The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

SINAR HARAPAN


SINAR HARAPAN, Selasa, 02 Agustus 2005

Pemerintah Harus Serius Sikapi Kasus Pepera Papua

Oleh Suradi

Jakarta - Fraksi-fraksi di DPR meminta pemerintah proaktif menyikapi gugatan beberapa anggota kongres Amerika Serikat tentang Papua, khususnya sekitar pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang menandai resmi bergabungnya Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun demikian, pemerintah dan semua kalangan di tanah air tidak perlu membesarkan persoalan ini karena jika semua elemen berkomentar, apalagi tidak proporsional, justru akan membesarkan masalah ini. Yang penting diplomasi pemerintah harus kuat.

Usulan tersebut disampaikan Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Abdillah Thaha, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Untung Wahono dan Ketua Fraksi PDIP Tjahyo Kumolo yang dihubungi SH, Senin (1/8).

Abdillah Thaha yang juga anggota Komisi I DPR mengatakan, sebenarnya hal itu bukan berita baru. Kasus itu mencuat kembali karena kuatnya lobi kalangan elite Papua yang ingin merdeka dan didukung black caucus di DPR AS. Oleh karenanya, pemerintah dalam hal ini Deplu harus menyikapinya secara serius.

"Kita tidak perlu bereaksi berlebihan, tapi harus melakukan lobi intensif untuk menegaskan bahwa Papua sudah resmi dan final masuk NKRI," katanya.

Sementara Ketua FPKS yang juga anggota Komisi I DPR Untung Wahono juga menegaskan Papua sudah bersama NKRI sejak tahun 1960-an sebagai konsekuensi dari keputusan PBB. "Saya menilai, manuver segelintir anggota DPR AS itu tidak perlu ditanggapi berlebihan. Tapi, pemerintah harus serius menangani berbagai persoalan di tanah Papua," katanya.

Protes

Sementara tanggapan yang agak keras disampaikan Ketua FPDIP Tjahyo Kumolo. Dia menegaskan, Pemerintah Indonesia diminta lebih proaktif melakukan protes secara resmi kepada pemerintah AS.

Kalau perlu mempertimbangkan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan AS, kalau mereka mengobok-obok urusan dalam negeri Indonesia.

Ditegaskan, meskipun pemerintah AS sudah menjamin tidak akan ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia tetapi Tjahyo tidak percaya karena masalah Papua sudah masuk ke dalam agenda strategis politik jangka panjang AS. "Yang saya sesalkan, walau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan ketidaksenangannya terhadap kenyataan itu, kenapa pemerintah dalam hal ini Deplu belum mengambil sikap tegas," katanya.

Tjahyo juga mengingatkan Presiden bahwa upaya Papua yang ingin memisahkan diri dari NKRI mempunyai implikasi politik yang sangat besar. Oleh sebab itu pemerintah harus hati-hati, waspada dan bertindak cermat.

Tjahyo khawatir, dalam kurun waktu dekat ini akan ada gerakan perubahan yang sangat sistematik karena network mereka di AS, Eropa, Asia Pasifik sangat kuat dan isu yang mereka angkat yakni masalah ketidakadilan dan HAM cukup mengundang simpati dan perhatian masyarakat dunia.

Bukan Kehendak Rakyat

Di bagian lain, Gubernur Papua JP Solossa kepada wartawan Senin (1/8) di Jayapura menegaskan pernyataan dewan adat Papua (DAP) yang menyatakan rakyat Papua akan mengembalikan otsus Papua pada tanggal 15 Agustus nanti, jangan diklaim bahwa hal itu adalah suara rakyat Papua. "Jangan mengatakan kegiatan itu sudah final, belum tentu ini kehendak rakyat secara keseluruhan," katanya.

Soal isu ada ribuan orang dari pedalaman yang akan turun ke Jayapura pada tanggal 15 Agustus dan ingin memisahkan diri dari NKRI, dikatakannya, itu hanyalah isapan jempol belaka. "Data dari mana itu, tidak ada data yang menyatakan ribuan bahkan puluhan warga yang ingin memisahkan diri. Jangan mengklaim rakyat seperti itu," kata Gubernur lagi.

