengan saputangan putih sambil menyanyikan pantun persaudaraan dengan nada suara tinggi. Grup ini memang cukup lama dikenal sebagai satu-satunya grup totobuang berpantun di Maluku. Tepuk tangan penonton terdengar riuh, setiap kru totobuang Latuhalat yang rata-rata berusia senja itu, yang bergoyang lincah sambil bersyair. Tak heran jika grup ini mendapat julukan grup paling heboh.

Sambutan meriah lainnya diberikan penonton ketika grup totobung anak-anak dari Kusu-Kusu Sereh dan Grup Sawat dari Batumerah tampil. Grup totobuang anak dari Kusu-Kusu Sereh yang menampilkan 12 orang anak itu, menjadi idola penonton. Salah satu anggota grup yang baru berusia sekitar 8 tahun menawan hati penonton. Walau masih belia, kepiawaiannya memainkan alat musik memang luar biasa. Terbukti dari keterpaduannya memainkan alat musik dengan lantunan nada merdu, yang mewarwani aksi panggung mereka.

Sambutan yang sama juga diperoleh Grup Sawat Batumerah, yang mampu menyedot perhatian penonton. Terutama karena aksi salah satu krunya yang berusia sekitar 10 tahun. Dia mampu menunjukkan kemampuan menabuh rebana secara baik.

Rekonsiliasi

Semua peserta yang tampil pada ekshebisi ini merasa mendapat saluran kreatifitas dan merasa beruntung tampil pada ajang yang kental dengan nuansa rekonsiliasi tersebut. Karena itu, meskipun ajang ekshebisi ini menjanjikan sejumlah uang kepada para juara, namun hampir seluruh peserta sepakat bahwa yang terpenting dari ajang seperti ini, yaitu musik etnik Maluku menjadi langgeng.

"Katong tidak perduli dengan besarnya hadiah yang akan diberikan, yang paling penting bagaimana katong bisa biking acara macam begini terus-menerus" harap Nan Kiat, Pimpinan Grup Sawat Waihaong Ambon. Senada dengan Kiat, Pimpinan Grup Sawat Negeri Hitumesing menilai acara seperti ini sangat bagus karena suasana rekonsiliasinya sangat kental. "Katong pung anak-anak harus bisa menghargai dan belajar tentang ini," harapnya.

Harapan-harapan tadi ini bukan tak mungkin terwujud. Beberapa grup musik etnik yang berlaga sore itu, didominasi oleh anak-anak muda. SMU Neg IV misalnya. Mereka tampil dengan peserta yang seluruhnya berasal dari siswa sekolah dimaksud. Kompisi rebana dan tifa totobuang diusung mereka dalam harmonisasi bunyi yang sangat apik.

Harapan langgengnya keberadaan musik etnik Maluku mungkin tak akan menjadi harapan kosong. Apalagi jika partisipasi anak-anak tersebut selanjutnya dibingkai melalui apresiasi pemerintah daerah, untuk mengembangkan secara serius keberadaan musik etnik Maluku.

Selain untuk menjaga tetap hidupnya musik etnik Maluku, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk memperkuat rasa persekutuan dan perdamaian masyarakat di Maluku, yang sempat ternodai konflik beberapa tahun kemarin. "Kegiatan ini sengaja juga dihadirkan untuk memperlihatkan, bahwa sebagai orang Maluku kami memiliki berbagai bentuk local wisdom yang bisa dipakai sebagai instrumen rekonsiliasi sosial pasca konflik," terang Jacky, pentolan Baku Bae Peace Movement yang banyak terlibat dalam kegiatan kemanusiaan ini.

Baku Bae Peace Movement sendiri, merupakan sebuah gerakan perdamaian yang terbentuk dari koalisi beberapa LSM yang berasal dari komunitas Salam dan Sarane di Kota Ambon. Grup ini melakukan serangkaian kegiatan dengan tujuan utama meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap upaya provokasi yang biasa terjadi pada setiap hari ulang tahun RMS yang jatuh pada tanggal 25 April.

Sedianya kegiatan yang juga mendapat dukungan penuh Interchurch Peace Council (IKV The Hague) dan Tapak Ambon ini, akan digelar dengan nama Music Rally for Peace pada tanggal 15 April lalu. Tapi karena sejumlah kendala teknis, maka acara tersebut tertunda dan baru bisa diselenggarakan pada bulan Mei dalam bentuk ekshebisi musik etnik.

Acara ekshebisi ini sendiri merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Baku Bae Peace Movement, yang berlangsung sejak pertengahan Maret 2005. Sebelum ini, pada dua hari jelang tangtgal 25 yang disebut-sebut sebagai HUT RMS, para aktivis Baku Bae membagi-bagikan poster dan stiker perdamaian. Setiap pengguna kendaraan yang melintas di berbagai ruas jalan utama Kota Ambon mendapat satu buah poster dan satu buah stiker. Dengan kampanye damai tersebut, diharapkan masyarakat tidak terprovokasi dengan adanya sejumlah aksi kekerasan.

