The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

TEMPO


TEMPO, Edisi. 28/XXXIV/05 - 11 September 2005

Opini

Sengketa Izin Rumah Tuhan

SEANDAINYA sesumbar Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan (AGAP) dianggap serius, nasib kerukunan antarumat beragama di Indonesia tampaknya sedang di tubir jurang. Melalui ketuanya, H Muhammad Mu'min, aliansi itu bersumpah akan membabat gereja tanpa izin yang tumbuh di Indonesia. Bukan hanya memaksa rumah ibadah itu tutup, mereka juga akan menyandera pendeta bahkan mengobarkan kembali Perang Salib.

Apa yang sudah dilakukan organisasi ini memang membuat cemas. Dalam dua tahun terakhir, aliansi yang disokong 27 organisasi massa Islam—antara lain Front Pembela Islam, Barisan Pemuda Persis, Jama'ah Tabligh, dan Hizbut Tahrir—sudah menutup 23 gereja di Jawa Barat.

Ada dua hal yang mereka persoalkan. Pertama, soal gereja yang tak berizin dan, kedua, mereka meyakini pengurus gereja dengan aktif telah melakukan Kristenisasi.

Untuk yang pertama, biang keladinya adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Saat itu, 13 September 1969, Menteri Agama KH Ahmad Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud meneken surat yang mengatur pengembangan dan pelaksanaan ajaran agama bagi pemeluknya. Berisi enam pasal, SKB itu pada intinya mewajibkan izin dari warga lokal bagi pendirian sebuah rumah ibadah.

Umat Nasrani, terutama Protestan, yang memiliki banyak aliran—sehingga membutuhkan gereja sendiri-sendiri—menghadapi dilema. Mereka membutuhkan tempat ibadah meski tak punya banyak jemaah—fakta yang membuat mereka sulit mendapat izin dari warga lokal. Saat ini diperkirakan ada 700 aliran dalam agama Protestan. Akibatnya, mereka menyulap sekolah, ruko, atau ruang di dalam mal menjadi tempat berdoa. Gereja yang menyalahi aturan SKB inilah yang dikepruk Aliansi Gerakan Anti-Pemurtadan.

Untuk yang satu ini soalnya tak sulit betul. Tinggal merevisi SKB itu, masalah itu bisa diatasi. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meminta Menteri Agama mengkaji kembali peraturan tersebut. Niat yang sama juga pernah disampaikan Presiden Abdurrahman Wahid—meski belum kesampaian hingga ia akhirnya diganti Megawati. DPR bahkan berencana membuat undang-undang khusus untuk mengatasi masalah ini. Persoalannya tinggal apakah pemerintah dan parlemen mau bertindak lekas atau tidak.

Soal kedua sebetulnya yang lebih pelik. Para penyerang gereja menilai aksi Kristenisasi sudah kelewat batas. Entah dari mana datanya, mereka menyebut di Jawa Barat saja sudah 10 ribu muslim pindah agama. Menyimak keyakinan anggota AGAP, kondisi terasa genting betul. Kata mereka, jika aksi Kristenisasi tak diakhiri, mereka juga siap berdakwah di pintu gereja untuk mengajarkan kebenaran Al-Quran. Syiar agama yang mestinya sejuk kini terasa panas membara.

Maka, apa yang pernah disampaikan pemikir Islam Iqbal, dan sesepuh Al-Azhar Mesir, Syeih Mahmud Syaltut, terasa jadi terabaikan. Bahwa orang "kafir", kata keduanya, tidak dengan sendirinya berarti nonmuslim. Iqbal menegaskan, "Belum tentu orang yang menyatakan secara formal sebagai muslim berhak surga, sedangkan mereka yang tidak tercatat sebagai muslim tertutup kemungkinannya dari rahmat Allah." Dalam semangat yang sama, keyakinan Karl Rahner dari kalangan Katolik juga patut dikutip. Bahwa di luar gereja bukan berarti tak ada keselamatan.

Tanpa bermaksud melunturkan dinding batas antar-agama, dialog untuk mendekatkan dan mencari kesamaan lintas agama itulah yang perlu dikembangkan. Lalu, sementara proses itu berlangsung, ekses negatif syiar—berupa Kristenisasi atau Islamisasi—diminimalkan oleh negara. Aparat harus cekatan mengatur dan mencegah jika dakwah mengarah pada pemaksaan dan kekerasan.

Faktanya, dalam beberapa kasus, negara malah absen. Aksi kriminal penutupan gereja di Bandung bahkan terjadi di depan mata polisi. Mereka berkerumun, mengaku menjaga keamanan, tapi tak melakukan apa-apa ketika yang satu mengintimidasi yang lain. Kepala Kepolisian Jawa Barat bahkan mengatakan aksi sepihak itu tak melanggar hukum. Sebab, yang dilakukan para penyerang bukan menutup gereja, tapi "menutup rumah yang dijadikan gereja".

Apologi? Tampaknya begitu. Aparat yang loyo pada akhirnya hanya memberikan ruang dan pembenaran bagi para kriminal berkedok agama untuk main hakim sendiri. Aksi penutupan sepihak gereja-gereja sudah sangat memprihatinkan. Jadi, jangan biarkan mereka beraksi sambil melontarkan sesumbar itu—"Kami akan membabat, menyandera, dan mengobarkan kembali Perang Salib".

copyright TEMPO 2003
 


Copyright © 1999-2002 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/hoelaliejoe
Send your comments to alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044