SuaraKarya, Selasa, 30 Agustus 2005
Agama
Wapres: Hentikan Penutupan Gereja
JAKARTA (Suara Karya): Wakil Presiden Jusuf Kalla menyerukan agar penutupan
maupun perusakan terhadap sejumlah gereja di beberapa tempat oleh sekelompok
kecil umat segera dihentikan.
"Ini harus kita internalisir, katakanlah mengendalikan dan menahan jangan sampai
terjadi seperti ini lagi. Kekerasan seperti ini menjadi tanggung jawab kita semua untuk
menghentikannya," katanya saat bersilaturahmi dengan puluhan tokoh dan pimpinan
ormas Islam di Gedung Dakwah Muhammadiyah Jakarta, Senin.
Wapres mengatakan, perbedaan pandangan tidak harus diselesaikan dengan cara
merusak tetapi bisa diselesaikan bersama supaya tidak menjadi bagian dari upaya
merusak persatuan bangsa. "Ini kesempatan baik bagi pemimpin umat untuk menjaga
dan memberi penjelasan kepada umat. Ini saya serukan agar kita bisa sama-sama
dapat melaksanakan itu," katanya.
Dia mencontohkan pengalaman yang pernah terjadi pada tahun 1990-an.
Dikatakannya, peristiwa perusakan gereja selalu terjadi di daerah mayoritas Islam dan
pada tahun 1999 setelah Peristiwa Ketapang, lalu terjadi perusakan masjid yang
diikuti perusakan gereja.
Kemudian terjadi "pembalasan" di Kupang, masjid dibakar, lalu di Makassar gereja
balas dibakar dan juga di beberapa tempat lainnya. "Lalu terjadi balas-membalas di
Ambon, kemudian terjadi lagi kerusuhan di Papua, dibalas lagi di Jawa, ini kalau tidak
dihentikan bisa merembet panjang. Saya kira tidak ada satu pun di antara kita semua
yang suka dengan kejadian ini," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Wapres, pemerintah mengharapkan para pemimpin umat dan
tokoh ormas Islam mampu mengendalikan umatnya. "Tadi malam kita sudah bicara,
polisi harus tegas sekarang," katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kasus
penutupan rumah yang digunakan sebagai tempat peribadatan harus betul-betul
dicarikan solusi yang terbaik.
"Petunjuk Presiden, kita harus betul-betul memberi solusi yang terbaik," kata Menteri
Agama Maftuh Basyuni, usai bertemu Presiden di kantor Presiden, Jakarta, Senin,
untuk menjelaskan hasil pertemuannya bersama Kapolri dengan perwakilan PGI
(Persekutuan Gereja Indonesia) dan KWI (Konferensi Wali Gereja).
Selain dihadiri oleh Maftuh Basyuni dan Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto, pertemuan itu
juga diikuti oleh Menkopolhukam Widodo AS dan Seskab Sudi Silalahi.
Sementara itu, Menkopolhukam Widodo AS menjelaskan bahwa pertemuan
menyimpulkan agar dalam menyelesaikan kasus itu harus dikembalikan kepada
aturan yang ada, mengembangkan toleransi kehidupan antar umat beragama, serta
mencegah hal-hal yang bersifat anarkis.
Sedangkan Kapolri Jenderal (Pol) Sutanto meminta agar masyarakat tidak terpancing
oleh isu-isu yang tidak benar. Ia mengatakan, beberapa waktu lalu berkembang isu
penutupan serentak gereja di Bandung dan Tangerang. "Kenyataannya tidak
demikian," kata Sutanto.
Sementara itu aparat keamanan mengamankan agar tidak terjadi bentrok fisik.
"Sehingga tidak ada masalah apapun seperti yang diisukan bahwa telah terjadi
kerusakan. Jangan terpancing isu tidak benar," kata Sutanto.
Sutanto juga meminta agar kedua belah pihak mentaati aturan yang ada. Ia
mengatakan bahwa saat ini ada SKB dua menteri tersebut. Selain itu juga ada
peraturan lainnya yang mengatur tindakan seseorang.
Sementara itu, Ketua DPP Bidang Agama Partai Golkar, Yahya Zaini menegaskan,
apapun cara-cara kekerasan kepada umat beragama dan tempat peribadatan tidak
bisa dibenarkan. "Sebaliknya, kita harus menghormati perbedaan agama dan
kemajemukan," katanya.
Yahya Zaini menegaskan, aparat kepolisian harus segera merespon dan mengambil
tindakan tegas, sehingga tidak justru meluas ke tempat atau daerah lain. "Kalau tidak
segera diantisipasi, fenomena perusakan dan penghentian beribadah tersebut bisa
merembet ke mana-mana. Jadi, harus ditindak dan tidak bisa ditolerir," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR Effendy Choirie
menegaskan, pihaknya mengutuk tindakan merusak rumah ibadah karena hal itu
tidak menghormati kebhinekaan dan keragaman.
Bahkan, Effendy menilai, sikap tersebut dapat mengancam keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). "Membuat orang lain takut untuk beribadah itu
jelas bertentangan dengan substansi beragama," katanya.
Menurut Effendy, jika SKB menteri dijadikan alasan perusakan dan penghentian
peribadatan, pihaknya mengusulkan untuk dicabut, apalagi SKB tersebut tidak bisa
dijadikan dasar hukum. Pemerintah, lanjut dia, harus memberikan fasilitas untuk
seluruh pelaksanaan ibadah dan kelompok mayoritas harus melindungi kaum
minoritas. "Dan tidak ada alasan kelompok mayoritas takut kepada kaum minoritas,"
ujarnya. (Yons AR/Hanif Sobari/Joko Sriyono/Indra
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
|