SUARA PEMBARUAN DAILY, 20 Juni 2005
Presiden Kecewa pada Hendropriyono
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kekecewaannya atas
ketidakhadiran mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono
menanggapi undangan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir.
Pembentukan TPF sebenarnya merupakan bentuk keseriusan pemerintah menangani
kasus kematian Munir dan TPF sendiri dibentuk sebagai perpanjangan tangan otoritas
presiden.
Kekecewaan Presiden itu disampaikan Ketua Tim TPF Brigjen Polisi Marsudhi Hanafi,
seusai pertemuan dengan Presiden di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/6) pagi.
"Presiden Yudhoyono menilai jika kasus ini tidak terungkap juga, berarti kita tidak
mengalami kemajuan apapun, dan akan sama dengan yang sebelumnya," ucap
Marsudhi.
Menurut Marsudhi, Presiden mendukung penuh tugas TPF yang akan berakhir 23 Juni
mendatang.
Dia menambahkan, TPF juga memberi masukan agar tidak perlu diperpanjang masa
kerjanya, dan perkara ini segera diserahkan kepada penyidik Polri.
TPF hanya mengusulkan dibentuknya semacam badan dengan tugas mengawasi
kelanjutan penyidikan perkara ini.
Rekomendasi TPF sendiri secara lengkap tengah disusun, dan laporan akhir akan
diserahkan kepada Presiden sebagai pemberi mandat.
Perhatian Internasional
Sementara itu Suciwati, isteri Munir mengatakan, kasus kematian mendiang
suaminya itu telah menjadi perhatian dunia internasional, khususnya yang peduli
dalam upaya penegakan hak asasi manusia. Karena itu, dia berharap agar
pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang serius dalam upaya pengungkapan
kasus itu.
"Kasus kematian Munir ini telah menjadi sorotan dunia internasional. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono seharusnya risih dan menunjukkan komitmennya untuk kasus
ini," kata Suciwati kepada pers di Jakarta, Jumat lalu. Dia didampingi sejulah anggota
Solidaritas Pembela HAM Indonesia.
Dukungan dunia internasional dalam pengungkapan kasus kematian Munir itu
diperoleh Suciwati setelah dia melakukan perjalanan ke sejumlah negara.
Perjalanan dilakukan pada 4-14 Juni 2005. Negara yang dikunjungi adalah Amerika
Serikat dan Austria atas undangan The Carter Center dan Human Right First, yang
bekerjasama dengan Pengawas HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa Louis Arbour.
Menurut Suciwati, banyak tokoh pemerhati masalah penegakan HAM di dunia yang
merasa prihatin terhadap sejumlah kendala dalam pengungkapan kasus Munir.
Dukungan yang dilakukan para tokoh HAM dunia antara dengan menandatangani
petisi, penggalangan dana, serta aksi keprihatinan.
"Dukungan yang sangat besar terutama kami peroleh di Austria. Masyarakat di sana
betul-betuk merasa peduli terhadap pengungkapan kasus ini," tuturnya.
Di tempat terpisah, pakar hukum komunikasi dari Universitas Indonesia, Prof Dr
Budyatna mengatakan, telah terjadi salah komunikasi antara TPF kasus Munir
dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono.
"Menurut saya, telah terjadi kesalahpahaman antara TPF dan Hendro akibat tidak
terjalin komunikasi yang baik. Akibatnya, kedua pihak saling menuding sehingga
menimbulkan prasangka yang buruk," katanya.
Mantan dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI itu berharap agar
kedua pihak, TPF dan Hendropriyono, mau segera mengakhiri polemik yang
berkepanjangan tersebut. Untuk itu, keduanya diminta untuk berjiwa besar mau
mengakui kekurangan masing-masing.
Salah satu masalah komunikasi yang buruk dalam kasus itu, menurut dia, adalah
soal undangan TPF kepada mantan kepada BIN itu yang waktunya terlalu singkat.
Menurut Budyatna, hal itu yang membuat Hendropriyono tidak dapat memenuhi
undangan TPF. (Y-3/O-1)
Last modified: 20/6/05
|