SINAR HARAPAN, Kamis, 19 Mei 2005
Pela Gandong sebagai Katup Pengaman di Maluku
AMBON—Secara antropologis, masyarakat asli Maluku Tengah berasal dari dua pulau
besar, yaitu Pulau Seram dan Pulau Buru, yang kemudian bermigrasi ke pulau-pulau
kecil di sekitarnya. Para migran dari Pulau Seram menyebar ke Kepulauan Lease
(Pulau Haruku, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut) dan Pulau Ambon.
Migrasi ini memberi dampak terhadap peran Kepulauan Lease sebagai pusat
kebudayaan baru yang diintrodusir oleh kolonial Belanda, sehingga terjadi asimilasi
antara kebudayaan baru dimaksud dengan Kebudayaan Seram yang mendapat
pengaruh dari kebudayaan sekitarnya, yaitu kebudayaan Melanesia (tradisi Kakean)
dan Melayu, serta kekuasaan Ternate dan Tidore.
Dalam rangka pengawasan terhadap penduduk, pemerintah kolonial Belanda
menurunkan penduduk dari pegunungan ke pesisir pantai, sehingga
komunitas-komunitas dengan teritori yang disebut Hena atau Aman, berganti nama
dengan Negeri, yang diciptakan oleh kolonial.
Dalam proses sosio-historis, negeri-negeri ini mengelompok dalam komunitas agama
tertentu, sehingga timbul dua kelompok masyarakat yang berbasis agama, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Ambon Sarani dan Ambon Salam. Pembentukan
negeri seperti ini memperlihatkan adanya suatu totalitas kosmos yang mengentalkan
solidaritas kelompok, namun pada dasarnya rentan terhadap kemungkinan konflik.
Oleh sebab itu, dikembangkanlah suatu pola manajemen konflik tradisional sebagai
pencerminan kearifan pengetahuan lokal guna mengatasi kerentanan konflik
dimaksud seperti Pela, Gandong dan hubungan kekerabatan lainnya.
Teritori-teritori baru ini (negeri) diatur struktur pemerintahannya yang mirip dengan
struktur pemerintahan di Negeri Belanda. Dengan struktur pemerintahan demikian,
maka negeri-negeri menjadi ”negara-negara” kecil dengan pemerintah, rakyat dan
teritori tertentu, dipimpin oleh raja yang diangkat dari klen-klen tertentu yang
memerintah secara turun-temurun, dan kekuasaan di dalam negeri dibagi-bagi untuk
seluruh klen dalam komunitas negeri.
Dalam proses penataan struktur pemerintahan negeri, terjadi perubahan institusi
sosial, seperti Saniri Negeri yang sebelumnya merupakan lembaga peradilan, berubah
fungsi menjadi semacam badan perwakilan rakyat.
Dalam perkembangan sosio-historis selanjutnya, terjadi kontak-kontak sosial baik
antar masyarakat asli Maluku Tengah maupun antara masyarakat asli dengan
pendatang.
Dengan demikian di masyarakat Maluku Tengah ini dikenal dua kelompok atau
kategori sosial, yaitu Anak Negeri dan Orang Dagang. Yang disebut Anak Negeri
ialah penduduk asli Maluku Tengah dalam sebuah negeri (Desa Adat).
Anak Negeri ini, terdiri atas dua kelompok pemeluk agama, yaitu Anak Negeri Sarani
untuk yang beragama Kristen, yang mendiami Negeri (Desa Adat) Sarani, dan Anak
Negeri Salam untuk yang beragama Islam, yang mendiami Negeri (Desa Adat)
Salam. Kedua kelompok masyarakat ini umumnya hidup dalam komunal-komunal
(Negeri) yang terpisah, kecuali di beberapa desa seperti Hila, Larike dan Tial di Pulau
Ambon.
Yang disebut Orang Dagang ialah para pendatang, baik karena ikatan perkawinan
dengan Anak Negeri, maupun karena tugas-tugas pelayanan masyarakat
(guru, mantri kesehatan, mantri pertanian, dan lain-lain), atau karena aktivitas
ekonomi (penggarap tanah atau pemungut hasil hutan, atau pedagang). Jadi, Orang
Dagang di sebuah Negeri, dapat berasal dari orang Maluku asli yang berasal dari
Negeri lain, ataupun pendatang dari luar Maluku, yaitu yang berasal dari Buton, dan
suku bangsa Cina serta Arab.
Gotong Royong
Khusus pendatang dari luar Maluku, etnis yang dominan dari segi kuantitas ialah enis
Buton. Orang Dagang dari luar Maluku ini datang dan menetap dalam Negeri, baik
secara berbaur dengan Anak Negeri maupun membentuk suatu komunal lain dalam
Petuanan Negeri, lebih didominasi oleh kepentingan ekonomi.
