TEMPO, No. 15/XXXIV/06 Juni-12 Juni 2005
Bukan Persekutuan Suci
Pelaku aksi bom Tentena diduga terkait dengan konflik di Ambon. Ada upaya
mengalihkan isu korupsi.
SKETSA wajah itu kini sudah menyebar ke seluruh tangan polisi. Bermata sipit
dengan rambut gondrong, beralis tebal dengan dagu ditumbuhi jenggot tipis, gambar
wajah lelaki muda itu diduga salah satu pelaku peledakan bom di Tentena, Poso,
Sulawesi Tengah. Bom itu meledak di tengah pasar di kota kecil Tentena, sekitar 57
kilometer dari Poso, Sabtu dua pekan lalu. Meski polisi mengatakan bom itu berdaya
ledak rendah, muatan paku dan logam tajam di dalamnya telah menamatkan 21 jiwa.
Lebih dari 50 orang lainnya cedera berat.
Persis sepekan setelah ledakan, polisi membekuk 14 tersangka. Ada dua orang lagi
yang kini masih buron. Keduanya diduga pelaku di lapangan. Sayangnya, tak begitu
jelas identitas buron yang sedang dikejar polisi ke sekujur Sulawesi Tengah itu. Polisi
sengaja menutupnya dan hanya membuka inisial mereka, yaitu E dan AT. Salah satu
wajah buron itulah yang disebar polisi. "Identitasnya tidak kita buka, takut dalangnya
lari," ujar Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Polisi Arianto Sutadi.
Sulawesi Tengah kini berada dalam siaga satu.
Para tersangka yang sudah dibetot polisi itu kini ditahan di dua tempat. Tujuh
tersangka di Polda Palu, sedangkan tujuh lainnya di Polres Poso. Di Palu, polisi
menahan Hasman, Karutan Poso, Tantri Firna, Jufri, Supratman, Abdul Kadir Sidik,
dan Ismed. Di Poso, polisi menahan Andi Makasau dan enam orang lainnya. Mereka
ditangkap Selasa pekan lalu. Tapi polisi belum mau membuka nama keenam orang
itu. Menurut Kepala Polda, mereka dibekuk bersama tiga senjata laras panjang, satu
senjata laras pendek, dan sejumlah bubuk belerang.
Yang menarik, hanya dua hari setelah peristiwa, polisi menetapkan empat tersangka.
Pertama, Kepala Rumah Tahanan Poso Hasman. Kedua, Ismed, pegawai Dinas
Kesehatan Poso. Ketiga, bekas Kepala Dinas Kota Poso dan pekerja LSM yang
bergerak membagi dana kemanusiaan, Abdul Kadir Sidik. Keempat, Andi Makasau,
tersangka penembakan di Gereja Bethany, Poso, Agustus 2004.
Mereka menjadi tersangka setelah polisi memeriksa lebih dari 30 saksi dalam kasus
bom itu. Hasman ditangkap polisi sehari setelah bom itu meledak. Di mobilnya yang
bernomor polisi palsu, ditemukan senjata api dan sebilah golok. Pada tubuh Hasman
juga ditemukan sisa senyawa kimia bahan peledak yang identik dengan bahan
peledak yang ditemukan polisi di lapangan. Selama sehari semalam Hasman
diperiksa. Dari mulut Hasman juga meluncur nama-nama pelaku peledakan bom di
Tentena.
Bukti lain yang mencurigakan juga ditemukan pada Abdul Kadir Sidik. Abdul adalah
narapidana kasus korupsi dana bantuan kemanusiaan di Poso. Menurut Iwan, sopir
Abdul Kadir, yang diperiksa sebagai saksi, majikannya berada di wilayah Tentena
saat aksi peledakan bom itu terjadi. Di mobil Isuzu berpelat merah milik Abdul Kadir,
polisi menemukan bahan TNT dan florat. "Ada indikasi TNT dan florat itu sama dengan
bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara," kata Kepala Polri Jenderal Da'i
Bachtiar, yang berkunjung ke Poso pada Rabu pekan lalu.
Setelah polisi menggeledah rumah tahanan Poso, kesimpulan mereka makin kuat
saja. Bom itu diduga diracik dan dirakit di penjara. Di rumah tahanan itu, polisi
menemukan sejumlah bahan pembuatan bom seperti tabung berwarna putih dan pipa
besi. Juga ditemukan sepucuk pistol dan sarungnya. Temuan itu tentu bikin geger.
Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar mengatakan Abdul Kadir berada di luar rumah
tahanan sewaktu bom itu meledak. "Pada sehari menjelang ledakan, diketahui yang
bersangkutan ada di Tentena," ujar Da'i.
Peta konflik di Poso pun kian ruwet. Sejumlah tersangka, kata polisi, diduga kuat
juga terlibat dalam aksi kekerasan di Ambon serta Seram, Maluku. Misalnya, Kepala
Polda Maluku Brigadir Jenderal Polisi Adityawarman mengatakan jalur Poso dan
Ambon adalah jalur tradisional bagi para pelaku penyerangan dan peledakan bom
yang selama ini bermain di Ambon maupun di Poso. Misalnya, kata Aditya, kasus
peledakan bom di Batu Merah Bawah Jalan Hasanuddin, Ambon. "Para pelaku yang
masih buron semuanya berasal dari Poso," ujarnya Selasa pekan lalu di Markas
Besar Polri, Jakarta.
