SUARA PEMBARUAN DAILY, 22 Agustus 2005
Belum Ada Kemerdekaan bagi Warga Poso
TIDAK semua anak bangsa ikut bergembira menyambut 60 tahun kemerdekaan
Republik Indonesia (RI). Banyak yang sedang menderita dan menangis, karena lebih
dari separuh abad negeri ini merdeka mereka belum merasakan nikmatnya hidup di
alam kemerdekaan.
Anak negeri di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng), contohnya, merasakan seperti
masih hidup di alam penjajahan. "Teror ledakan bom, penculikan, hingga penembakan
misterius mewarnai hidup kami. Inikah arti kemerdekaan itu?" kata Yohanes Agan
(40), seorang warga Poso.
Ayah dua anak itu, bersama istrinya, sudah tiga tahun terpaksa hidup berkebun
palawija di hutan Desa Bakubakulu, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala.
Sebelumnya ia tinggal di Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir. Namun pada 2002,
desa mereka diserang orang tak dikenal. Rumah-rumah penduduk habis dibakar, dan
sebagian warganya dibunuh.
"Sesekali saya pulang ke Masani untuk melihat apakah kami sudah bisa tinggal lagi
di sana. Tapi, dengan kondisi sekarang, kelihatannya belum ada jaminan keamanan
untuk bisa hidup tenteram dan damai di Poso," ujar Yohanes yang lolos dari serangan
maut itu.
Dua Pahlawan
Konflik Poso sudah memakan waktu hampir tujuh tahun sejak pecah Desember 1998.
Konflik bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tersebut telah
memakan korban jiwa dan harta benda yang tak terkira. Diperkirakan lebih dari 1.000
orang tewas dibunuh pelaku teror di Poso. Ironisnya, negara tak memiliki kuasa
membendung aksi terorisme itu dan melindungi warganya dari ancaman maut.
Peristiwa tragis di Poso paling dekat dengan ingatan terjadi 28 Mei lalu. Dilaporkan 22
orang tewas terkena ledakan bom di Pasar Tentena, dan sampai sekarang tak
diketahui siapa pelakunya.
Tidak hanya itu, warga Poso yang berani menjadi saksi mengungkap jaringan
kejahatan dan teror di Poso, ikut dihabisi nyawanya. Budianto dan Sugito, contohnya.
Warga Kecamatan Poso Kota itu tewas dihabisi penembak misterius di Poso.
Keduanya diketahui banyak memberikan informasi kepada polisi tentang jaringan
terorisme di Poso.
Kapolda Sulteng Brigjen Pol Aryanto Sutadi mengatakan, Budianto dan Sugito tewas
sebagai pahlawan. Keduanya pantas diberi penghargaan oleh negara. "Saya
mengusulkan mereka diberi penghargaan karena mati untuk mengungkap kebenaran,"
ujar Aryanto di Palu baru-baru ini.
Budianto dan Sugito ditembak secara terpisah oleh orang tak dikenal pada Rabu
malam (3/8) dan Kamis dini hari (4/8). Budianto ditembak saat tengah makan malam
bersama istrinya di kios di depan rumahnya di Kelurahan Gebang Rejo, sedangkan
Sugito ditembak saat hendak pergi salat subuh di Musala Alfajar, juga di Kelurahan
Gebang Rejo.
Persoalan Poso yang tak kunjung berakhir telah menjadikan daerah penghasil kayu
hitam (ebony) terkenal di dunia itu, sampai sekarang seperti berbalut "perang". Mudah
menjumpai serdadu TNI/Polri dengan pakaian dan bersenjata lengkap, setiap hari
mengawasi gerak-gerik warga Poso, dan siap menciduk orang-orang yang patut
dicurigai.
Jumlah TNI/Polri yang disiagakan di Poso mencapai sekitar 3.500 personel untuk
melaksanakan tugas pemulihan keamanan. Melihat kenyataan tersebut, ancaman
disintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya dari
Aceh dan Papua.
Poso, yang pernah men- jadi salah satu basis gerakan pemberontakan Permesta
(tahun 1960-an) saat ini sedang merasa integrasi dengan NKRI terancam, jika konflik
Poso terus dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian.
Titik Nadir
Dosen Pascasarjana Universitas Tadulako (Untad) Palu, Dr Christian Tindjabate
mengatakan, konflik Poso tidak boleh lagi dipandang sebelah mata terutama dari
aspek penanganannya.
"Kondisi Poso sudah berada di titik nadir. Orang tak lagi takut membunuh jika
kepentingannya tidak terlaksana. Ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa,"
katanya.
Ia berpendapat, konflik Poso bisa diselesaikan dengan mendudukkan semua pihak
yang terkait konflik dalam satu wadah bersama dan menyatukan semua pemikiran
untuk mencari solusi terbaik bagi pemulihan keamanan daerah itu.
"Kami di Untad sedang menyusun suatu kajian tentang upaya solusi konflik dan
masa depan Poso," ujar alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2002 itu.
Direktur Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Palu, Arianto Sangaji mengatakan, problem
utama yang dirasakan warga Poso dan Indonesia di usia 60 tahun kemerdekaan ini
yakni hilangnya rasa aman dan melemahnya pluralisme di tengah masyarakat.
"Orang mudah saja dibunuh tanpa alasan, dan negara tak punya kuasa melindungi
warganya," katanya.
Kondisi itu terjadi karena aparat di satu sisi juga telah menjadi bagian dari masalah
yang terjadi. Berbagai tindak kekerasan, pelanggaran HAM yang dilakukan aparat,
menjadi salah sumber penyebab kekisruhan di negeri ini.
Pada sisi lain, Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) Palu Muamar,
menyatakan optimistis kemelut bangsa saat ini bisa diselesaikan melalui penerapan
kebijakan yang lebih terbuka dan partisipatif dengan masyarakat.
"Di era reformasi ini sudah lebih banyak pilihan. Tinggal sistem hukum yang
diperkuat, berantas korupsi, kolusi, nepotisme, serta bentuk pemerintahan yang kuat
dengan meninggikan kedaulatan rakyat. Jika ini dilakukan, percayalah kita bisa keluar
dari masa krisis ini," ujarnya.
Direktur Walhi Sulteng Supardi Lasaming menggarisbawahi ke depan produk
kebijakan pemerintah hendaknya tidak lagi mendua.
Pada satu sisi kebijakan dikeluarkan untuk kepentingan rakyat banyak, pada sisi lain
diproduksi untuk melindungi kepentingan sekelompok orang.
Momentum 60 tahun kemerdekaan RI harus menjadi suatu cermin bangsa untuk
melihat ke depan dalam memaknai kemerdekan secara sungguh-sungguh dengan
mengembalikan kedaulatan rakyat secara nyata. PEMBARUAN/JEIS MONTESORI S
Last modified: 22/8/05
|