TEMPO, Edisi. 28/XXXIV/05 - 11 September 2005
Laporan Utama
Sebatang Salib yang Dikunci
KASUS penutupan gereja di sejumlah daerah dalam waktu singkat berkembang
menjadi isu nasional. Sidang kabinet terbatas langsung digelar Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Hasilnya, Surat Keputusan Bersama Dua Menteri perlu ditinjau
ulang. Adakah agenda tersembunyi di balik kasus ini?
Seharusnya sore itu akan menjadi acara perpisahan yang mengesankan bagi jemaat
gereja di Kampung Sukabirus, Dayeuh Kolot, Bandung, dengan Pendeta Yuyun
Noormalia. Masa tugas Yuyun sudah berakhir. Oleh sinode, dia ditarik kembali ke
Jakarta. Ruangan disiapkan. Bangku-bangku sudah ditata, dan mimbar telah siap di
ruangan. Di dinding, salib suci tergantung rapi.
Tetapi acara itu tak jadi berlangsung. Menjelang sore, Senin dua pekan lalu, rumah
yang difungsikan sebagai tempat pribadatan itu didatangi puluhan orang dari Aliansi
Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) dan Barisan Anti-Pemurtadan (BAP). Dikomandani
oleh H Muhammad Mu'min, mereka memasuki ruangan menemui Yuyun. "Jumlah
mereka sekitar 50 orang," ujar Merry Kristiani, seorang pengurus gereja, kepada
Tempo pekan lalu.
Tujuan massa teramat jelas. Mereka minta kegiatan peribadatan di rumah itu ditutup.
Pihak gereja, yang diwakili 11 orang majelis jemaat, termasuk Yuyun, berusaha
memberikan argumentasi. Suasana menegang. Menurut Merry, yang mendengar
cerita dari Yuyun, di antara massa sempat ada yang menggebrak meja seraya
menggertak, "Mau damai atau perang?"
Tetapi tak terjadi kekerasan apaapa. Polisi, yang semula diundang guna
mengamankan acara perpisahan, kini beralih menjaga pertemuan dadakan itu.
Hasilnya, sore itu juga tak boleh lagi ada kegiatan peribadatan di sana. Bahkan acara
perpisahan dengan Pendeta Yuyun pun batal. "Kami lalu hanya melakukan doa
bersama," kata Merry.
Esoknya, penutupan itu ditegaskan oleh Agus Zakia, Camat Dayeuhkolot, dengan
menerbitkan sebuah surat keputusan. Hal itu dilakukan setelah digelar pertemuan
yang dihadiri musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) setempat, perwakilan
gereja, warga, dan AGAP. Alasan penutupan, rumah itu tidak dilengkapi izin sesuai
dengan Surat Edaran Bupati Bandung No. 4522/1994 tentang Persyaratan Pendirian
Rumah Ibadat.
Peristiwa Dayeuh Kolot itu adalah yang kesekian kalinya terjadi di Kota Kembang.
Dalam dua pekan terakhir sekurangnya sudah tiga rumah ibadah yang disegel. Selain
di Dayeuh Kolot, sebuah rumah ibadah di kawasan Cimahi dan Kompleks Margahayu
juga ikut ditutup muspika atas desakan warga.
Komandan AGAP, H. Muhammad Mu'min, mengakui bahwa total ada 23 rumah
ibadah yang telah mereka tutup dalam beberapa waktu terakhir. "Masih banyak lagi
yang akan kami tutup," katanya (lihat Kami Akan Menyandera Pendeta). Pria yang
sehari-hari dikenal sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPKP Bandung ini
beralasan, gereja yang mereka tutup telah melanggar SKB Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Tahun 1969 tentang pendirian rumah ibadah.
Kabar dari Bandung ini menyebar cepat. Semangat menutup rumah ibadah tak berizin
lekas menjalar ke berbagai arah. Di Tangerang, Banten, warga RW 11, Kelurahan
Larangan Utara, ramai-ramai mendatangi sebuah bangunan yang difungsikan sebagai
tempat ibadah umat Kristiani, Minggu pekan lalu.
Menurut Safrudin, Ketua RW 11, mereka mendatangi pengurus gereja di gedung itu
dan meminta agar kegiatan peribadatan tak diteruskan. Alasannya, bangunan yang
aslinya berupa gedung serbaguna itu disalahgunakan. "Mestinya mereka
menggunakan gedung itu sebagaimana fungsinya," kata Safrudin. Dia menolak
tindakan itu diartikan bahwa mereka telah mencederai kehidupan umat beragama.
