TEMPO, No. 16/XXXIV/13 - 19 Juni 2005
Bom dengan Deretan Teori
Meski telah memeriksa 142 saksi, polisi belum mengungkap motif bom Tentena. Bom
di rumah Abu Jibril menambah sejumlah misteri.
SUASANA mencekam membekap Poso, Sulawesi Tengah, Jumat pekan lalu. Tak
kurang dari 1.500 demonstran, laki-laki dan perempuan, mendatangi Markas Polres
Poso. Terik matahari yang membakar kulit dan kehadiran sekompi Brimob bersenjata
laras panjang tak mereka hiraukan. Massa yang berasal dari Forum Silaturahmi dan
Perjuangan Umat Islam (FSPUI) terus bergerombol memprotes polisi yang dianggap
main tangkap tersangka bom Tentena. Sambil meneriakkan "Allahu Akbar", para
demonstran merangsek maju. Mereka meminta polisi segera melepaskan tahanan.
"Polisi berlaku dholim," ujar Adnan Umar Arsal, Ketua FSPUI. "Mereka asal tangkap."
Laporan tentang aksi demonstrasi yang makin panas itu memaksa Kapolda Sulawesi
Tengah, Brigjen Polisi Aryanto Sutadi, turun tangan. Ia bergegas meninggalkan tamu
yang sedang antre di ruang tunggu VIP Polda di Palu dan, dengan menumpang
helikopter, langsung terbang ke Poso—280 kilometer dari ibu kota Sulawesi Tengah
itu. Setelah terbang berputar-putar di atas Markas Polres Poso untuk memantau
situasi, helikopter mendarat.
Lantas, untuk meredakan ketegangan, Brigjen Aryanto Sutadi langsung menerima
perwakilan demonstran. Ketua FSPUI Adnan Umar Arsal, yang menjadi juru bicara
demonstran, meminta polisi membebaskan beberapa tahanan yang dituding terkait
bom di Pasar Sentral, Tentena, Poso, dua pekan sebelumnya. "Tak ada bukti kuat
mereka pelaku pengeboman," ujar Adnan Umar. Setelah bernegosiasi 30 menit, polisi
akhirnya melepas Abdul Rauf, Buchari, dan Risal. Ketiganya diciduk polisi di Poso
setelah bom laknat meledak di Pasar Sentral, Tentena, Poso pada 28 Mei 2005 lalu.
Sorak-sorai demonstran pun meledak saat ketiga tersangka melenggang keluar
tahanan Polres Poso.
Pembebasan itu tak membuat tahanan polisi menjadi kosong melompong. Masih
belasan orang yang mendekam karena dicurigai terlibat dalam peledakan dua bom
yang merenggut 22 jiwa di Tentena. Rupanya aksi teror yang terjadi saat Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono tengah melakukan kunjungan kenegaraan ke Amerika,
Vietnam, dan Jepang itu telah membuat polisi seperti kebakaran jenggot. Selama
seminggu setelah kejadian, Polda Sulawesi Tengah sibuk memblokir seluruh jalan
keluar Poso. Semua kendaraan yang lewat ditelisik tanpa kecuali. Polisi juga
menebar jaring ke beberapa titik yang dicurigai. Tak kurang dari 142 saksi diperiksa
maraton di Polres Poso dan Polda Sulawesi Tengah. Sebagian besar "saksi" diciduk
polisi dari rumah masing-masing. Kini tinggal 13 orang yang mendekam di tahanan
polisi. "Kami punya bukti awal yang cukup," ujar Brigjen Aryanto Sutadi, Kapolda
Sulawesi Tengah. "Mereka sudah berstatus tersangka."
Di antaranya adalah Drs. Hasman, 48 tahun, Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP)
Poso. Polisi mengaku menemukan serbuk senyawa bom di pakaian dan kepala
Hasman. Tak puas dengan temuannya, polisi menelisik setiap sudut ruang di LP
Poso. Hasilnya: "Ada bengkel tempat pembuatan bom yang meledak di Tentena,"
ujar Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar. Polisi juga mengaku menemukan senjata api
rakitan di LP Poso.
Mungkinkah LP Poso menjadi pabrik bom? Wartawan Tempo Darlis Muhammad
pekan lalu menelusuri pelbagai pojok penjara yang terletak di tengah Kota Poso itu.
Di bengkel penjara, tempat para narapidana mengasah keterampilan mengelas dan
mengolah besi, masih teronggok sejumlah potongan besi. Ada juga peralatan las
yang masih berfungsi. Polisi menduga bengkel berukuran 8x4 meter itu telah disulap
Hasman menjadi tempat meracik bom. Meski masih menerima order pembuatan
pagar dan teralis besi, bengkel las itu kini sepi aktivitas.
