1. PENDAHULUAN
Kopi bagi masyarakat di Indonesia mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan perekkonomian pada umumnya karena sekitar 90 persen diusahakan oleh petani, sisanya diusahakan oleh pengusaha perkebunan swasta dan negara. Bagi pemerinyah, kopi merupakan komoditas perkebunan yang cukup berperan dalam perolehan devisa negara bahkan beberapa tahun lalu pernah menduduki ranking ketiga setelah kayu dan kelapa sawit. Sedangkan bagi pengusaha, kopi menjadi salah satu komoditas utama yang memberikan prospek bisnis cukup cerah selain sebagai komoditas ekspor juga menjadi bahan baku bagi industri kopi olahan.
Industri kopi olahan di Indonesia tampaknya masih memperlihatkan prospek yang cerah dan dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Hasil survei beberapa pemerhati kopi bahwa industri kopi di Indonesia masih banyak mengarah kepada industri kopi bubuk, termasuk di daerah Lamping ( Warta AEKI, 1998 ).
Pemerintah daerah Lampung berupaya meningkatkan pengembangan lebih lanjut dari penggunaan kopi sebagai bahan konsumsi dalam negeri, dalam hal ini penggunaan yang lebih memungkinkan yaitu diproduksi dalam bentuk kopi bubuk. Dengan diadakannya perubahan bentuk dari biji menjadi kopi bubuk, diharapkan dapat memberikan peningkatan pendapatan pengusaha kopi bubuk di daerah Lampung. Menurut Alex S. Nitisasmito ( 1984 : 15 ) bahwa suatu kegiatan dikatakan produktif bilamana dapat menciptakan barang barang tersebut lebih berguna bagi masyarakat dan ini dapat terjadi karena berbagai hal antara lain guna bentuk, guna tempat, guna waktu, dan guna kepemilikan. Diadakannya pengembangan nilai kedalam bentuk yang lain diantaranya adalah guna bentuk ( form utility ) yaitu kegiatan untuk meningkatkan manfaat yang lebih tinggi dengan jalan merubah bentuk barang lain misalnya kopi biji menjadi kopi bubuk, maka akan menambah nilai atau kegunaan suatu barang.
Kendala utama dalam memenuhi pasar kopi bubuk adalah membangun merek dan loyalitas konsumen. Dalam pasar kopi bubuk di Bandar Lampung kontribusi perusahaan perusahaan kopi bubuk yang terdaftar tidak banyak dan sisanya dipasok oleh industri rumah tangga yang bersifat musiman.
Menurut Lepi T. Tarmidi, dikatakan bahwa kopi bubuk yang dijual di pasaran tidak semuanya menggunakan bahan biji kopi, tergantung dari segmen pasar yang dituju menurut tingkat pendapatan masyarakat. Kopi murni adalah komoditas yang bagi masyarakat kebanyakan harganya relatif lebih tinggi dan tidak terjangkau. Sebab itu kopi murni sering dicampur dengan bahan lain yang harganya relatif murah seperti jagung dan biji asem atau bahan campuran lainnya ( Warta AEKI, 1998 ).
Gambaran perusahaan perusahaan kopi bubuk di Bandar Lampung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sepuluh Perusahaan Kopi Bubuk di Bandar Lampung.
Nomor |
Nama Perusahaan |
Produk |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. |
PT. Sinar Baru PT. Sinar Satelit PT. Naga Sakti PT. Bola Gajah PT. Kopi Enak B. Lampung PT. Dunia Merpati PT. Dunia Jempol PD. Mawar PT. Bunga Ros PD. Naga Mas |
Cap Bola Dunia Cap Sinar Satelit Cap Naga Sakti Cap Bola Gajah Cap Kopi Enak Cap Dunia Merpati Cap Jempol Cap Mawar Cap Bunga Ros Cap Naga Mas |
Sumber :
Depperindag Kodya Tingkat II Bandar Lampung
Selanjutnya gambaran produksi kopi bubuk di Bandar Lampung tahun 1990 2000 dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Rata rata Produksi Kopi Bubuk di Bandar Lampung Tahun 1990 2000 ( kg ).