"Dalam kejadian hari Minggu itu, kami menunggu sampai kebaktian mereka selesai."
Masih di pinggiran Jakarta, sebuah rumah kawasan Citeureup, Bogor, juga mengalami
nasib serupa. Menurut Ketua Umum Majelis Pekerja Harian Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Andreas A. Yewangoe, rumah ibadah itu
ditutup pada Agustus silam. Sebelumnya, pada April lalu, sebuah rumah ibadah di
Garut juga ditutup. Anderas mengungkap hal itu seusai menemui Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, Selasa 23 Agustus lalu.
Istana bereaksi. Senin pekan silam Presiden memanggil Menteri Koordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan, Widodo A.S., Menteri Agama Maftuh Basyuni, Panglima TNI
Jenderal Endriartono Sutarto, Kapolri Jenderal Sutanto, Kepala BIN Sjamsir Siregar,
dan Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, untuk sebuah rapat kabinet terbatas. Hasilnya,
Presiden meminta agar SKB dua menteri ditinjau kembali.
* * *
SKB yang diteken Menteri Agama K.H. Ahmad Dahlan dan Menteri Dalam Negeri
Amir Machmud pada 1969 itu tampaknya dianggap menjadi sumber kericuhan. Inilah
sebuah surat keputusan yang mengatur soal penyebaran agama, termasuk perihal
pendirian rumah ibadah. Di sana disebutkan bahwa untuk mendirikan rumah ibadah
diperlukan izin seorang kepala daerah. Dan jika diperlukan, kepala daerah bisa
meminta pertimbangan organisasi-organisasi keagamaan serta ulama atau rohaniwan
setempat.
Tidak hanya sekarang. Dari tahun ke tahun isu perlu-tidaknya SKB itu muncul
tenggelam sesuai dengan kejadian di masyarakat. Setiap meletup aksi
penggerudukan sebuah rumah ibadah, orang pun kembali melirik pada SKB tersebut
(lihat Secarik Kertas, Beragam Soal).
Kalangan minoritas menganggap SKB itu tak lagi sesuai dengan perkembangan
zaman. Beleid itu dianggap menjadi penghalang kaum minoritas mendirikan rumah
ibadah. Menurut Weinata Sairin M.Th., Wakil Sekretaris Umum PGI, sering mereka
sulit mendapatkan izin dari warga sekitar saat hendak mendirikan gereja. "Anda pasti
tidak percaya, kami butuh sekitar 20 tahun hingga perizinan keluar," katanya kepada
Mawar Kusuma dari Tempo.
Namun, karena ritus pemujaan terhadap Tuhan tak bisa menunggu, mereka lalu
memanfaatkan rumah tinggal, ruko, atau gedung serbaguna sebagai tempat ibadah.
Sairin mengakui, dari sekitar 15 rumah ibadah di Jawa Barat yang telah ditutup, baru
lima yang sudah berbentuk gereja. Sisanya merupakan gedung serbaguna. "Setelah
ditutup, di mana para jemaat itu bisa beribadah sekarang?"
Tetapi, di sisi lain, penggunaan bangunan nongereja untuk peribadatan acap
memercikkan benih curiga: gereja dituding melakukan Kristenisasi terhadap warga
sekitar. Apalagi, selain menyelenggarakan kebaktian, pengurus rumah ibadah juga
kerap menggelar kegiatan sosial. Mumammad Mu'min mempunyai catatan ribuan
warga Bandung sudah murtad kena pengaruh rumah-rumah ibadah. "Dua ribu kepala
keluarga di Pangalengan dan 500 kepala keluarga di Kecamatan Cimenyan,
Kabupaten Bandung, sudah murtad," katanya.
Tidak hanya kalangan minoritas yang setuju peninjauan SKB. Din Sjamsuddin, Ketua
Umum PP Muhammadiyah, ikut mengamini langkah Presiden itu. Dia mengusulkan
pendekatan hukum dan pendekatan kesepakatan untuk mencegah konflik di sekitar
pendirian rumah ibadah. Dia juga meminta agar etika sosial tetap dijaga kalangan
pemimpin agama. "Mendatangkan jemaah dari daerah lain di suatu komunitas umat
agama tertentu akan merusak harmoni sosial," katanya kepada Maria Ulfah dari
Tempo.