Sementara, Ketua Komisi I DPR, Theo L. Sambuaga mempertanyakan alasan Amerika Serikat mempersoalkan masalah Papua. Selain karena tidak punya dasar yang kuat, pengungkitan masalah tersebut berdasarkan adanya perbedaan ras tidak sesuai dengan mindset pluralisme yang ada di negara Amerika Serikat sendiri. "Kalau sekarang mereka persoalkan apa dasarnya. Pepera pada waktu itu sudah diakui oleh PBB dan itu termasuk atas dorongan presiden Amerika Serikat pada waktu itu, bahwa masalah yang terjadi tidak diselesaikan dengan perang tapi diselesaikan dengan damai dan dibawa ke PBB. Kalau sekarang mereka mempersoalkan apa dasarnya?" tegas Theo L Sambuaga di Jakarta, Senin (1/8).

Sementara Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida meminta pemerintah mengantisipasi kemungkinan datangnya tim dari kongres Amerika Serikat terkait dengan kemungkinan disahkannya RUU 2601 yang memuat masalah Papua. Dalam seksi 1115 UU tersebut sudah ditegaskan agar Menteri Luar Negeri AS (Donald Rumsfeld -red) harus melaporkan kepada Kongres Amerika Serikat soal efektivitas pemberlakukan Otonomi Khusus Papua yang diterapkan pemerintah Indonesia di Papua dan sah tidaknya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Namun demikian, ia juga mengatakan dengan adanya RUU tersebut tidak perlu membuat pemerintah panik dan melakukan perlawanan yang berlebihan sebab pemerintah Amerika Serikat tentu mendukung NKRI.

Ia meminta agar dengan pengesahan UU tersebut, pemerintah harus membentuk tim lobi terhadap AS yang sekaligus meredam internasionalisasi masalah tersebut. "Ini saya kira hal yang penting. Saya harapkan pemerintah sadar kalau lobi itu penting. Itu tradisi politik yang kita harus ambil juga," tegasnya.

Secara terpisah Wakil Ketua Komisi I DPR Sidaro Danusubroto mengatakan intervensi Amerika Serikat terhadap masalah Papua adalah bagian dari skenario asing. Ia sangat menyesalkan hal tersebut sekalipun saat ini hal tersebut belum terlalu menggangu kestabilan negara Indonesia saat ini. Ia mendukung agar pemerintah sejak dini melakukan lobi terhadap pihak Amerika Serikat baik berupa government to government atau parliament to parliament. Ia berpendapat cara untuk meminimalisasi pengaruh asing di Papua saat ini dengan lebih banyak lagi memberi perhatian pembangunan kepada daerah tersebut.

Cetusan Sesaat

Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menjelaskan pemerintah Amerika tetap mendukung persatuan dan kesatuan negara RI, dan tidak mendukung kemerdekaan Papua. Pernyataan dua anggota DPR Amerika Serikat tentang kemerdekaan Papua hanya merupakan cetusan sesaat yang tidak akan berakibat bagi hubungan Indonesia-Amerika.

"Kita tidak usah marah-marah. Itu perkembangan yang wajar di kongres Amerika Serikat. Demokrasi dan desentralisasi di Papua kita upayakan ke arah yang lebih sempurna," kata Menhan. usai membuka dialog ketiga tentang keamanan Indonesia-Amerika, di Jakarta, Selasa (2/8). Dalam hal ini sikap Departemen Pertahanan sama dengan sikap pemerintah.

Dialog tersebut membahas tentang kebijakan di bidang pertahanan dan keamanan termasuk TNI dan Polri, kerja sama di Asia Tenggara termasuk Selat Malaka, alat utama untuk sistem pertahanan (alutista) dari Amerika Serikat dan kerja sama dengan kongres. Ia berharap dari dialog ini kerja sama militer Indonesia-Amerika bisa dipulihkan sehingga alutista bisa dilepas dari embargo. Target kedua, meningkatkan kemampuan tentara Indonesia, baik darat, laut dan udara karena sebagian besar alat-alat sistem pertahanan masih berasal dari Amerika Serikat.

Copyright © Sinar Harapan 2003
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/hoelaliejoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044