SINAR HARAPAN, Rabu, 27 Juli 2005
Pembacaan Historis Jihad yang Terlalu Tekstual
Oleh Yusuf Burhanudin
Munculnya kekerasan, terorisme, konflik antaragama yang tak kunjung usai, meminta
perenungan tiada henti bagi umat Islam. Kekerasan acap menggunakan dalih agama
sebagai pembenar. Dengan memaknai kenyataaan peperangan dalam jihad historis
sebagai hukum legal untuk menindas dan membantai kelompok lain yang berbeda.
Saya cenderung menyebut tipologi jihad di atas tidak lebih sebagai melegitimasi
kekerasan – karena konteks historis yang berbeda—berdasarkan doktrin agama.
Doktrin agama ideal dan otentik pada hakikatnya mesti menyesuaikan diri dengan
setting dan kesejarahan masyarakat tertentu dalam masa tertentu pula. Di sini kita
mesti membedakan jihad doktrin (jihad yang diperintahkan agama) dengan jihad
historis di mana intrepetasi sejarah memonopoli pengertian jihad secara tunggal.
Peperangan Rasulullah dan para sahabatnya, menurut pemahaman di atas,
merupakan makna jihad yang selaras dan satu-satunya. Akibatnya, terminologi ini
merasa harus dihadirkan setiap saat meski dalam kondisi damai. Seolah nuansa
sebilah pedang dan pekik 'Allahu Akbar' adalah wajah Islam yang heroik dan
dikehendaki Rasulullah Saw.
Kita mesti lebih mencermati jihad historis ini mengingat tidak semua jihad tipe ini
berlandaskan ijtihad yang benar. Tetapi, lebih didasarkan pada pertimbangan politik
dan kekuasaan. Seperti dalam perang Shiffin/Jamal antara pasukan Ali bin Abi Thalib
dan Mu'awiyyah (40-41 H.) di mana Siti Aisyah berada di dalamnya. Peperangan ini
memakan korban banyak dari kedua belah pihak umat Islam. Zubair bin Awwam dan
Thalhah bin Ubaidillah, dua ulama besar, tewas dalam peperangan itu.
Akibat, Bukan Sebab
Jihad doktrin dalam arti perang, tiada lain bentuk kekerasan balik sebagai upaya
pembelaan diri atas berbagai penindasan dan penganiayaan yang bersifat fisik secara
massal. Inilah kondisi di mana jihad dalam arti salah satunya, direstui. Meski dalam
pelaksanannya, banyak kode etik yang mesti dipatuhi seperti tidak boleh membunuh
orang tua, pemuka agama (rahib maupun pendeta), anak-anak, wanita, merusak
tempat ibadah, membakar tanam-tanaman, maupun menyembelih binatang kecuali
untuk dimakan.
Jihad perang yang disyariatkan bukanlah menyerang rakyat sipil tak berdosa,
melainkan kamp-kamp militer musuh. Pendeknya, jihad perang adalah akibat bukan
sebab. Jihad bukanlah menghalalkan kekerasan demi menegakkan syariat Islam
melainkan muncul ketika ada penganiayaan oleh pihak lain.
Jangankan kekerasan, pemaksaan apapun yang dilakukan umat Islam terhadap umat
lain adalah terlarang. Fenomena inilah yang disebut Alquran sebagai ikrah,
memaksakan kehendak pada orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Islam
melarang ikrah –meminjam istilah M. Imarah, pemikir Muslim Mesir—karena hanya
menunjuk kedunguan dan ketidakcerdasan umat Islam dalam beragama.
Pengingkaran dalam pengamalan syariat agama, tidak selamanya mesti dilawan
dengan kekerasan. Pilihan yang pertama tiada lain bentuk ekspresi skeptis pemeluk
beragama dalam menyikapi berbagai patologi sosial. Sebuah kondisi di mana agama
kehilangan akal sehat. Alquran menyuruh kita berdakwah dengan cara yang bijak.
Dalam berdialog dengan umat lain, Alquran juga menyuruh kita melakukannya dengan
cara yang lebih baik.
Terlalu Tekstual
Apabila agama menyuruh berbuat amar ma'ruf nahyi munkar, sama sekali bukanlah
rekomendasi agama untuk bersikap keras dan anarkis. Tetapi pengertian yang
memaknakan peran check and balance agama dalam mengawasi berbagai patologi
sosial yang muncul ke permukaan. Terlebih dalam konteks negara yang beradab,
seyogianya juga dengan keharusan menghormati asas-asas konstitusi sebagai
bentuk kesepakatan etis dan kontrak sosial bersama.
Jelas kekerasan bukan murni berasal dari doktrin agama (baca: Islam doktrin),
melainkan dari pembacaan historis jihad yang terlalu tekstual. Perlu pembacaan
ulang secara seksama perjalanan sejarah umat Islam selama ini terutama setelah
Rasulullah Saw. Wafat, di mana instabilitas politik kerap mewarnai perjalanan umat
Islam.
Hal ini penting agar kita tidak terjebak mengikuti akibat yang terjadi, tetapi lebih
kepada mempelajari berbagai penyebab yang mengitarinya agar kemudian konflik
antarsesama itu bisa dihindari sejak dini. Saat ini kita hidup di masa perdamaian dan
kesejajaran semua bangsa dan umat manusia lebih sering berkumandang.
Sebagai pengibrah sejarah yang cerdas, hendaknya kita tidak terperosok ke lubang
yang sama lebih dari dua kali. Kita mesti berani beranjak dari sejarah perang dan
ekspansif ke era perdamaian.
Kenyataan di atas mengamanahkan kepada kita bagaimana menerjemahkan secara
arif kondisi "kekerasan absolut" dan "perdamaian absolut". Artinya, apapun yang
terjadi Islam harus bersikap keras terhadap yang lain maupun pemahaman. Apapun
yang terjadi Islam harus tunduk kepada penganiayaan pihak lain semata alasan
perdamaian.
Dua sikap ini tidak mencerminkan keadilan dan kesejajaran kemanusiaan yang justru
terselip rapih dalam ajaran Islam.
Penulis adalah Ketua Umum Perwakilan PERSIS Mesir.
Copyright © Sinar Harapan 2003
|