Penyakit Hati 10

ASY-SYUH (KIKIR)
 
Asy-syuh memiliki dua makna. Pertama, makna terminologis, yaitu kebakhilan

terhadap kekayaan sampai dia dikenal sebagai orang kikir di kalangan manusia.

Kata ini digunakan secara langsung untuk menyatakan penahanan harta dan

tidak memberikan hartanya. Kedua, makna syariah, yaitu kebakhilan atas

segala kebajikan dan kemakrufan, baik berupa harta atau selainnya, baik

yang ada di tangannya maupun di tangan orang lain. Makna syariah ini

memiliki beberapa bukti dan dalil, di antaranya sabda Rasulullah saw,

"Takutlah kamu untuk berbuat zalim karena perbuatan zalim merupakan

kegelapan di hari kiamat. Takutlah kamu untuk berbuat kikir, karena

kekikiran telah membinasakan orang-orang sebelum kamu. Kekikiran telah

menyeret mereka kepada penumpahan darah dan pelanggaran atas

apa yang diharamkan kepada mereka." (HR Muslim)

***

Kekikiran menurut makna syariah memiliki beberapa bentuk, diantaranya

bakhil terhadap kepemimpinan. Hal ini terjadi jika seseorang memiliki

kedudukan sebagai pemimpin umat dan agama. Dia harus memberikan

kebaikan kepada umatnya, namun dia kikir dalam kepemimpinannya.

Hal itu berarti dia tidak menjalankan posisinya dalam berkhidmat

kepada agama dan kepentingan umat. Bakhil terhadap kehormatan.

Hal ini terjadi pada seseorang yang berasal dari keluarga terkenal mulia

dan terhormat -- yang karena itu dia dapat memelihara dan membela

kebenaran -- namun dia menahan kehormatan dan kemuliaannya dan

tidak menggunakannya untuk memelihara dan membela kebenaran.

***

Bakhil terhadap kelapangan, kesejahteraan dan kesenangan diri. Dia tidak

menggunakan semua itu untuk kepentingan orang lain, padahal dia mampu

melakukannya. Bakhil terhadap ilmu, artinya dia tidak memberikan ilmunya

kepada mereka yang membutuhkannya, walaupun mereka bertanya.

Bakhil terhadap manfaat tubuh dalam bentuk apapun, seperti adil di antara

manusia, menolong orang lain yang membutuhkan bantuan, membuang aral

yang merintangi jalan, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat dan

melapangkan majelis. Bakhil terhadap akhlak yang baik, yaitu tidak

membalas keburukan dengan keburukan, selalu lapang dada

dengan memberi maaf dan tidak mengganggu orang lain.

***

Bakhil terhadap diri, misalnya tidak mengorbankan diri dan tidak

bersedia berkorban untuk kepentingan agama Allah swt. Bakhil terhadap

harta, dalam arti tidak membelanjakannya untuk tujuan kebaikan.

Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang

menghalang-halangi di antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada

saudara-saudaranya, 'Marilah kepada kami'. Dan mereka tidak mendatangi

peperangan melainkan sebentar. Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang

ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan

mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati,

dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah

yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu

tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang

demikian itu adalah mudah bagi Allah
." (QS al-Ahzab: 18-19)

Allah swt berfirman, "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil

dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya

menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya

kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka

bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di

hari kiamat
." (QS Ali Imran: 180)

***

Faktor-faktor penyebab kekikiran diantaranya lingkungan tempat

tinggal, cinta dunia dan membayangkan kemiskinan. Seseorang yang

cinta dunia mengira baik baginya menahan kebajikan dan kemakrufannya

dari manusia supaya dunianya abadi dan dia tidak menjadi miskin.

Dia lupa atau berpura-pura lupa bahwa Allah akan memberi pengganti

kepada hamba-Nya. Allah swt berfirman, " ... Dan barang apa saja

yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya
... " (QS Saba': 39)

***

Tidak meyakini apa yang ada di sisi Allah swt. Tidak adanya keyakinan

terhadap pahala dunia dan pahala akhirat dari Allah swt merupakan faktor

pendorong kekikiran. Barangsiapa tidak membenarkan -- dengan pembenaran

yang tidak mengenal keraguan -- bahwa Allah akan memberi pengganti yang

lebih banyak daripada yang diberikan oleh hamba-Nya, maka dia akan menjadi

kikir. Padahal, Allah-lah yang pertama-tama memberikan karunia kepada

hamba-Nya, tanpa adanya upaya, kekuatan dan perbuatan dari makhluk-Nya.