Sejauh ini polisi memang belum mengungkapkan motif aksi peledakan itu.
Sebetulnya, kondisi Poso sudah agak membaik sejak perdamaian Malino empat
tahun lalu. Tapi, setahun belakangan, aksi kekerasan mengencang lagi antara
kelompok muslim dan Kristen di sana. Awal tahun lalu, dua ledakan bom terjadi di
kota itu, persis di belakang Gereja Bethany. Akhir Desember tahun lalu, dua aksi
bom meletup di Kecamatan Poso Kota. Belum lagi serentetan aksi penembakan
gelap. Kasus yang bikin miris adalah penculikan Charminalis Ndele, Kepala Desa
Pinedapa. Ndele akhirnya ditemukan mati tanpa kepala, November tahun silam.
Aksi terbaru sebelum Tentena adalah dua bom yang meledak di dua kantor lembaga
swadaya masyarakat pada 28 April lalu. Bom pertama meledak di kantor pusat
Rekonsiliasi Konflik dan Perdamaian Poso, sedangkan bom kedua meledak di kantor
Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil. Untunglah, tidak ada korban jiwa maupun
luka-luka. Beberapa bagian bangunan itu rusak porak-poranda. Polisi sampai
sekarang belum bisa mengungkap motif peledakan itu.
Dugaan kaitan antara bom Tentena dan korupsi datang dari kalangan lembaga
swadaya masyarakat di Poso. Mereka menduga kuat bahwa aksi bom Tentena terkait
dengan skandal penyelewengan bantuan kemanusiaan. Apalagi, ditemukan bukti
terbaru bahwa Abdul Kadir Sidik, tersangka korupsi dana kemanusiaan itu, juga
tersangkut dalam kasus bom Tentena.
Selama lima bulan terakhir, kata Direktur Yayasan Tanah Merdeka Arianto Sangaji,
lembaga swadaya masyarakat gencar menyorot kasus ini. Saat itu pula, kata dia,
rangkaian teror terjadi. Tiga lembaga swadaya masyarakat di Poso sudah
mengadukan indikasi itu ke DPR RI, Kamis pekan lalu. Tiga organisasi itu adalah
Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS), Yayasan Panorama Alam Lestari, dan
Yayasan Tanah Merdeka. "Sebelum kasus korupsi diungkap, hampir tak ada bom,
penembakan misterius, dan teror lainnya," ujar Iskandar Lamuga, Direktur LPMS
yang kantornya pernah remuk dilantak bom.
Mereka menduga aksi di Tentena adalah upaya mengalihkan isu korupsi. Apalagi,
setelah Abdul Kadir Sidik dan Ismed tertangkap. Abdul Kadir Sidik adalah Kepala
Panti Jompo Dinas Kesejahteraan Sosial di Tentena. Dia juga bekas Ketua Satuan
Tugas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah, organisasi penyalur dana kemanusiaan bagi
pengungsi korban kerusuhan. Sidik kini terjerat dugaan kasus korupsi dana
kemanusiaan pengungsi Poso senilai Rp 2,2 miliar. Dia kini berstatus tahanan di
rumah tahanan Poso. Sedangkan Ismed adalah pegawai Dinas Kesehatan Poso,
yang dikenal dekat dengan Sidik.
Tapi, tudingan itu dibantah oleh Mariyam, istri Abdul Kadir Sidik. Dia keberatan
suaminya dikaitkan dengan bom di Tentena. "Saat bom meledak, Sidik sedang
berada di Palu," ujarnya, Jumat pekan lalu. Mariyam, yang ditemui di rumahnya di
Palu, mengatakan suaminya pada Rabu dan Kamis (dua hari sebelum bom meledak)
berada di Tentena dalam rangka melihat Panti Jompo Tesna Weda. Menurut
Mariyam, tak ada alasan Sidik melakukan aksi pengeboman itu. "Suami saya dan
warga Kristen Tentena tidak ada masalah," ujarnya.
Mariyam juga keberatan dengan hasil pemeriksaan yang menyebutkan adanya
serbuk TNT di mobil Sidik. Pada awal pemeriksaan, kata dia, di mobil itu hanya
ditemukan surat tugas Abdul Kadir dan handphone milik Ismed. Tapi, setelah tiga hari
mobil itu di Polres Poso, baru ditemukan adanya bahan peledak itu. "Ini kan seperti
mau menjebak suami saya," ujarnya. Abdul Kadir, kata dia, terpukul dengan tuduhan
itu. Sudah lima hari dia menolak kiriman makan dari keluarganya.
Motif di belakang aksi itu memang masih kabur. Dua orang yang sedang dikejar
polisi, E dan AT, belum tertangkap. Apalagi, ada kesimpulan bahwa pelaku aksi bom
di Poso itu punya jaringan dengan aksi serupa di Ambon, yang selama ini melibatkan
kelompok agama garis keras. Kalau benar, apa pun alasannya, persekutuan koruptor
dan gerakan itu sudah pasti bukanlah sesuatu yang suci. Nezar Patria, Tulus
Wijanarko, Darlis Muhammad (Poso)
copyright TEMPO 2003
|