Mokhamad Sukron, pegawai Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang 11
tahun bertugas di LP Poso, mengatakan kecil kemungkinan peracikan bom dilakukan
di bengkel las LP Poso. Ruangan bengkel yang relatif "terbuka" akan mempersulit
pembuat bom. Soalnya, penjaga penjara kerap berseliweran memantau aktivitas
narapidana di bengkel. Penjaga khawatir pelbagai peralatan bengkel digunakan untuk
melarikan diri. Selain itu, penghuni dan sipir penjara berasal dari kelompok Islam dan
Kristen. "Kalau ada satu pihak yang membuat bom," ujar Mokhamad Sukron, "pasti
akan dicurigai kelompok lain."
Mengenai temuan senjata rakitan di plafon penjara oleh polisi, Sukron menawarkan
penjelasan menarik. Menurut Sukron, saat kerusuhan berdarah pada Mei 2000
menerjang Poso, beberapa ruangan dan sel penjara dijadikan tempat pengungsian.
Jumlah pengungsi yang berlindung di balik tembok penjara cukup banyak, mencapai
tiga ribu orang. Akibatnya jatah beras narapidana untuk dua bulan pun ludes disantap
pengungsi hanya dalam tempo seminggu. Ketika itu banyak pengungsi yang
membawa senjata api rakitan dan pelbagai senjata tajam. "Bisa jadi, yang ditemukan
polisi merupakan senjata pengungsi yang tercecer," ujar Mokhamad Sukron.
Upaya Tempo untuk mengkonfirmasi pelbagai tuduhan polisi kepada Hasman
terhambat birokrasi polisi. Brigjen Aryanto Sutadi, Kapolda Sulawesi Tengah,
melarang wartawan mendekati bilik tahanan para tersangka. Tapi Jane Tangkilisan,
istri Hasman yang selalu membesuk pasangannya di tahanan polisi, menyatakan
suaminya mengaku tak bersalah. Menurut Jane, Hasman hanya menandatangani
hasil pemeriksaan yang menyebutkan ada pistol dan sejumlah peluru di mobilnya.
"Kok, sekarang disebut-sebut ditemukan serbuk TNT di mobil," ujar Jane Tangkilisan
kepada Tempo. "Polisi melempar fitnah yang keji."
Keterangan yang membela Hasman juga datang dari Sukarno. Kepala Kanwil Hukum
dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah ini mengatakan pistol yang ditemukan
polisi di mobil Hasman memang senjata resmi. Sukarno memastikan setiap bulan
melaporkan keberadaan senjata organik semua pejabat Kanwil ke Polda Sulawesi
Tengah. Laporan mutakhir, pada April 2005, juga memasukkan senjata yang dipegang
Hasman. Sedangkan mengenai mobil yang dipakai Hasman saat ditangkap, Sukarno
memastikan itu kendaraan dinas LP Poso. Soal pelat mobil yang diduga palsu,
Sukarno punya penjelasan singkat. "Itu biasa. Mobil dinas sering punya pelat hitam
juga," ujar Sukarno.
Berbagai keterangan itu tak membuat polisi membebaskan Hasman, ayah enam
anak. Wakil Kapolda Sulawesi Tengah, Komisaris Besar Polisi Sukirno, mengatakan
polisi tetap mencurigai LP Poso sebagai tempat peracikan bom Tentena. Dari hasil
olah tempat kejadian perkara di Pasar Sentral Tentena, polisi memperoleh sisa bahan
peledak dan potongan besi. Ribuan potongan besi yang berujung runcing ini membuat
bom Tentena yang sebenarnya bersifat low explosive menjadi pembunuh yang
mematikan. "Potongan besi di tempat kejadian sama dengan yang ada di bengkel LP
Poso," tutur Komisaris Besar Polisi Sukirno.
Tapi apa motif di belakang tindakan keji itu? Sumber Tempo di kepolisian memastikan
bom Tentena tak terkait dengan pelaku bom Bali, Hotel JW Marriott dan bom di
Kedubes Australia di Jakarta. Sumber Tempo ini mengungkap jenis dan pola ledakan
bom Tentena berkarakter lokal. Kawasan Poso, Pulau Seram, dan Maluku memang
termasuk daerah konflik yang kerap diguncang bom berdaya ledak kecil. Banyak
penduduk lokal yang memiliki kemampuan meracik bom. Para nelayan, misalnya,
kerap memakai bom untuk menangkap ikan di laut. Apalagi bahan pembuat bom
seperti senyawa sulfur, amonium nitrat, dan potasium masih dijual bebas.
"Pembuatan bom di kawasan itu sangat marak," katanya. Sumber Tempo juga
menyebut komposisi bahan bom yang meledak di Tentena terdiri dari potasium klorat,
sulfur, dan potongan besi runcing. Sebagai pemicu ledakan (detonator), digunakan
pentaerythritol tetranitrate (PETN)—senyawa kimia yang penjualannya dikontrol
intelijen dengan sangat ketat.