***

Kekikiran memiliki dampak yang berbahaya, diantaranya yaitu kegelisahan dan

kekacauan batin, azab yang keras di akhirat dan menjerumuskan diri ke dalam

perbuatan dosa. Kekikiran dapat diatasi dengan mencermati dampak yang

ditimbulkan oleh kekikiran, baik itu dampak duniawi maupun ukhrawi.

Mengaji kitab Allah 'Azza wa Jalla guna memahami akibat yang menimpa

orang-orang kikir dan bakhil. Mencermati sunnah, sirah dan petunjuk

Rasulullah saw secara berkesinambungan. Memisahkan diri dari masyarakat

yang dikenal kikir dan bergabung dengan masyarakat yang dikenal dermawan

dan pemurah. Banyak berdoa dan merendahkan diri kepada Allah swt dengan

tulus. Allah swt berfirman, "Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku,

niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang

menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam

dalam keadaan hina dina
.'" (QS al-Mu'min: 60)

***

Memperhatikan kenikmatan yang diberikan Allah swt kepada kita, bahwa

nikmat itu bukanlah milik kita. Kita hanyalah penerima amanat. Pemilik

nikmat menyerukan agar menginfakkan nikmat tersebut kepada orang lain

dan di jalan yang diridhai-Nya disertai janji yang benar bahwa Dia akan

menggantinya dengan berlipat ganda. Allah swt berfirman, "Berimanlah

kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafahkanlah sebagian dari hartamu

yang Allah telah menjadikan kamu  menguasainya. Maka orang-orang yang

beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya

memperoleh pahala yang besar
." (QS al-Hadid: 7)

" ... Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan

menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-

baiknya
." (QS Saba': 39)




GHIBAH
 
Ghibah secara lughawi 'bahasa' berarti 'menceritakan orang lain saat

dia tidak ada, baik cerita itu menyangkut perkara yang disukai maupun yang

tidak disukainya dan, baik cerita itu mengenai kebaikan maupun keburukannya.

Hakikat ghibah menurut istilah syariat berpusat pada pengertian seorang muslim

yang menceritakan saudaranya yang muslim pula ketika dia tidak ada dengan

cerita yang tidak disukai dan dibencinya, baik secara lisan maupun secara

tulisan, secara eksplisit maupun secara sindiran. Dalam sebuah hadits

dikemukakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersabda kepada para

sahabatnya, "Tahukah kamu, apakah ghibah itu?" Mereka menjawab,

"Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Belaiu bersabda, "Kamu

menceritakan saudaramu ihwal sesuatu yang dibencinya." Beliau ditanya,

"Bagaimana jika apa yang diceritakan itu terdapat dalam dirinya?"

Beliau bersabda, "Jika apa yang kamu ceritakan itu terdapat pada dirinya,

berarti engkau mengumpatnya. Jika yang kamu ceritakan itu tidak terdapat

pada dirinya, berarti kamu mengadakan kebohongan tentang dia." (HR Muslim)

Contoh perbuatan ghibah diantaranya menceritakan kekurangan seseorang,

seperti dia pincang, buta, pendek dan seterusnya. Menceritakan perilaku

seorang muslim bahwa dia seorang yang banyak makan, tidur bukan pada

waktunya, kurang menghargai orang lain dan sikap-sikap lainnya.

***

Ghibah menurut pandangan Islam adalah haram. Allah swt berfirman,

" ... Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan

janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah

salah seorang kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?

Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Sesungguhnya Allah

Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang
." (QS al-Hujurat: 12)

***

Walaupun ghibah dilarang, ghibah dibolehkan dalam kondisi dan karena

beberapa alasan diantaranya yaitu pengaduan terhadap kezaliman.

