SINAR HARAPAN, Selasa, 30 Agustus 2005
Menara Maluku di Balik Pengungsi yang Telantar
Oleh Izaac Tulalessy
AMBON—Memasuki Pulau Ambon melalui darat maupun laut, tentunya kita akan
melewati daerah yang disebut Tanjung Alang. Daerah ini bahkan disebut sebagai
pintu masuk ke Pulau Ambon. Begitu strategisnya daerah ini, sehingga Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Maluku berniat membangun sebuah menara yang diberi nama
Menara Maluku.
Menara Maluku sebagai lambang kejayaan dan kebersamaan masyarakat di kawasan
Tanjung Alang. Lokasinya di Bukit Bandera, Desa Alang, Kecamatan Leihitu,
Kabupaten Maluku Tengah. Tinggi bukit tersebut sekitar 83 meter dari permukaan
laut, luas permukaan bukit sekitar 30 x 80 meter persegi. Bukit ini terlihat dari kota
sebagai pintu masuk/keluar melalui laut dari udara dari atau ke pusat Kota Ambon.
Bukit ini terletak sekitar 10 km dari Bandara Pattimura.
Desain Menara, menurut keinginan Pemprov Maluku, harus dapat mengakomodasi
nilai-nilai persatuan, perdamaian, kesejahteraan, keadilan, demokrasi yang berbasis
pada semangat Hidup Orang Basudara (Persaudaraan dan Masohi (Gotong royong).
Desain Menara mencerminkan tanggal, bulan dan tahun lahirnya Provinsi Maluku,
yaitu 19 Agustus 1945, dengan tinggi 45 meter.
Sang pemenang sayembara rancangan Menara Maluku yaitu PT Han Awal & Patners
Architect dari Jakarta, yang memperkirakan kebutuhan anggaran sebesar Rp 25
miliar, dengan sentuhan-sentuhan modern. Kelak jika menara dibangun, akan
dilengkapi dengan sejumlah fasilitas yang mendukung sektor pariwisata.
Di malam hari pun Menara Maluku tidak akan gelap gulita karena rangkaian lampu
telah dirancang sehingga menara dapat terlihat dari pusat Kota Ambon yang berjarak
sekitar 46 km. Sentuhan budaya tradisional pun dapat terlihat pada
bangunan-bangunan pendukung yang akan dibangun di sekitar menara tersebut.
Masalah Pengungsi
Di lain pihak, para pengungsi di Provinsi Maluku yang hingga saat ini masih tinggal di
barak-barak pengungsi sangat menyesali rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Maluku untuk membangun Menara Maluku. "Bagaimana mungkin membangun
menara yang hanya simbol semata sementara persoalan pengungsi belum tuntas,"
tegas Koordinator Koalisi Pengungsi Maluku (KPM), Pieter Pattiwaelapia, kepada SH
di Ambon, pekan lalu.
Seperti diketahui, target pemerintah untuk menyelesaikan persoalan pengungsi
hingga akhir tahun 2005. Artinya, pada waktu itu pengungsi harus sudah
meninggalkan barak dan kembali ke rumah asal mereka. "Di lapangan bertumpuk
persoalan menyangkut pengungsi sehingga target tersebut tidak relevan dengan
realitas yang terjadi," katanya.
Menurut Pattiwaelapia, pembangunan Menara Maluku saat ini tidak terlalu penting.
"Selesaikan dulu masalah pengungsi baru ada rencana tambahan seperti itu.
Bagaimana kalau anggaran pembangunan Menara Maluku sebesar Rp 25 miliar
tersebut dipakai saja untuk bangun rumah-rumah pengungsi yang belum ada. KPM
tidak sejutu dengan rencana pembangunan Menara Maluku," tegasnya.
Selain itu, kata Pattiwaelapia, perayaan HUT ke-60 Provinsi Maluku pada 19 Agustus
lalu justru oleh Pemprov Maluku dirayakan dengan sangat meriah dan glamour,
bahkan diwadahi dengan Peraturan Daerah (Perda). Sementara itu persoalan
pengungsi yang sangat penting justru tidak dibuatkan Perda.
Diakuinya, selama ini pemahaman kalangan legislatif dan eksekutif di Maluku
terhadap pengungsi hanya sebatas masalah konflik. "Perda itu tidak hanya untuk
pengungsi saat konflik tetapi juga untuk bencana alam. Hal itu bukan berarti kita ingin
terjadi bencana, tetapi minimal melalui mekanisme penanganan pengungsi bisa
terwadahi dengan baik dan benar," jelasnya.
Anggaran miliaran rupiah selama ini telah terkucur, namun penyelesaian masalah
pengungsi Maluku belum juga tuntas. Sebanyak 15.788 kepala keluarga (KK) masih
tinggal di tempat-tempat pengungsian, padahal targetnya persoalan ini tuntas pada 15
September mendatang.
Sebenarnya itu adalah target yang kesekian kalinya. Sebab janji demi janji terus
dikumandangkan, baik saat pemerintahan dipegang oleh mantan Irjen Departemen
Dalam Negeri Sinyo Harry Sarundajang (sekarang Gubernur Sulawesi Utara), hingga
Gubernur Maluku saat ini, Karel Ralahalu.
Sarundajang pernah menetapkan penanganan pengungsi berakhir pada Desember
2002, namun kemudian diundur hingga akhir tahun 2003. Saat Ralahalu menjabat
gubernur, masalah ini juga diundur sampai akhir April 2004, dan sampai sekarang
persoalan belum juga terselesaikan.
Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Maluku, pada akhir tahun
2003 pengungsi yang masih tersisa 36.878 KK atau 188.109 jiwa. Menjelang tutup
tahun 2003, pemerintah pusat mengucurkan dana Rp 30 miliar yang bersumber dari
Anggaran Belanja Tambahan (ABT). Padahal sebelumnya dalam tahun yang sama,
Rp 176 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) cair untuk
pengungsi Maluku.
Tahun 2004, dana Rp 86 miliar dari APBN juga dicairkan. Lagi-lagi masalah ini belum
menampakan hasil. Menurut pengakuan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi
Maluku, Chris Hehanusa, dana pengungsi yang disalurkan melalui pihaknya hampir
mencapai Rp 500 miliar. Itu belum termasuk dana bantuan luar negeri lewat Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) asing maupun lokal serta pemerintah daerah. (*)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|