Orang Dagang yang berasal dari keturunan Arab atau Cina, datang dan mendiami
sebuah Negeri dalam jumlah yang sangat kecil, yaitu hanya satu atau beberapa
kepala keluarga. Mereka ini hadir sebagai pedagang yang tidak membentuk komunal
yang terpisah dari Anak Negeri, tetapi berbaur dalam komunitas Anak Negeri.
Kontak sosial antar Anak Negeri dari dua atau lebih Negeri, terjadi karena hubungan
kekerabatan, yang terakomodasi dalam berbagai wujud termasuk Pela dan Gandong,
atau karena hubungan ekonomi maupun sosial lain, seperti pendidikan anak, atau
acara-acara keagamaan maupun hari-hari besar kenegaraan.
Sebaliknya, kontak sosial antara Anak Negeri dengan Orang Dagang, terutama yang
berasal dari luar Maluku, terjadi karena kegiatan ekonomi, sehingga pola hubungan
kedua kelompok masyarakat ini lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi semata.
Secara antropologis dan sosiologis tersebut, maka sesungguhnya dalam kehidupan
sosial, terutama pada daerah pedesaan di Maluku Tengah, terdapat tiga
pengelompokan masyarakat, yaitu Anak Negeri Sarani, Anak Negeri Salam, dan
Orang Dagang. Perekat sosial antar satu kelompok dengan kelompok lainnya,
berbeda-beda. Perekat sosial yang mengikat hubungan sosial Anak Negeri Sarani
dan Anak Negeri Salam, antara lain yang menonjol ialah nilai-nilai budaya Pela atau
Gandong yang diyakini mempunyai kekuatan supranatural yang sangat
mempengaruhi perilaku sosial kedua kelompok masyarakat ini.
Wujud keterikatan budaya ini secara praktis terlihat dari sifat kegotong-royongan
antar kedua Negeri yang mempunyai hubungan pela atau gandong. Sifat
kegotong-royongan ini dalam realitasnya memasuki area identitas kelompok yang
sensitif, yaitu dalam hal pembangunan rumah ibadah, dimana Negeri Sarani merasa
wajib untuk menyiapkan bahan bangunan (biasanya kayu) dan bersama-sama
membangun mesjid. Demikian sebaliknya, Negeri Salam merasa wajib untuk
menyiapkan bahan bangunan dan bersama-sama membangun gereja.
Kewajiban ini didasari atas rasa kewajiban sosial, moral dan ritual, sama sekali tidak
ada nuansa ekonomi di dalamnya. Kewajiban yang bernuansa sosial, moral dan ritual
ini, tidak mengurangi ataupun mengganggu kepatuhan terhadap ajaran agama yang
dianut oleh Anak Negeri tiap Negeri yang berbeda agama ini, bahkan mempertebal
rasa saling menghargai perbedaan agama antar kedua Negeri tersebut.
Pola hubungan Anak Negeri dengan Orang Dagang, dipererat oleh kepentingan
ekonomi, dari masing-masing kelompok. Sehingga yang menjadi perekat hubungan
sosial antarkedua kelompok masyarakat ini bukan agama, tetapi transaksi ekonomi.
Hal ini terjadi, karena pada umumnya Orang Dagang yang terbanyak berasal dari
Buton, mendiami dan menggarap lahan milik petuanan Negeri Sarani. Sedangkan
Orang Dagang asal Negeri lain, pada umumnya pola hubungan sosial dengan Anak
Negeri direkatkan oleh kekerabatan karena perkawinan atau pekerjaan sosial lain.
Sebab itu, pandangan Anak Negeri terhadap Orang Dagang yang berasal dari Negeri
lain, berbeda dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Orang Dagang dari
Negeri lain, masih dilihat sebagai suatu kesatuan budaya, sedangkan terhadap Orang
Dagang dari luar Maluku Tengah, dilihat sebagai pendatang dan orang di luar
kesatuan budaya.
Karena itu, ada perlakuan yang berbeda dari Anak Negeri terhadap Orang Dagang
yang berasal dari Negeri lain dengan yang berasal dari luar Maluku Tengah. Namun
ada perlakuan yang sama kepada kedua sub kelompok Orang Dagang ini, ialah
keduanya tidak diberi hak dalam penguasaan Tanah Dati atau Tanah Negeri.
Pola hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Maluku Tengah
sudah mengandung potensial konflik, karena adanya sentimen kelompok, baik dalam
konteks Salam-Sarani, Anak Negeri-Orang Dagang, maupun secara kesatuan
budaya. Namun demikian, sentimen kelompok ini tereliminasi dengan kearifan budaya
lokal maupun kepentingan ekonomi yang substitusional dalam batasan kewajaran,
sehingga konflik sosial tidak termanifest.
Dengan kata lain, potensi tersebut dapat diredam dan mengendap pada bagian
terdalam struktur kepribadian masyarakat, karena institusi sosial budaya lokal masih
berfungsi dengan baik sebagai katup pengaman yang mampu meminimalkan eksplosi
sosial yang bernuansa primordial. (SH/izaac tulalessy)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|