TEMPO, No. 16/XXXIV/13 - 19 Juni 2005
Opini
Bom: Bukan Basa-Basi
Belum lagi pelaku pengeboman di Tentena tertangkap, sebuah ledakan mengguncang
warga Pamulang. Beruntung kali ini tak ada korban jiwa. Secara fisik hanya beberapa
jumput rumput yang terlihat gosong dan terkoyak. Namun bukan pula berarti tak ada
korban nonfisik. Setidaknya rasa aman masyarakat sedikit terkoyak.
Bagaimana tidak. Sudah berbulan-bulan kita mendengar pelbagai peringatan
kemungkinan serangan teror bom. Pemerintah Amerika Serikat dan Australia,
misalnya, tercatat cukup sering mengeluarkan travel warning, mengimbau warganya
agar tak berkunjung ke Indonesia karena mendapat informasi intelijen tentang
kemungkinan serangan bom. Kalaupun harus bertandang, dianjurkan agar menjauhi
hotel dan tempat-tempat yang diketahui orang banyak kerap dikunjungi warga asal
negara-negara Barat. Bahkan Kedutaan Amerika Serikat sempat ditutup beberapa
hari dengan alasan mendapat peringatan ancaman keamanan.
Peringatan tak cuma datang dari luar negeri. Pejabat keamanan negeri ini beberapa
kali memperingatkan kemungkinan serangan bom di Jakarta, bahkan kadang kala
diiringi dengan rangkaian SMS tentang jenis dan nomor kendaraan yang diduga
membawa bom. Memang kebanyakan pesan singkat itu diragukan kebenarannya.
Namun, mengingat di setiap gerbang hotel ataupun pusat keramaian para satpam
sibuk mencari bom di semua kendaraan pengunjung, kesan "tidak aman" akhirnya
sulit dihindarkan.
Apalagi dua bom kemudian meledak di Tentena, membinasakan 22 jiwa dan melukai
puluhan lainnya. Sementara itu, upaya polisi untuk menangkap Nurdin Top dan Dr
Azahari yang ditengarai sebagai pakar pengebom yang terlibat teror bom Natal, bom
Bali, bom Hotel Marriott dan bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta, belum juga
membuahkan hasil. Yang kemudian terdengar malah pengakuan Kepala Kepolisian
RI, Jenderal Da'i Bachtiar, tentang kemungkinan terlibatnya anggota kepolisian dalam
pengeboman di Tentena dan dugaan bom tersebut dibuat di dalam rumah tahanan.
Belum lagi keterkejutan atas pengakuan tersebut sirna, tiba-tiba muncul reaksi
sekelompok masyarakat Sulawesi Tengah yang menuding polisi bertindak ceroboh
dalam menangkap warga yang dicurigai terlibat aksi teror itu, sehingga kantor polisi di
Tentena didatangi massa dan akhirnya tiga orang yang dicokok polisi dibebaskan.
Lalu, pada saat orang ramai sedang menimbang-nimbang siapa yang benar, tiba-tiba
terbetik kabar sebuah bom meledak di Pamulang, wilayah pinggir Kota Jakarta.
Ledakan yang terjadi di halaman rumah Abu Jibril, sosok yang pernah ditahan di
Malaysia karena dituding terlibat kelompok yang mengancam keamanan pemerintah,
segera menyulut maraknya berbagai teori konspirasi. Di satu sisi ada yang
berpendapat pengeboman itu dilakukan kelompok radikal yang menganggap Abu Jibril
sudah jinak, sementara di ujung yang lain berkeyakinan bom itu disulut oleh polisi
agar membuat aparat mudah menyita dan memeriksa berbagai barang yang terdapat
di dalam rumah Abu Jibril.
Berbagai teori yang bertentangan itu tentu tak membuat persoalan menjadi
terang-benderang. Apalagi penyitaan dan pemeriksaan polisi tak berhasil
mendapatkan bukti kuat keterlibatan Abu Jibril dalam jaringan kelompok teror bom,
selain sekarung kecil pupuk dan kabel dengan baterai yang diakui Atid, anak
kedelapan Abu Jibril yang berusia sembilan tahun, sebagai kipas angin rakitannya.
Semua rangkaian kejadian di atas itu pada akhirnya bermuara pada sebuah
kesimpulan bahwa ada kelompok teroris pengebom yang sedang gentayangan di
masyarakat. Jumlah personelnya kecil, tapi di antara mereka ada yang mempunyai
kemampuan membuat bom berkemampuan ledak cukup tinggi, yang sampai
sekarang belum juga dapat digulung oleh polisi.
Untuk menghadapi ancaman kelompok ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan.
Selain terus-menerus membenahi kinerja aparat keamanan agar semakin mampu
mengejar para teroris dan sekaligus meminimalkan potensi salah atau asal tangkap,
juga memberdayakan masyarakat agar bersikap waspada tapi tak sampai paranoid.
Salah satunya dengan memberikan penyuluhan kepada orang ramai tentang
langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk meminimalkan risiko menjadi korban aksi
teroris. Paling tidak, secara statistik risiko menjadi korban pengeboman teroris lebih
kecil ketimbang menjadi korban kecelakaan lalu lintas.
copyright TEMPO 2003
|