Sampai di sini SKB dua menteri menjadi teks dengan dua tafsir. Yang satu
menganggapnya sebagai penghalang penyebaran agama. Kelompok lain
menjadikannya sebagai pegangan untuk beraksi.
* * *
TAPI benarkah rumah ibadah menjadi basis pemurtadan? Pastor Rosbani Setiawan,
penanggung jawab rumah ibadah di Margahayu Raya, menepis tudingan itu. Dia
bahkan menunjuk penjaga parkir rumah ibadah itu yang muslim dan tak pernah
dimintanya pindah agama. Adapun di Gereja Hati Tak Bernoda Santa Perawan
Maria—tempat dia beraktivitas sehari-hari—sebagian besar karyawannya juga muslim.
"Sekian puluh tahun bekerja di sini, mereka masih salat. Tidak ada masalah."
Pastor Setiawan menggunakan rumah ibadah di Margahayu sejak 1986. Sebelumnya,
rumah tersebut dibelinya dari Haji Azis, Ketua RT saat itu. Kala membelinya, Pastor
mengaku sudah minta izin Azis akan memanfaatkannya untuk pembinaan rohani
umat Katolik di sekitar situ. "Untuk mendapatkan izin dari masyarakat, (bahkan) kami
dibantu Pak Azis." Sejak itulah setiap Sabtu digelar peribadatan di sana.
Namun, Sabtu akhir Agustus silam, rumah ibadah itu ditutup. Saat itu warga sekitar
bersama puluhan anggota BAP mendatangi rumah tersebut dan meminta Pastor
Setiawan, menghentikan kegiatan peribadatan. Menurut Marjani, ketua keamanan
RW setempat, penutupan dilakukan karena warga sudah lama keberatan. Bahkan,
kata dia, pengurus rumah ibadah itu pernah ditegur aparat kecamatan. "Tapi kegiatan
jalan terus," katanya.
Kisah serupa juga tersimpan di rumah ibadah Dayeuh Kolot. Rumah yang terletak di
permukiman warga itu difungsikan sebagai tempat ibadah dengan nama Gereja
Kristen Pasundan sejak 1980. Dulunya tempat itu milik seorang bernama Risa, yang
kemudian dibeli gereja. Separuh tempat digunakan sebagai kediaman Pendeta
Yuyun, dan selebihnya sebagai tempat ibadah. "Kami melakukan ritual kebaktian
seminggu sekali, itu pun hanya selama dua jam," tutur Merry.
Pada awal akan digunakan, menurut Merry, proses izin sudah ditandatangani
sebagian masyarakat Sukabirus. Namun, katanya, izin itu mentok di meja Ketua RW.
Meski demikian, peribadatan tetap mereka lakukan. Merry mengakui, jemaat yang
datang bukan hanya penduduk Sukabirus. Dari 200 kepala keluarga jemaat, hanya
dua keluarga yang merupakan warga Sukabirus. Sisanya berasal dari Dayeuh Kolot,
Cimahi, Ciparay, Banjaran, Palasari, dan Margahayu. Toh, dia mengklaim hubungan
Gereja Kristen Pasundan (GKP) dengan warga sekitar baik-baik saja.
Merry bahkan menyatakan beberapa kali gereja dan warga melakukan kegiatan
bersama. Dia menunjuk penanganan banjir pada awal tahun ini, dan ketika mereka
bahu-mambahu menangani wabah demam berdarah.
Tokoh masyarakat setempat, Kusnadi, membenarkan hal itu. Masyarakat sekitar,
katanya, selama ini tak mempermasalahkan kehadiran GKP. Dia malah menanyakan
kedatangan AGAP dan BAP yang mengatasnamakan waga. "Warga Sukabirus mana
yang mereka wakili?" katanya.
Sikap warga Sukabirus terbelah. Menurut Ketua RW setempat, Tjetjen Darmanto,
pada Juli lalu dia pernah membuat surat edaran yang berisi keberatan warga terhadap
GKP. Alasannya, GKP menyalahi aturan SKB dua menteri tentang pendirian rumah
ibadah. "Lebih dari 230 kepala keluarga yang meneken edaran itu," kata dia. Di sana
sekurangnya ada 300 kepala keluarga, dan 90 persen di antaranya muslim.