Tahun / Semester |
Produksi Kopi Bubuk |
Perkembangan ( % ) |
1990 / I |
130.700 |
- |
II |
129.123 |
( 1,21 ) |
1991 / I |
140.921 |
9,14 |
II |
141.752 |
0,59 |
1992 / I |
145.800 |
2,87 |
II |
151.211 |
3,71 |
1993 / I |
158.775 |
5,00 |
II |
165.972 |
4,53 |
1994 / I |
167.133 |
0,70 |
II |
170.114 |
1,78 |
1995 / I |
178.551 |
5,00 |
II |
180.988 |
1,36 |
1996 / I |
198.735 |
9,81 |
II |
195.246 |
( 1,76 ) |
1997 / I |
203.785 |
4,37 |
II |
205.617 |
0,90 |
1998 / I |
230.311 |
12,01 |
II |
260.800 |
13,24 |
1999 / I |
200.255 |
( 23,21 ) |
II |
187.333 |
( 4,95 ) |
2000 / I |
185.254 |
( 1,11 ) |
II |
180.795 |
( 2,41 ) |
Rata - Rata |
2,00 |
Sumber : Depperindag Kodya Tingkat II B. Lampung
Pada tabel 3 ini, terlihat bahwa perkembangan rata rata produksi kopi bubuk di Bandar Lampung cenderung meningkat. Perkembangan produksi tertinggi terjadi pada tahun 1998 semester II yaitu sebesar 13,24 persen dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Namun pada tahun tahun berikutnya mengalami penurunan yang sangat tajam yaitu pada tahun 1999 semester I sebesar 23,21 persen, sedangkan perkembangan rata rata produksi kopi bubuk selama periode 1990 2000 meningkat sebesar 2,00 persen per semester. Hal ini disebabkan adanya penurunan produksi kopi biji sebagai bahan komoditi untuk diolah menjadi kopi bubuk, disamping adanya kegagalan dalam proses pengolahan kopi bubuk tersebut ( Warta AEKI, 1998 ).
Menurut penelitian Tim Universitas Indonesia ( UI ) menunjukkan bahwa kebiasaan minum kopi sangat bervariasi dan ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah :
a. Perbedaan Jenis Kelamin
Pria pada umumnya lebih sering minum kopi dibandingkan dengan wanita, dari hasil penelitian bahwa 57 persen dari kelompok pria minum kopi secara teratur, sedangkan para wanita sekitar 24 persen.
b. Perbedaan menurut Usia
Usia juga mempunyai pengaruh terhadap kebiasaan minum kopi. Anak anak dibawah umur 15 tahun sedikit sekali yang minum kopi secara teratur, kebalikannya orang tua diatas 50 tahun menunjukkan frekuensi minum kopi yang relatif tinggi.
c. Waktu Minum Kopi
Faktor waktu juga mempengaruhi kebiasaan meminum kopi. Terbanyak orang meminum kopi dipagi hari, yakni 50,5 persen untuk daerah perkotaan dan 43 persen untuk daerah pedesaan.
d. Kesempatan Minum Kopi
Kesempatan minum kopi terbaik di rumah, manun jarang sekali kopi disuguhkan kepada tamu dirumah rumah. Di luar rumah terdapat banyak sekali kesempatan minum kopi misalnya di kantor, warung kopi di pinggir jalan , rumah makan dan hotel. ( Warta AEKI, 1998 ).
Tabel 3. Perkembangan Rata rata Permintaan Kopi Bubuk Di Bandar Lampung Tahun 1990 2000 ( kilogram ).
