Radio Vox Populi [Ambon], 18-Mei-2005
Pela dan Multikulturalisme: Peaceful Road to Peace
18-Mei-2005, Robert B. Baowollo - Yogyakarta
Pertanyaan awal: apakah rekonsiliasi merupakan tujuan atau akibat peace building?
Yang pertama mengandaikan rekonsiliasi sebagai sebuah proyek yang memiliki
rumusan tujuan dan kerangka serta jadwal kerja, didukung oleh dana dan pakar,
mediator dan negosiator handal, yang bermuara pada upacara seremonial
penandatanganan sebuah naskah rekonsliasi (atau apa pun namanya). Orang-orang
berjabat tangan, dipotret dan dimuat di surat kabar, membawa pulang map 'workshop'
rekonsilaisi.
Dengan kata lain, tujuan proyek rekonsliasi telah tercapai dengan indikator
keberhasilan berupa naskah dengan sejumlah butir kesepakatan, dan para peserta
sudah bermaaf-maafan, berpelukan disertai isak tangis penyesalan, dan ada bukti foto
di surat kabar.
Pengertian di atas berbeda dengan paradigma rekonsliasi atau perdamaian sebagai
sebuah proses, bahkan proses itu adalah perdamaian itu sendiri! Artinya suasana
damai, terpulihnya hubungan antar pihak yang bertikai merupakan akibat dari
kesediaan menjalani proses yang diujungnya orang merasakan adanya perdamaian
atau rekonsliasi itu. Perseteruan lalu terasa lucu karena ternyata dalam proses
berjalan bersama itu orang menemukan jati diri mereka sebagai manusia sosial dan
berbudaya yang memiliki potensi damai jauh lebih dasyat dibanding potensi destruktif
(William Grahan Summer, 1911).
Memang, konstruk sejarah Maluku penuh kelemahan historiografi yang mendasar,
yang hanya menyumbang bagi pembenaran dan penguatan segregasi masyarakat
saat ini. Sejarah menyembunyikan sisi gelap konspirasi simbiotik penguasa lokal
dengan kolonial Eropa: konspirasi pragmatis antara Kerajaan Hitu yang Islam dengan
Portugis yang Katolik untuk menghadang bangsa Alifuru dari Seram; antara
kesultanan Ternate yang Islam dengan Portugis yang Katolik untuk melawan Tidore
yang Islam; antara Tidore yang Islam dengan Spanyol yang Katolik untuk melawan
Ternate yang Islam (Jacobs, Hubert SJ. 1974); dan antara Tidore yang Islam dengan
Belanda yang Calvinis untuk mengusir Spanyol yang Katolik dan akhirnya angkat kaki
menuju Manila (Villiers, 1986).
Tak ketinggalan sejarahwan Belanda seperti Keuning mencoba membangun
konntruksi citra humanis kolonial Belanda di mata inlanders dengan membangun
kebencian terhadap Portugis dan Missi katolik sambil melempar handuk kotor penuh
darah kolonialismenya ke halaman rumah tetangganya, Portugis dan Spanyol. Dan
kita mewarisi kisah penuh permusuhan!
Persoalan historiografi Maluku di atas menunjukkan bahwa atribut agama yang
dibawa pihak-pihak yang bertikai maupun pihak-pihak yang berkonspirasi secara
simbiotik tidak ada kaitannya dengan agama (Keuning, J. (1973[1958]; Jacobs, 1980).
Yang benar adalah semua konspirasi itu untuk kepentingan dagang: monopoli atas
perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan kolonial maupun penguasa lokal.
Bukan untuk rakyat Maluku! Bahkan masuk Kristen pada saat itu pun lebih karena
motivasi ekonomi, baik bagi kolonial maupun rakyat pribumi, dan bukan karena iman!
(bdk. Enklaar, (1980[1963]): 43; Vriens, 1974:59).
Berjalan dalam damai adalah menjalani demokrasi, menegakkan HAM,
mengembangkan sikap respek satu terhadap yang lain, membina kesetaraan.
