SINAR HARAPAN, Senin, 22 Agustus 2005
Peringatan HUT Ke-60 Provinsi Maluku
Kemeriahan di Tengah Penderitaan Pengungsi
Oleh Izaac Tulalessy
AMBON — Pada tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah kemerdekaan Indonesia,
Ibu Pertiwi Indonesia melahirkan delapan provinsi pertama, yaitu Sumatera, Borneo,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Celebes, Sunda Kecil dan Maluku. Prinsip
pembagian wilayah-wilayah negara atas provinsi-provinsi adalah prinsip Gubernadi,
suatu prinsip yang berasal dari hukum Romawi yang merujuk pada peningkatan
kesejahteraan rakyat di daerah-daerah oleh Pemerintah Provinsi.
Dasar hukum dari prinsip Gubernadi ini dianut pada konstitusi kita, Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 18, Pasal II Aturan Peralihan dan Peraturan Pemerintah No
02/1945, serta Pengumuman Pemerintah yang tercantum dalam Berita Negara
Indonesia Tahun II Nomor 7, Halaman 48, kolom 2.
Delapan provinsi pertama ini dipimpin oleh Mr. Teuku Muh. Hassan (Gubernur
Sumatera), Ir. Pangeran Muh. Noor (Gubernur Borneo), Sutardjo Kartohadikusuma
(Gubernur Jawa Barat), R.P. Suroto (Gubernur Jawa Tengah), R.M.T.A. Sutyo
(Gubernur Jawa Timur), Dr. G.S.S.J. Ratulangi (Gubernur Celebes), Mr. I. Gusti Ketut
Pudja (Gubernur Sunda Kecil), dan Mr. Johanes Latuharhary (Gubernur Maluku).
Kelahiran delapan provinsi pertama itu ditanggapi oleh generasi penerus di Maluku
sebagai wujud nyata untuk tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dituangkan dalam Peraturan
Daerah (Perda) Provinsi Maluku No 13/2005 tentang penetapan tanggal 19 Agustus
2005 sebagai hari ulang tahun pertama Provinsi Maluku dalam usia yang ke-60.
Maluku kini memasuki usianya yang ke-60. Meski bukan usia yang remaja lagi, ini
baru pertama kali terdengar di telinga masyarakat Maluku. Anehnya, bukan
masyarakat yang terkesan gamang, namun justru pemerintahnya yang terkesan
gamang untuk merayakannya.
Sejak awal perencanaannya telah menimbulkan pro dan kontra, sebab di balik
kemeriahan perayaan HUT ke-60 Provinsi Maluku 19 Agustus lalu yang dipusatkan di
Lapangan Merdeka, Ambon, terdapat sejumlah permasalahan. Hingga saat ini masih
ada masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, masih ada anak-anak yang
mengalami kurang gizi, pendidikan yang terpuruk, ketertinggalan pembangunan, serta
yang paling penting masalah pengungsi yang hingga saat ini belum kunjung usai.
Mana Perda Pengungsi?
Banyak orang yang tertawa melihat meriahnya perayaan yang berlangsung sejak
pukul 14.00 – 24.00 WIT tersebut yang juga menghadirkan sekitar 100 artis dari
Jakarta serta berbagai tarian yang dibawakan oleh sekitar 1.000 siswa SMA di Kota
Ambon, sementara para pengungsi masih menangis di balik dinding-dinding tempat
penampungan pengungsi.
Hingga saat ini tercatat sekitar 15.788 Kepala Keluarga (KK) pengungsi yang
penanganannya harus selesai paling lambat 15 September 2005, dan ada 46 persen
masyarakat Maluku yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Yang sangat aneh,
anggaran yang konon mencapai angka miliaran rupiah yang bersumber dari APBD
Provinsi Maluku tersebut sangat cepat disediakan, namun anggaran untuk
penuntasan masalah pengungsi serta masalah-masalah lain yang masih
membelenggu rakyat justru tak pernah disediakan dengan cepat.
Di sisi lain, pemerintah maupun DPRD Provinsi Maluku sangat cepat melandasi
perayaan tersebut dengan membuat dan mensahkan Peraturan Daerah Provinsi
Maluku No 13/2005 tentang penetapan tanggal 19 Agustus 2005 sebagai hari ulang
tahun pertama Provinsi Maluku dalam usia yang ke-60. Pembahasannya pun tak
sampai dua pekan sudah diplenokan, kemudian disahkan.
Sementara itu keinginan para pengungsi yang membuat Perda tentang pengungsi
justru hingga saat ini tidak diperhatikan oleh pemerintah maupun DPRD Provinsi
Maluku. Perayaan HUT ke-60 Provinsi Maluku memang bukan hal yang mubazir,
namun perayaannya dilaksanakan pada momentum yang tidak tepat. Adalah sangat
tepat, jika perayaan ini diadakan ketika masalah-masalah yang membelenggu
masyarakat Maluku telah diselesaikan, khususnya masalah pengungsi.
Sebaiknya setiap kebijakan yang dikeluarkan bersandar pada kebajikan moral dan
logika rasional. Membangun bukan sekadar untuk gagah-gagahan, tetapi untuk
mencapai kesejahteraan. Oleh karena itu, adalah suatu kebajikan jika kebijakan yang
kita tempuh dapat bermanfaat bagi mayarakat. Jika tidak, itulah kesia-sian dan
pemborosan. n
Copyright © Sinar Harapan 2003
|