SINAR HARAPAN, Selasa, 06 September 2005
Soal SKB Dua Menteri
Ditemani Pimpinan NU,Ketua Umum PGI Temui Kapolri
Jakarta - Menyusul perusakan dan penutupan gereja, Ketua Umum PGI, Pdt Andreas
Yewangoe ditemani sejumlah pimpinan Nahdlatul Ulama (NU), Selasa (6/9) ini
dijadwalkan menemui Kapolri Jenderal Sutanto di Mabes Polri.
"Kami akan mendesak Kapolri untuk sungguh menegakkan disiplin nasional. Jangan
ada kelompok yang bertindak atas nama negara melarang orang lain beribadah
dengan alasan ilegalitas karena tidak memenuhi SKB Dua Menteri Tahun 1969 yang
masih kontroversial. PGI menolak SKB itu," kata Andreas Yewangoe ketika dihubungi
SH, Selasa (6/9) pagi ini. Dalam pertemuan itu, katanya PGI akan meminta Kapolri
untuk menindak kelompok yang main hakim sendiri dan membiarkan kekerasan dan
penutupan gereja terus berlangsung.
Terkait dengan hal itu, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) kini sedang mengkaji
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Mendagri No 1 tahun 1969.
SKB itu memang perlu diubah untuk disesuaikan dengan ketentuan perundangan
yang ada. Rencana perubahan itu mulai dibahas Rabu (7/9) ini bersama sejumlah
instansi terkait.
"Soal substansi dan materi SKB itu, kebanyakan merupakan domain dari Departemen
Agama atau Menko Kesra. Sedangkan Depdagri hanya dari aspek pemerintahan
daerah," kata Direktur Jenderal (Dirjen) Kesatuan Kebangsaan dan Politik
(Kesbangpol) Depdagri, Sudarsono di Kantor Depdagri, Jakarta, Senin (5/9) siang.
Dia mengatakan, pihaknya sudah melakukan kajian terhadap SKB itu dan memang
SKB itu perlu dilakukan telaah kembali. Bagi Depdagri, katanya, hanya melihat SKB
itu dari segi kesesuaian dengan UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
(Pemda).
Dalam mengimplementasikan SKB dua menteri itu, ada peran dari gubernur/wakil
gubernur dan bupati/wakil bupati, sehingga memang perlu ada penyesuaian. "SKB itu
dibuat tahun 1969, sementara UU yang ada baru tahun 2004, sehingga SKB itu harus
disesuaikan dengan UU itu," jelasnya.
Mengenai kemungkinan pemerintah mencabut SKB itu, Sudarsono mengatakan, ia
tidak mengetahui pasti, karena SKB itu baru mulai dibahas pada pekan ini. "Tapi,
apakah namanya revisi, penyempurnaan atau pencabutan, yang penting ada
peraturan perundangan yang baru. Nanti seperti apa? Saya juga belum tahu,"
tuturnya.
Sementara itu, pengamat sosial Benny Susetyo kepada SH mengatakan,
penyelesaian terhadap perusakan dan penutupan tempat ibadah hanya bisa dilakukan
bila pemerintah menetapkan aturan tata kota yang jelas. Persoalan penutupan tempat
ibadah lebih banyak disebabkan tidak adanya aturan tata kota yang jelas. Dalam
SKB Dua Menteri itu persoalan ini juga tidak dibahas. (web warouw/daniel duka
tagukawi/emmy kuswandari)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|