Dengan kata lain, perdamaian adalah jalan dan tujuan itu sendiri. Orang tak mungkin
sampai pada perdamaian dengan melalui jalan permusuhan. Dalam menjalani jalan
damai tersebut orang merasakan, menemukan dan menghargai kembali nilai-nilai
perdamaian dalam kebersamaan dan kesetaraan, dan mulai bangkit sikap saling
menghargai, toleransi dan kesediaan mengoreksi persepsi yang keliru tentang pihak
lain, dan bergerak menuju kesepakatan mengenai konsepsi kebersamaan dalam
ikatan persaudaraan seperti pela-gandong.
Dalam membangun masyarakat multikultural pasca konflik, pela kembali dirujuk
sebagai simbol persekutuan semua orang Maluku, baik Kristen maupun Muslim, di
Gunung Nunusaku (Bartels, 1977). Pela banyak dirujuk dalam berbagai forum bukan
karena orang tertarik dengan pela tetapi lebih karena orang kehilangan pegangan dan
mulai terusik mencari-cari pegangan, sumber penjelasan jati diri manusia Maluku
tepat di saat jati diri itu dipermasalahkan. Dalam situasi normal orang tidak melirik
pela.
Gejala ini dalam psikologi dikenal dengan mekanisme merujuk colective memory.
Pela adalah salah satu isi gudang, perpustakaan memory bersama itu. Ia tidak
sekedar sebuah pengetahuan tetapi sebuah nilai (value) dan menjadi common code of
conduct.
Tetapi sama seperti deretan daftar nilai-nilai virtues lainnya, pela adalah sebuah value
tetapi apakah orang juga memberi nilai secara aktif (active valuing) terhadap pela dan
tidak memuja-mujanya sebagai sebuah pengetahuan mati dan antik dalam museum
collective memory?
Masyarakat Maluku hanya dapat dikatakan menghargai pela sebagai sebuah nilai
yang hidup, bermakna, mahal, dan fungsional jika masyarakat sendiri bersikap
rasional (rationality), memiliki pengetahuan tentang apa itu pela (knowledge), yakin
bahwa nilai itu bisa dicapai (ability), yakin bahwa situsi memungkinkan orang
mencapainya (opportunity), dan yakin bahwa tidak ada nilai lain yang lebih kuat selain
ikatan pela yang mampu memulihkan persaudaraan yang retak (consistency). Dan
Inilah tantangannya karena Maluku adalah sebuah dunia dan komunitas terbuka bagi
manusia dari suku, agama dan ras mana saja. Masyarakat multikultur berjiwa ikatan
pela tidak memahami sebuah kebersamaan (a)sekedar kebersamaan dan keragaman
statistik (Multikulturalisme Type-1) seperti klaim rejim Orde Baru tentang
keanekaragaman suku bangsa di Indonesia; (b) sekedar pengakuan dan jaminan
eksistensi masing-masing kelompok suku dan agama tanpa pengalaman
kebersamaan dan tidak saling mengganggu, sekedar praksis nebeneinander leben
(hidup berdampingan - Multikulturalisme Type-2) alias status-quo; dan (c) sebuah
kebersamaa aktif, miteinander leben (hidup bersama-sama - Multikulturalisme Type-3)
dimana masalah pinjam cili dan garam, saling menyapa di jalan dan dan saling
mengunjungi saat susah dan senang, saling belajar memperkaya budaya hingga
terjadi akulturasi - merupakan praksis nyata pela sebagai salah satu active value.
Dalam perspektif studi perdamaian, suatu kebersamaan sekedar tidak saling
mengganggu (dan karena itu disebut 'situasi aman dan terkendali' - meminjam bahasa
Orde Baru yang sudah tidak baru itu) disebut passive peace.
Sebaliknya inisiatif membangun jembatan antar kelompok masyarakat, terutama
jembatan karya untuk mengisi kebersamaan yang konstruktif, sehat dan produktif,
bermanfaat untuk kebaikan bersama, disebut active peace. Active peace adalah
proses pembentukan pengalaman kebersamaan yang berakibat orang merasakan
kebersamaan itu. Sebagai proses, peace and reconsiliation itu dijalani bertahap,
bukan dikejar. Ia bukan tujuan tetapi jalan. Dan orang Maluku baik Muslim maupun
Kristen mampu untuk itu!
Copyright © 2005 RadioVoxPopuli.com. All right reserved.
|