Polisi berharap latar belakangan pengeboman dapat terungkap jika dua tersangka
pelakunya, Erwin dan AT, dapat ditangkap. Keduanya telah lama dicari aparat
keamanan karena diduga terlibat pelbagai aksi kekerasan di Poso. Erwin, asal
Kelurahan Kayamanya, Poso, misalnya, pernah ditangkap karena diduga membunuh
Jaksa Ferry Silalahi di Palu pada Mei 2004. Tapi Pengadilan Negeri Palu pada Maret
2005 membebaskan pemuda berusia 29 tahun ini karena jaksa dianggap tak mampu
membuktikan dakwaannya. Kali ini Erwin dan AT diburu polisi karena beberapa saksi
mengaku melihat keduanya sesaat sebelum bom Tentena meledak. Polda Sulawesi
Tengah membentuk tim khusus untuk memburu kedua buron top itu. "Mereka diduga
masih di Sulawesi Tengah tapi selalu berpindah-pindah," ujar Komisaris Besar Polisi
Sukirno.
Seorang sumber Tempo, perwira polisi yang ikut menyidik bom Poso, mengaku
mendapat bukti kuat bahwa bom Tentena hanya untuk mengalihkan penyidikan kasus
korupsi. Ceritanya, saat kerusuhan Poso meledak pada tahun 2000, Jakarta
mengucurkan Rp 162 miliar untuk jatah hidup dan bekal hidup (jadup/bedup) ribuan
pengungsi. Tapi pejabat daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang terlibat
dalam pengelolaan dana pengungsi ikut menilap sekitar Rp 70 miliar. Nah, bom
Tentena diduga didalangi kelompok yang kini disasar polisi karena penyelewengan
dana kemanusiaan untuk pengungsi.
Dugaan pengalihan isu dibenarkan oleh Arianto Sangaji. Aktivis Yayasan Tanah
Merdeka ini mengaku memiliki bukti kuat tentang aksi tipu-tipu penggunaan dana
jadup/bedup pengungsi Poso. Caranya dengan membuat data laporan dan proyek
pemulangan pengungsi yang fiktif. Buktinya, "Banyak nama pengungsi yang tak
dikenal," ujar Arianto Sangaji. "Tanda tangan mereka seragam."
Namun dugaan ini pagi-pagi dibantah Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.
Menurut Kalla, yang juga membidani deklarasi Malino yang mengakhiri konflik
Ambon, bom Tentena dilakukan oleh kelompok teroris. Mereka menginginkan
kekacauan kembali muncul di Poso dan beberapa daerah konflik lainnya.
"Menghubungkan bom dengan korupsi sungguh tak masuk akal," ujar Jusuf Kalla.
Komisaris Besar Sukirno juga berpendapat kemungkinan motif pengalihan isu ini
kecil. Ia mengaku belum tahu pasti tapi lebih sepaham dengan dugaan Wakil
Presiden.
Belum lagi pelaku bom Tentena terungkap, publik kembali dikejutkan ledakan bom.
Sebuah bom meletus di rumah Abu Jibril, di Kompleks Witanaharja, Pamulang Barat,
Banten. Bom yang menyebabkan lubang berdiameter 20 sentimeter sedalam 10
sentimeter itu tak menyebabkan jatuhnya korban jiwa tapi menimbulkan sejumlah
tanda tanya. Soalnya, posisi ledakan bom berada di halaman rumah. Secara teoretis,
bom itu kemungkinannya kecil dirakit oleh Abu Jibril, 48 tahun—tokoh yang pernah
dipenjara di Malaysia dengan sangkaan melanggar Internal Security Act (baca Bom
Subuh di Pinggir Jakarta). Apalagi, saat bom meledak, Abu Jibril sedang menjadi
imam salat subuh di Masjid Al-Munawarah, yang berjarak 100 meter dari rumahnya.
Bisik-bisik di kalangan intelijen polisi, bom di rumah Abu Jibril merupakan aksi
kontraintelijen polisi. Dengan ledakan itu, polisi jadi leluasa mengobok-obok seisi
rumah dan barang pribadi Abu Jibril. Maklum, Abu Jibril alias Muhammad Iqbal pernah
disebut-sebut terkait organisasi Jamaah Islamiyah (JI). Jaringan JI ini kerap
dihubungkan dengan pelbagai aksi terorisme. Dan polisi memang memeriksa pelbagai
barang pribadi Abu Jibril. Mulai dari album foto, buku, dokumen, rekaman handycam,
hingga isi komputer jinjing diboyong dan diperiksa dengan cermat di kantor polisi.