Menurut Tjetjen, surat itu merupakan yang ketiga, setelah pada 1985 dan 2004
beredar surat serupa. "Pada dasarnya kami tidak mempermasalahkan keberadaan
GKP. Soalnya, kenapa mereka tidak memenuhi aturan SKB," tanyanya.
* * *
GUMPALAN kekecewaan kini menyesaki dada tokoh-tokoh Kristiani. Selain
mendesakkan peninjauan SKB, mereka juga menyimpan ganjalan terhadap aparat
keamanan yang dinilai kurang netral. Mantan Ketua Umum PGI, Nathan Setiabudi,
menuding aksi penutupan itu direstui oleh aparat keamanan dan pemerintah
setempat. "Ini sangat absurd," katanya. Menurut dia, yang terjadi dalam aksi
penutupan itu adalah pelanggaran ketertiban umum. "Jadi, polisi harus menertibkan."
Suasana tegang memang sempat terjadi saat warga dan massa AGAP mendatangi
rumah ibadah di Margahayu. Fotografer Tempo, Budiyanto, yang saat itu berada
dalam ruangan, melihat sejumlah aparat polisi berjaga-jaga.
Dalam dialog, Pastor Iwan secara halus sempat menolak penutupan. Alasannya,
persoalan harus diselesaikan lewat pengadilan. Ini membuat suasana menghangat.
Beberapa kali terdengar teriakan takbir dari massa. "Di sini sudah ada muspika yang
berwenang dan juga warga yang menolak gereja. Tak perlu ke pengadilan," kata
massa. Memang, saat itu hadir pula unsur muspika, yakni Camat Margacinta,
Kapolsek Margacinta AKP Sugianta, dan sekretaris RW 16.
Belakangan Pastor Iwan akhirnya bersedia meneken surat penutupan gereja. "Itu
pilihan terbaik yang bisa saya ambil dalam situasi yang buruk. Saya memikirkan
keselamatan umat saya dan rumah itu," katanya kepada Tempo.
Kapolres Bandung Timur AKBP Edison Sitorus menyatakan, saat itu polisi memang
membiarkan penutupan gereja terjadi. "Karena bukan AGAP yang meminta
penutupan, tapi muspika setempat," katanya kepada Setiyardi dari Tempo.
Dia merujuk SKB dua menteri yang menyatakan bahwa penutupan merupakan
wewenang kepala daerah. "Anggota saya hanya bertugas mengamankan agar tak
terjadi bentrok," kata Edison. Kapolsek menegaskan, jika yang melakukan penutupan
AGAP, dia baru akan bertindak.
Mu'min sendiri menegaskan, AGAP yang dipimpinnya tak pernah melakukan aksi
kekerasan. Kelompok yang dipimpinnya sudah memiliki prosedur tetap setiap kali
hendak mendatangi rumah ibadah.
Dalam pertemuan antara Pastur Frans Magnis Suseno dan Ketua Front Pembela
Islam (FPI) Habib Rizieq pada Sabtu pekan lalu, yang berlangsung sekitar dua jam 30
menit itu di rumah Habib Rizieq, di jalan Petamburan, Jakarta, diungkapkan beberapa
persoalan yang terjadi dalam kasus tersebut. "Masalah intinya adalahnya adanya
saling kecurigaan antara pemeluk Islam dan Kristen," kata Frans Magnis Suseno
kepada wartawan usai melakukan pertemuan
FPI sendiri, kata Rizieq, berjanji akan menghormatinya. Bahkan dirinya mengaku
kalau aktivisnya di berbagai daerah siap menjaga gereja-gereja sepanjang tidak
bermasalah dari sisi perizinannya.
Mengenai SKB, dirinya mempersilahkan pihak agama lain untuk memperjuangkan
agar diubah. Namun dirinya juga mengaku punya hak untuk memperjuangkan agar
SKB tersebut tetap berlaku.
Kekerasan fisik memang tak terjadi. Tapi teror, intimidasi, dan pelarangan orang
beribadah telah meletup di mana-mana—aksi yang dilarang Tuhan dan negara tapi
sayangnya dibiarkan aparat keamanan.
Tulus Wijanarko, Ayu Cipta (Tangerang), Endang Purwanti, dan Rana Akbari
(Bandung)
copyright TEMPO 2003
|