Tahun / Semester |
Permintaan Kopi Bubuk |
Perkembangan ( % ) |
1990 / I |
130.526 |
- |
II |
128.246 |
( 1,75 ) |
1991 / I |
140.832 |
9,81 |
II |
142.532 |
1,20 |
1992 / I |
138.671 |
( 2,71 ) |
II |
152.085 |
9,67 |
1993 / I |
158.688 |
4,34 |
II |
168.888 |
6,34 |
1994 / I |
167.125 |
( 1,04 ) |
II |
172.131 |
3,00 |
1995 / I |
178.427 |
3,66 |
II |
182.758 |
2,54 |
1996 / I |
198.726 |
8,62 |
II |
195.788 |
( 1,48 ) |
1997 / I |
202.788 |
3,58 |
II |
205.614 |
1,40 |
1998 / I |
210.321 |
2,29 |
II |
255.346 |
7,14 |
1999 / I |
221.716 |
( 1,61 ) |
II |
224.330 |
5,18 |
2000 / I |
229.485 |
2,30 |
II |
226.603 |
( 1,26 ) |
Rata Rata |
2,78 |
Sumber : Depperindag Kodya Tingkat II B. Lampung 2000
Berdasarkan tabel 3 tersebut terlihat bahwa permintaan kopi bubuk di Bandar Lampung menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi, permintaan tertinggi terjadi pada tahun 1991 semester I yaitu sebesar 9,81 persen. Sedangkan permintaan terendah terjadi pada tahun 1992 semester I dimana terjadi penurunan sebesar 2,71 persen. Rata rata kenaikan permintaan kopi bubuk di Bandar Lampung dari tahun 1990 2000 yaitu sebesar 2,78 persen per semester.
Tabel 4. Perkembangan Rata rata Harga Kopi Bubuk dan Harga The Bubuk Di Bandar Lampung Tahun 1990 2000 ( Rp/kg ).
Tahun / Semester |
Harga kopi bubuk |
Perkembangan ( % ) |
Harga teh bubuk |
Perkembangan ( % ) |
1990 / I |
3.650,70 |
- |
1.650,50 |
- |
II |
3.890,30 |
6,56 |
1.850,60 |
12,12 |
1991 / I |
4.120,30 |
5,91 |
1.625,30 |
( 12,17 ) |
II |
4.590,50 |
11,42 |
1.650,40 |
1,54 |
1992 / I |
4.600,50 |
0,22 |
1.800,50 |
9,09 |
II |
5.300,50 |
15,21 |
1.875,70 |
4,17 |
1993 / I |
5.430,20 |
2,45 |
2.025,40 |
8,00 |
II |
5.500,50 |
1,29 |
2.150,30 |
6,17 |
1994 / I |
5.690,70 |
3,46 |
2.325,70 |
8,14 |
II |
5.750,30 |
1,05 |
2.425,30 |
4,30 |
1995 / I |
5.875,70 |
2,18 |
2.550,50 |
5,15 |
II |
6.125,60 |
4,25 |
2.775,80 |
8,82 |
1996 / I |
6.325,50 |
3,26 |
2.950,20 |
6,28 |
II |
6.500,70 |
2,77 |
3.175,60 |
7,63 |
1997 / I |
6.650,80 |
2,31 |
3.250,60 |
2,36 |
II |
6.825,60 |
2,63 |
3.475,60 |
6,92 |
1998 / I |
7.125,20 |
4,39 |
3.690,30 |
6,17 |
II |
7.500,90 |
5,27 |
3.500,30 |
( 5,14 ) |
1999 / I |
7.600,70 |
1,33 |
4.300,30 |
22,85 |
II |
8.650,50 |
13,81 |
4.700,50 |
9,30 |
2000 / I |
8.150,80 |
( 5,77 ) |
4.930,50 |
4,89 |
II |
8.650,50 |
6,13 |
5.300,50 |
7,51 |
Rata - rata |
4,29 |
5,90 |
Sumber : Depperindag Kodya Tingkat II B. Lampung, 2000
Dengan memperhatikan tabel 4 diatas, maka dapat dijelaskan bahwa perkembangan rata rata harga kopi bubuk mengalami kenaikan sebesar 4, 29 persen per semester. Sedangkan harga the bubuk pada periode yang sama mengalami kenaikan rata rata 5,90 persen per semester.