Orang yang dizalimi dapat mengadukan kezaliman seseorang kepada

kalangan yang memiliki kekuasaan agar orang yang dizalimi tersebut

mendapatkan kembali haknya. Ghibah juga dibolehkan untuk mengembalikan

seseorang yang melakukan maksiat agar bertobat. Jika bukan itu tujuannya

berarti dia mengumpat. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa di antara

kamu melihat kemungkaran, maka perbaikilah dengan tindakan. Jika tidak

mampu dengan tindakan, perbaikilah dengan perkataan. Jika tidak mampu,

perbaikilah dengan kebencian  hati dan itulah keimanan yang

paling lemah paling lemah." (HR Muslim)

***

Ghibah juga boleh dilakukan untuk meminta fatwa. Dalam sebuah hadits,

Hindun binti 'Uthbah yaitu ibu Mu'awiyah dan istri Abu Sufyan disebutkan

bahwa dia mengatakan kepada Rasulullah saw. Setelah masuk Islam dan

penaklukan Mekah, dia dan kawan-kawan wanitanya berjanji kepada

Rasulullah saw tidak akan mencuri lagi. Hindun berkata, "Hai Rasulullah,

Abu Sufyan adalah seorang suami yang kikir. Dia tidak memberiku uang

belanja yang memadai untuk keperluanku dan anakku, kecuali kalau aku

mengambil tanpa sepengetahuannya. Apakah perbuatanku yang demikian

berdosa?" Rasulullah saw bersabda, "Ambillah sesuatu sekadar memenuhi

kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang makruf."

(HR Bukhari dan Muslim)

***

Seseorang yang melakukan kefasikan dan bid'ah secara terang-terangan

seperti meminum khamr, menganiaya manusia, merampas tempat tinggalnya,

mengambil harta kekayaan secara zalim dan mengorganisasikan berbagai

perkara batil, maka perbuatannya itu dapat dilaporkan. Tujuan melaporkan
 
perbuatan tersebut dengan niat untuk mengubah perilaku orang tersebut.

***

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah diantaranya

tidak melakukan konfirmasi dan meminta penjelasan sebelum memutuskan

suatu persoalan atau menghukum seseorang. Allah swt berfirman, "Hai orang-

orang yang beriman, jika datang kepadamu suatu berita maka periksalah

dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu

kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu

menyesal atas perbuatanmu itu
." (QS al-Hujurat: 6)

***

Marah juga dapat menjadi penyebab seseorang melakukan ghibah.

Seseorang yang sedang marah apabila tidak memiliki kendali agama dan

moral dalam dirinya, maka lidahnya akan dengan mudah mengumpati orang

yang dimarahinya guna melampiaskan kekesalannya. Faktor lingkungan

juga dapat membuat seseorang melakukan ghibah. Seseorang yang berada

dalam lingkungan yang tidak menghargai hak dan kehormatan orang lain

akan mendorong seseorang untuk melakukan ghibah. Faktor lainnya yaitu

bangga terhadap diri sendiri sehingga mencapai batas sombong dan takabur.

Hal ini dapat mendorong seseorang meremehkan dan mencela orang lain,

misalnya dia mengatakan, "Si Fulan itu orang bodoh, pemahamannya lemah,

pembicaraannya dangkal dan dia tidak cakap mengutarakan sesuatu."

***

Humor dan senda gurau dapat membuat seseorang melakukan ghibah.

Seseorang secara tidak sengaja membuka aib orang lain melalui media

humor dan senda gurau. Oleh karena itu sebagai seorang muslim, kita

harus selalu menjaga ucapan lisan kita, walaupun sedang bersenda gurau.

***

Ghibah dapat berakibat buruk apabila tidak segera ditinggalkan.

Cara untuk meninggalkan perbuatan ghibah diantaranya adalah dengan

mengembangkan naluri ketakwaan kepada Allah dan rasa selalu diawasi

oleh-Nya dalam diri. Jika naluri ini tumbuh dan mengakar dalam diri,

ia dapat melindungi pemiliknya dari tindakan memakan "daging manusia"

(ghibah). Memperhitungkan bahwa setiap ucapan akan dimintakan pertanggung-

jawabannya. Firman Allah swt, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan

melainkan  ada di dekatnya malaikat pengawas yamg selalu hadir
." (QS Qaf: 18)

***

Mengonfirmasikan dan meminta penjelasan sebelum memutuskan suatu

persoalan dan menghukum manusia. Firman Allah swt, "Hai orang-orang yang

beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka

periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada

suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu

menyesal atas perbuatanmu itu
." (QS al-Hujurat: 6)



Copyright © 2000 - 2076