"Masyarakat sudah capai, dan ingin memulai hidup baru secara bersama. Karena itu jangan lagi ada provokasi-provokasi yang berusaha menggiring masyarakat pada konflik baru. Apa yang kami lakukan hanya sebagian kecil dari sumbangan besar masyarakat untuk menghadirkan perdamaian di Kota Ambon," tegas Abdullah Elly, salah satu anggota jaringan Baku Bae Peace Movement.

Upaya-upaya penyelesaian konflik yang selama ini berlangsung secara formal, sambung Bai Tualeka yang juga dari Grup Baku Bae, lebih banyak mengadopsi model-model resolusi konflik yang tidak familiar dengan local content budaya dan karakteristik Maluku. "Padahal sesungguhnya kami punya banyak instrumen lokal yang telah teruji lama sebagai alat perekat dalam interaksi sosial masyarakat di Maluku," tambah Jacky.

Masih menurut Jacky, orang di Maluku jika mendengar bunyi tahuri, totobuang, tifa, rebana, toleng-toleng, ukulele, dan lain-lain, maka suasana ritmis akan segera muncul. Selanjutnya akan mendorong orang untuk secara spontan menyatu satu dengan lainnya, tanpa mempedulikan latar belakang perbedaan agama atau sub etnis. "Mengapa ini tidak kita pakai dan besarkan dalam membangun upaya-upaya resolusi konflik selama ini?" tanya Jacky serius.

Pendapat jacky tersebut dibenarkan Cris Tamaela, salah seorang master musik di Maluku yang sore itu menjadi ketua tim juri. "Musik etnik Maluku merupakan warisan para leluhur, yang mengekspresikan cara berinteraksi para leluhur kita dulu, yang di dalamnya terkandung tumpukan nilai dan filosofi kita sebagai orang Maluku," tegasnya penuh antusias.

Lebih lanjut Tamaela katakan, tidak saja membutuhkan perhatian serius bagi langgengnya musik etnik Maluku sebagai sebuah komposisi musik natural, namun lebih utama adanya spirit orang Maluku di dalamnya. Spirit itu, dinilainya, yang dirasakan malam itu. Spirit persekutuan dan persaudaraan.

Memang spirit dimaksud sangat terasa ketika acara penutupan digelar, dengan menghadirkan kembali semua pemusik ke atas panggung (stage). Reince Alfons salah seorang sarjana musik etnik dan sekaligus juga juri pada sore itu, terpancing untuk bergabung di stage dan menata komposisi spontan sebagai composer dan sekaligus dirigen.

Walikota Ambon yang juga tersengat oleh spirit kebersamaan secara spontan, meminta untuk bergabung dalam komposisi itu, dan menyanyikan lagu Pela'e. Jam session yang dipimpin Reince di akhir acara sore itu, mengharu biru. Di bawah sorot lampu pentas 40 kilovolt, ratusan penonton spontan berdiri dan turut menyanyikan lagu Pela'e. Sepanjang siang sampai menjelang malam itu, memang telah menghipnotis semua orang yang mengambil bagian di dalamnya. Tidak saja para pemusik yang berlaga di atas panggung, tetapi juga acara selingan yang diisi dengan partisipasi spontan dari penonton. Diantara mereka ada yang tampil sebagai soloist secara bergantian.

Ada satu tantangan dari Pimpinan Grup Musik Etnik SMU Negeri IV Ambon kepada pemerintah, yang mudah-mudahan mendapat tanggapan baik pemerintah daerah. "Baku Bae sudah mulai, sekarang kita tunggu apresiasi dan sikap pemerintah daerah untuk melanjutkan," tantangnya.

Walikota Papilaja memang sudah mulai menunjukkan apresiasinya, dengan meminta empat penyaji terbaik dari kategori musik sawat dan totobuang, untuk mengambil bagian dalam upacara penyambutan obor Pattimura pada tanggal 15 Mei lalu. Bahkan sebanyak empat grup yang tampil sore itu, dipilih untuk diikutkan pada Perayaan Hari Pattimura di Salatiga Jawa Tengah di penghujung Mei ini.

Tak banyak kata berbunga tentang rekonsiliasi dan perdamaian, seperti yang sering menjadi produk sekian banyak meeting yang digelar selama dan pasca konflik. Rekonsiliasi dan perdamaian sejati hanya bisa terjadi bila ada keselarasan batin. Sore itu Baku Bae Peace Movement membuktikannya. Selamat. (VP)

Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/hoelaliejoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044