SINAR HARAPAN, Senin, 05 September 2005
Phil Erari, PhD, Tentang Papua: Pemerintah Jangan Tambah
Keruwetan
JAKARTA—Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan Dewan Perwakilan
Daerah pada 22 Agustus lalu, khususnya yang menyangkut pembentukan Provinsi
Irian Jaya Barat dinilai sejumlah kalangan di Papua menyimpang dari UU No 21/2001
mengenai Otonomi Khusus Papua, maupun PP No 54/2004 mengenai Pembentukan
Majelis Rakyat Papua (MRP). "Substansi pidato presiden itu telah menambah
keruwetan persoalan di Papua," kata salah seorang tokoh masyarakat Papua,
Pdt.Phil Erari, PhD di Jakarta, pekan ini.
Menurut Erari, saat ini berkembang wacana di Papua mengenai perlunya
mengundang pihak ketiga, seperti Aceh Monitoring Mission (AMM), guna memastikan
bahwa pemerintah konsisten melaksanakan Otsus Papua. Berikut hasil wawancara
wartawan SH, Kristanto Hartadi dengan tokoh Papua tersebut. Petikannya:
Saya mendengar ada reaksi tidak puas berkaitan dengan pidato Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di depan DPD beberapa waktu lalu, apakah memang demikian?
Ya, substansi pidato itu sama saja dengan pengakuan terhadap pembentukan
Provinsi Irian Jaya Barat dengan payung hukum UU No 32/2004 mengenai
Pemerintahan Daerah dan putusan Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, apa yang
dikatakan Presiden itu tak konsisten dengan PP No 54/2004, Pasal 73, mengenai
Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menyebutkan provinsi pemekaran akan ditangani
bersama oleh MRP, Gubernur Papua, DPR Papua dan Pemerintah Pusat selama 6
(enam) bulan sejak MRP terbentuk.
Pernyataan Presiden itu seperti mengesahkan pembentukan Irian Jaya Barat, dan
sekali lagi juga tidak sesuai dengan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus
Papua. Tampaknya Presiden tidak menyadari bahwa hal itu akan menimbulkan
komplikasi dalam pelaksanaan Otsus Papua, karena sama saja merestui provinsi
baru itu dengan payung hukum yang dicari-cari. Substansi pidato itu memperberat
upaya menegakkan Otsus Papua, sehingga harus dipertanyakan kembali apa
maksud pidato presiden tersebut, karena menambah keruwetan.
Pidato tersebut menimbulkan reaksi sangat negatif di Papua terhadap Pemerintah di
Jakarta, Pemerintah tidak pernah konsisten, dan pada akhirnya menegaskan bahwa
pembentukan Provinsi Irjabar tak lebih sebagai proyek orang-orang di Jakarta dengan
berbagai kepentingan mereka. Sebab, kalau benar kepentingan rakyat yang
dimajukan, maka yang harus diutamakan adalah pendekatan hukum dan, itu berarti
implementasi pasal-pasal Otonomi Khusus.
Jadi, apa mekanisme terbaik untuk memastikan bahwa Pemerintah akan konsisten
dengan keputusannya?
Bagaimanapun, ini memperkuat indikasi bahwa Jakarta tidak mampu melaksanakan
Otonomi Khusus secara benar dan konsisten. Sehingga menjadi pertanyaan: kalau
Pemerintah sudah tidak mampu menjalankan Otsus Papua pasal demi pasal, apakah
harus ada pihak ketiga yang mengawasi pelaksanaannya, kira-kira seperti Aceh
Monitoring Mission yang mengawasi implementasi MoU Pemerintah RI-GAM.
Wacana ini sudah berkembang di Papua.
Kemudian, secara sederhana ada parameter untuk mengukur apakah suatu kebijakan
itu terlaksana atau tidak. Pertama, apakah kebijakan itu sudah berhasil menjawab
kebutuhan rakyat. Kalau tidak, maka pelaksanaan kebijakan itu dinilai gagal,
sehingga harus ada upaya penyempurnaan. Kedua, suatu kebijakan harus
menghasilkan perubahan. Pada kenyataannya di Papua rakyat tidak merasakan
perubahan akibat pelaksanaan otonomi khusus, terutama pada tingkat kesejahteraan
mereka, padahal dana sudah mengalir hingga Rp 6 triliun. Rakyat tetap saja hidup
dalam kemiskinan. Janji sekolah atau pengobatan gratis tidak dipenuhi, namun
kalangan birokrasi di Papua sangat menikmati dana-dana otsus itu. Sehingga pada
titik ini pula Papua memang membutuhkan pemimpin baru yang mengerti kebutuhan
rakyat.
Menurut Anda apakah yang mendorong Presiden hingga membuat pernyataan yang
demikian?
Saya hanya bisa menduga-duga. Namun, apapun itu, jelas Presidan sudah membuat
sebuah blunder politik, yang akan membuatnya menjadi tidak dipercayai lagi oleh
banyak kalangan di Papua. Saya sendiri jadi mempertanyakan siapa yang
menyusunkan pidato presiden itu? Saya sarankan agar Presiden kembali ke proses
hukum yakni UU Otsus No 21/2001 dan PP No 54/ 2004, karena itulah prinsip-prinsip
yang telah disepakati bersama. Saya ingin mengingatkan kepada Presiden SBY, agar
jangan mengulangi kesalahan Presiden Megawati. (Catatan: Presiden Megawati
menandatangani Inpres No 1/2003 yang mendorong percepatan pemekaran di Papua,
dengan mengabaikan UU No 21/2001 mengenai Otonomi Khusus Papua. Inpres
tersebut, maupun UU No 32/2004 kemudian sudah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi, namun meski demikian Mahkamah Konstitusi tetap menganggap sah
pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat karena putusannya tidak berlaku asas
retroaktif, sejumlah kalangan menilai pembentukan provinsi pemekaran itu tidak
mempunya payung hukum. Red).
Proses pembentukan MRP sudah sampai ke tahap sosialisasi tata cara pemilihan
anggota di kabupaten/kota se-Papua eks Irian Jaya, dari Sorong sampai Merauke,
diharapkan minggu ke-2 September sudah dapat dilaksanakan pemilihan anggota.
Mengapa ada kesan tidak sabar menunggu pembentukan MRP berkaitan dengan
pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat tersebut?
Saya menduga ada upaya memaksakan pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat pada
tahap seperti sekarang ini, dan itu antara lain juga didalangi oleh
kepentingan-kepentingan tertentu di Jakarta (Erari antara lain menyebut nama-nama
sejumlah pengusaha besar, Red), mereka itu sudah ngiler untuk segera menjarah
sumber daya alam di sebelah barat Papua, tanpa mau diawasi. ***
Copyright © Sinar Harapan 2003
|