SINAR HARAPAN, Rabu, 07 September 2005
Untuk Revisi SKB Dua Menteri, Gereja Perlu Bentuk Komisi Etika
Oleh Rikando Somba/Norman M
Jakarta - Pencabutan atau revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No.01/69 adalah solusi dari gangguan pendirian rumah
ibadah.
Sebaliknya, organisasi Gereja, seperti PGI dan KWI perlu membentuk Komisi Etika
atau Badan Kehormatan yang menilai layak-tidaknya pendirian Gereja di suatu
daerah.
“Komisi ini nantinya akan memberikan rekomendasikan layak-tidaknya pendirian gereja
dengan pertimbangan- pertimbangan etika dan moral Kristiani sendiri," kata Wakil
Ketua Fraksi PDIP dan anggota Komisi II DPR RI Gayus Lumbuun ketika dihubungi
SH di Jakarta, Selasa (6/9) siang.
“Kalau SKB itu direvisi dan menyebutkan adanya masukan masyarakat, maka semestinya
Komisi atau Badan Kehormatan ini yang menilai dan memberkan rekomendasi
didirikannya gereja. Penilaian secara internal Kristiani ini penting untuk menjaga
pluralitas, melindungi kegiatan warga negara untuk beribadah sesuai agamanya,
sekaligus menjaga nilai- nilai sakral gereja sebagai rumah Tuhan," katanya.
Gayus menjelaskan, rekomendasi Komisi atau Badan itu kepada pemerintah, juga
menjadi jaminan atas berdirinya suatu gereja. Di satu sisi, rekomendasi itu juga
bertujuan untuk menjaga nilai- nilai sakral gereja itu sendiri.
Antisipasi di Jakarta
Sementara itu, Persekutuan Gereja-gereka di Indonesia Wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta (PGI Wilayah DKI Jakarta), Rabu (7/9) siang ini mengadakan
pertemuan di Gereja Isa Almasih di Kemayoran untuk membahas kemungkinan
merembetnya aksi perusakan serta penutupan gereja di wilayah Jakarta. Tuan rumah
pertemuan itu, Pdt Samuel yang dihubungi SH, Rabu (7/9) pagi ini mengatakan,
pertemuan itu dihadiri para pemimpin gereja yang berada di wilayah Jakarta."Kami
akan melakukan pembicaraan agar tindakan perusakan dan penutupan gereja dapat
dihindari di Jakarta dan jangan sampai merusak kondisi yang sudah terjalin baik di
ibukota," jelasnya. Ditambahkan, pertemuan tersebut juga menyinggung soal SKB
Dua Menteri No.1/1969.
Pada bagian lain, Kapolri Jenderal Sutanto dalam acara silahturahmi dengan sejumlah
tokoh agama yang diprakarsai Muhammadiyah di Jakarta, Selasa (6/9) siang
meminta umat beragama Indonesia untuk tidak terprovokasi melakukan tindakan
anarkis, karena aksi semacam itu bisa ditunggangi pihak lain yang ingin
mengacaukan kerukunan umat beragama di negeri ini.
"Contohnya pesan singkat dalam telepon selular (SMS -Short Massage Service)
seperti yang saudara (tokoh agama) sampaikan yang isinya bisa menimbulkan
keresahan umat beragama di Indonesia. Ini fakta yang bicara," kata Kapolri Dalam
SMS tersebut disampaikan bahwa terjadi pengepungan di tempat lokasi ibadah di
Celedug, Tangerang oleh oleh salah satu kelompok agama.
Di lain pihak, ada juga SMS yang mengajak untuk berkumpul untuk melakukan
perlawanan. Namun oleh tokoh agama yang ber-sangkutan bahwa tidak betul terjadi
pengepungan dan tidak ada ajakan yang nadanya untuk melakukan perlawanan.
"Sepertinya ada pihak ketiga yang mengadu domba kita (umat beragama di
Indonesia," kata salah satu perwakilan agama yang hadir dalam silahturahmi tersebut
seperti dikutip kantor berita Antara.
Berdasarkan laporan Polda Jabar tanggal 24 Agustus 2005, yang ditutup pada
umumnya bukan gereja tapi tempat tinggal, ruko atau gedung pertemuan yang
dijadikan tempat ibadah.
Sedangkan, Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin mengharapkan umat
beragama di Indonesia bisa membangun kerukunan dengan sesama. Namun
demikian, jika ada masalah harus segera dicarikan solusi penyelesaiannya.
Sejumlah tokoh agama yang diwakili Ketua PBNU Hasyim Muzadi, Kardinal Julius
Darmaatmadja (Katolik) dan Ketua Umum PGI, Pdt Andreas Yewangoe menemui
Kapolri Jenderal Sutanto di Mabes Polri, Selasa (6/9). Usai pertemuan Hasyim
Muzadi mengharapkan, umat Kristiani maupun Muslim di luar Pulau Jawa untuk tidak
terprovokasi dengan sejumlah tindakan perusakan dan penutupan gereka di Pulau
Jawa belakangan ini. (rafael sebayang)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|