Dalam penulisan ini, penulis mengasumsikan tidak terjadi pemasukan kopi bubuk dari daerah lain dan penawaran kopi bubuk diwakili oleh produksinya, sehingga seluruh penawaran yang dimaksudkan adalah berasal dari produksi yang dihasilkan oleh daerah Bandar Lampung sendiri.
1.2. Permasalahan
Kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan rata rata harga kopi bubuk di Bandar Lampung periode 1990 2000 meningkat sebesar 4,29 persen per semester. Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa perkembangan rata rata kopi bubuk pada periode tersebut terus mengalami peningkatan, sedangkan dilain pihak menunjukkan bahwa perkembangan rata rata produksi ( penawaran ) kopi bubuk di bandar Lampung pada periode yang sama meningkat sebesar 2,00 persen per semester. Dari sisi penawaran tersebut perkembangan berfluktuasi dan pada dua periode terakhir mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa harga kopi bubuk terus meningkat sedangkan penawarannya menurun. Dengan demikian maka permasalahan yang perlu diteliti adalah faktor faktor ekonomis apa sajakah yang mempengaruhi penawaran kopi bubuk di Bandar Lampung ?
1.3. Tujuan Penulisan
Sehubungan dengan permasalahan diatas maka tujuan penulisan dimaksudkan untuk :
Menurut Bilas ( 1984 : 22 ), penawaran berhubungan dengan produsen, dimana produsen bersedia menerima harga yang lebih tinggi bagi suatu jumlah tertentu, tetapi tidak bersedia menawarkan jumlah yang sama pada harga yang lebih rendah. Akibatnya pada harga yang lebih tinggi penawaran akan meningkat, sebaliknya pada harga yang lebih rendah penawaran menurun sedangkan faktor faktor yang lain dianggap konstan.
Menurut Sadono Sukirno ( 1985 : 60 ) faktor faktor yang mempengaruhi penawaran diantaranya yang terpenting adalah harga barang itu sendiri, harga dari barang barang lain, ongkos produksi, tujuan perusahaan dan tingkat teknologi.
1.5. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah bahwa penawaran kopi bubuk di Bandar Lampung dipengaruhi oleh harga kopi bubuk, harga the bubuk, dan produksi kopi bubuk satu periode sebelumnya.
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder selama sebelas tahun terakhir, yaitu dari tahun 1990 2000. Data tersebut diperoleh dengan cara mengutip data yang dikeluarkan oleh instansi instansi terkait.
1.7. Model Analisis dan Pengujian Hipotesis
Model analisis yang digunakan adalah melalui statistika dengan menggunakan model ekonometrika yang hubungan fungsionalnya sebagai berikut :
Ys = f (X1 , X2 , X3 , Xn) ( 1 )
( J. Supranto, 1983 : 104 )
Berdasarkan hubungan fungsional tersebut, maka dalam bentuk matematisnya dapat ditulis sbb:
Ys = a0 + b1X1 + b2X2 + b3X3 + et . ( 2 )
Dimana :
Ys = Penawaran kopi bubuk ( kg/th )
a0 = Intersep
X1 = Harga kopi bubuk pada tahun t ( Rp/kg )
X2 = Harga teh bubuk pada tahun t ( Rp/kg )
X3 = Produksi kopi bubuk satu periode sebelumnya ( kg/th )
et = Peubah pengganggu
b1,b2.b3 = koefisien regresi
Untuk menguji kesesuaian data dengan model regresi yang digunakan dilakukan pengujian secara serempak dengan uji- F dan secara tunggal dengan uji t.
Asumsi asumsi yang digunakan :