"Peledakan itu mungkin hanya cara untuk mengambil barang bukti," ujar sumber
Tempo.
Deretan teori dan kecurigaan ini hanya membuat Muhammad Ichsan Loulembah,
Ketua Kaukus Daerah Konflik di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), gundah. Ia
menyayangkan sikap polisi dan pejabat negara yang cenderung berteori dalam
mengungkap pelaku bom Tentena. "Jangan cuma mengeluarkan perkiraan jaringan
pengebom," ujar Ichsan Loulembah. "Tapi jangan juga lantas asal main tangkap,"
tambahnya. Ia lebih suka jika aparat keamanan dapat segera mengulang sukses tim
Inspektur Jenderal Made Mangku Pastika, yang berhasil menggulung komplotan bom
Bali secara meyakinkan. Setiyardi, Erwin Daryanto, dan Darlis Muhammad (Poso)
Ledakan Bom dan Janji Jenderal
Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar pernah berjanji bakal menangkap Azahari dan
Noordin Muhamad Top dalam 100 hari masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Dua buron ini dituduh sebagai aktor pengeboman di negeri ini. Janji
Kapolri itu diucapkan dalam rapat Komisi Hukum DPR RI, 25 November tahun lalu.
Seratus hari telah lama berlalu, sudah enam bulan terlewati. Namun, Azahari dan
Noordin M. Top belum tertangkap. Sebenarnya ada satu lagi tokoh yang masih
misterius, yaitu Dulmatin. Jangankan menangkap mereka, bahkan bom telah meledak
lagi di Tentena dan menyusul bom kecil di Pamulang, Tangerang.
13 September 2000
Ledakan dahsyat menggelegar di lantai dasar gedung Bursa Efek Jakarta. Inilah
pertama kali peristiwa bom yang sampai merenggut 15 jiwa. Akhirnya, polisi
mengaitkan peledakan ini dengan Gerakan Aceh Merdeka. Salah seorang yang
disebut tokohnya adalah Teungku Ismuhadi, yang divonis 20 tahun penjara.
24 Desember 2000
Serentetan bom terjadi di 15 gereja di Medan, Jakarta, Bandung, Sukabumi, Ciamis,
dan Mojokerto. Peristiwa yang dikenal sebagai bom Natal ini menelan 20 nyawa
manusia. Sejumlah tersangka ditangkap di berbagai tempat. Salah seorang tokohnya
adalah Abdul Jabar. Dia menyerahkan diri ke Kepolisian Daerah Nusa Tenggara
Barat, Januari 2002. Jabar dihukum 20 tahun penjara. Pada peristiwa bom Natal inilah
muncul nama Amran, Fatur Rahman Al-Ghozi, Imam Samudra, Hambali, Azahari, dan
Noordin M. Top.
12 Oktober 2002
Bom meledak di Jalan Legian, Kuta, Bali, menelan 202 jiwa manusia. Sejauh ini, bom
Bali adalah yang terbanyak memakan korban. Sejumlah tersangka ditangkap dan
dihukum mati. Tokoh yang dibekuk dalam kasus ini adalah Ali Imron alias Ale,
Amrozi, dan Imam Samudra. Ale dihukum seumur hidup, Amrozi dan Imam Samudra
diganjar hukuman mati, tapi sampai sekarang belum dieksekusi. Di sini muncul tokoh
misterius, yaitu Dulmatin alias Joko Pitono alias Amar Usman.
5 Agustus 2003
Hotel JW Marriott, Jakarta, diledakkan. Korban tewas berjumlah 13 orang. Salah
seorang pelakunya, Amran bin Mansur, terlibat dalam bom Natal. Dia mengakui
kaitan perkara bom ini. Bahkan juga dengan bom Bali. Dia menunjuk Hambali sebagai
aktornya. Hambali ditangkap di Ayutthaya, Thailand, pada 11 Agustus 2003. Dia
dikabarkan ditahan di Amerika. Tersangka lainnya adalah Asmar Latin Sani, yang
bunuh diri di saat peledakan. Polisi kembali mencium jejak Azahari dan Noordin M.
Top di Marriott.
9 September 2004
Ledakan dahsyat terjadi tepat di depan kantor Kedutaan Besar Australia, Jalan
Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Sepuluh orang tewas. Belasan tersangka
ditangkap. Di antaranya, Mohammad Al-Anshori, Ahmad Hasan, Iwan Darmawan
alias Rois, dan Saipul Bahri. Salah seorang tersangka, Heri Gulom, disebut sebagai
tokoh yang bunuh diri bersama bom. Nah, polisi menyebut peracik bomnya adalah
Azahari bersama orang kepercayaannya, Noordin M. Top. Nurlis E. Meuko (sumber:
PDAT)
copyright TEMPO 2003
|