SINAR HARAPAN, Jumat, 16 September 2005
Keterlibatan Internasional di Papua Tak Terelakkan
Oleh Kristanto Hartadi
Jakarta - Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis di Tanah Papua, Pendeta
Socratez Sofyan Yauman, mengingatkan bahwa merupakan penilaian yang keliru
kalau banyak pihak di Indonesia, termasuk pemerintah, menganggap tidak ada
dimensi internasional dalam masalah Papua. Bahkan internasionalisasi masalah ini
bisa jadi tak terelakkan bila tidak ada keseriusan Pemerintah menanganinya.
"Harus diingat bahwa integrasi Papua dengan Indonesia melibatkan peran PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa), dan kini orang-orang di Papua banyak yang
menganggap proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) merupakan proses yang
tidak wajar dan tidak layak, sehingga harus diperbaiki," katanya, dalam percakapan
dengan SH, pekan ini, di Jakarta.
Dalam kaitan ini, dia mengatakan bahwa berbagai lobi kini gencar dilakukan oleh
pihak-pihak di Papua dengan berbagai elemen di luar negeri, terutama parlemennya,
mengadukan masalah Papua ini, khususnya ketidakkonsistenan Pemerintah dalam
melaksanakan otonomi khusus Papua.
"Orang Papua telah mendapatkan komitmen dukungan dari para anggota parlemen di
Inggris, Belanda, Selandia Baru dan beberapa negara lain, mereka siap membantu
bila Papua ingin merdeka," katanya.
Sejumlah Isu
Pada umumnya ada sejumlah isu yang dikemukakan orang-orang Papua kepada
masyarakat internasional, yakni: perbedaan budaya Melanesia dengan budaya
masyarakat Indonesia pada umumnya, latar belakang sejarah integrasi tahun 1963,
pelanggaran HAM, ketertinggalan dalam banyak aspek kehidupan dan eksploitasi
sumber daya alam.
Isu yang menjadi sorotan adalah masih terus berlangsungnya kasus-kasus
pelanggaran hak-hak asasi manusia di Papua, dan yang terakhirnya dibebaskannya
dua perwira Polri oleh PN Makassar dalam kasus pelanggaran HAM di Abepura.
Sebagai bukti, Socratez memperlihatkan sebuah laporan berjudul Genocide in West
Papua? The Role of the Indonesian state apparatus and a current needs assessment
of the Papuan People, karya John Wing dan Peter King, diterbitkan oleh Centre for
Peace and Conflict Studies, University of Sydney, yang diluncurkan pertengahan
Agustus lalu di Australia, dimana dia ikut hadir sebagai undangan.
Laporan itu sendiri, yang tak lebih dari 60 halaman, menyampaikan sejumlah
rekomendasi a.l: pemerintah Indonesia harus segera melakukan demiliterisasi di
dataran tinggi Papua, mengakhiri pelanggaran HAM di sana; batalkan rencana
menggelar 15.000 prajurit tambahan, sebuah badan internasional (seperti International
Commission of Jurists atau Transparancy International) dilibatkan dalam investigasi
penggunaan dana-dana otonomi khusus, dan lain-lain.
Dia menyarankan agar dalam penyelesaian masalah Papua ini digelar suatu
rangkaian dialog yang melibatkan sesama orang Papua, kemudian dialog
Papua-Jakarta,dan terakhir dialog internasional mengingat ada dimensi internasional
dalam masalah ini. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
|