ASY-SYUH (KIKIR)
Asy-syuh memiliki dua makna. Pertama, makna terminologis, yaitu kebakhilan
terhadap kekayaan sampai dia dikenal sebagai orang kikir di kalangan manusia.
Kata ini digunakan secara langsung untuk menyatakan penahanan harta dan
tidak memberikan hartanya. Kedua, makna syariah, yaitu kebakhilan atas
segala kebajikan dan kemakrufan, baik berupa harta atau selainnya, baik
yang ada di tangannya maupun di tangan orang lain. Makna syariah ini
memiliki beberapa bukti dan dalil, di antaranya sabda Rasulullah saw,
"Takutlah kamu untuk berbuat zalim karena perbuatan zalim merupakan
kegelapan di hari kiamat. Takutlah kamu untuk berbuat kikir, karena
kekikiran telah membinasakan orang-orang sebelum kamu. Kekikiran telah
menyeret mereka kepada penumpahan darah dan pelanggaran atas
apa yang diharamkan kepada mereka." (HR Muslim)
***
Kekikiran menurut makna syariah memiliki beberapa bentuk, diantaranya
bakhil terhadap kepemimpinan. Hal ini terjadi jika seseorang memiliki
kedudukan sebagai pemimpin umat dan agama. Dia harus memberikan
kebaikan kepada umatnya, namun dia kikir dalam kepemimpinannya.
Hal itu berarti dia tidak menjalankan posisinya dalam berkhidmat
kepada agama dan kepentingan umat. Bakhil terhadap kehormatan.
Hal ini terjadi pada seseorang yang berasal dari keluarga terkenal mulia
dan terhormat -- yang karena itu dia dapat memelihara dan membela
kebenaran -- namun dia menahan kehormatan dan kemuliaannya dan
tidak menggunakannya untuk memelihara dan membela kebenaran.
***
Bakhil terhadap kelapangan, kesejahteraan dan kesenangan diri. Dia tidak
menggunakan semua itu untuk kepentingan orang lain, padahal dia mampu
melakukannya. Bakhil terhadap ilmu, artinya dia tidak memberikan ilmunya
kepada mereka yang membutuhkannya, walaupun mereka bertanya.
Bakhil terhadap manfaat tubuh dalam bentuk apapun, seperti adil di antara
manusia, menolong orang lain yang membutuhkan bantuan, membuang aral
yang merintangi jalan, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat dan
melapangkan majelis. Bakhil terhadap akhlak yang baik, yaitu tidak
membalas keburukan dengan keburukan, selalu lapang dada
dengan memberi maaf dan tidak mengganggu orang lain.
***
Bakhil terhadap diri, misalnya tidak mengorbankan diri dan tidak
bersedia berkorban untuk kepentingan agama Allah swt. Bakhil terhadap
harta, dalam arti tidak membelanjakannya untuk tujuan kebaikan.
Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang
menghalang-halangi di antara kamu dan orang-orang yang berkata kepada
saudara-saudaranya, 'Marilah kepada kami'. Dan mereka tidak mendatangi
peperangan melainkan sebentar. Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang
ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan
mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati,
dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah
yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu
tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS al-Ahzab: 18-19)
Allah swt berfirman, "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil
dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya
menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di
hari kiamat." (QS Ali Imran: 180)
***
Faktor-faktor penyebab kekikiran diantaranya lingkungan tempat
tinggal, cinta dunia dan membayangkan kemiskinan. Seseorang yang
cinta dunia mengira baik baginya menahan kebajikan dan kemakrufannya
dari manusia supaya dunianya abadi dan dia tidak menjadi miskin.
Dia lupa atau berpura-pura lupa bahwa Allah akan memberi pengganti
kepada hamba-Nya. Allah swt berfirman, " ... Dan barang apa saja
yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya ... " (QS Saba': 39)
***
Tidak meyakini apa yang ada di sisi Allah swt. Tidak adanya keyakinan
terhadap pahala dunia dan pahala akhirat dari Allah swt merupakan faktor
pendorong kekikiran. Barangsiapa tidak membenarkan -- dengan pembenaran
yang tidak mengenal keraguan -- bahwa Allah akan memberi pengganti yang
lebih banyak daripada yang diberikan oleh hamba-Nya, maka dia akan menjadi
kikir. Padahal, Allah-lah yang pertama-tama memberikan karunia kepada
hamba-Nya, tanpa adanya upaya, kekuatan dan perbuatan dari makhluk-Nya.
***
Kekikiran memiliki dampak yang berbahaya, diantaranya yaitu kegelisahan dan
kekacauan batin, azab yang keras di akhirat dan menjerumuskan diri ke dalam
perbuatan dosa. Kekikiran dapat diatasi dengan mencermati dampak yang
ditimbulkan oleh kekikiran, baik itu dampak duniawi maupun ukhrawi.
Mengaji kitab Allah 'Azza wa Jalla guna memahami akibat yang menimpa
orang-orang kikir dan bakhil. Mencermati sunnah, sirah dan petunjuk
Rasulullah saw secara berkesinambungan. Memisahkan diri dari masyarakat
yang dikenal kikir dan bergabung dengan masyarakat yang dikenal dermawan
dan pemurah. Banyak berdoa dan merendahkan diri kepada Allah swt dengan
tulus. Allah swt berfirman, "Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepada-Ku,
niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam
dalam keadaan hina dina.'" (QS al-Mu'min: 60)
***
Memperhatikan kenikmatan yang diberikan Allah swt kepada kita, bahwa
nikmat itu bukanlah milik kita. Kita hanyalah penerima amanat. Pemilik
nikmat menyerukan agar menginfakkan nikmat tersebut kepada orang lain
dan di jalan yang diridhai-Nya disertai janji yang benar bahwa Dia akan
menggantinya dengan berlipat ganda. Allah swt berfirman, "Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
memperoleh pahala yang besar." (QS al-Hadid: 7)
" ... Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan
menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezeki yang sebaik-
baiknya." (QS Saba': 39)
GHIBAH Ghibah secara lughawi 'bahasa' berarti 'menceritakan orang lain saat
dia tidak ada, baik cerita itu menyangkut perkara yang disukai maupun yang
tidak disukainya dan, baik cerita itu mengenai kebaikan maupun keburukannya.
Hakikat ghibah menurut istilah syariat berpusat pada pengertian seorang muslim
yang menceritakan saudaranya yang muslim pula ketika dia tidak ada dengan
cerita yang tidak disukai dan dibencinya, baik secara lisan maupun secara
tulisan, secara eksplisit maupun secara sindiran. Dalam sebuah hadits
dikemukakan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersabda kepada para
sahabatnya, "Tahukah kamu, apakah ghibah itu?" Mereka menjawab,
"Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Belaiu bersabda, "Kamu
menceritakan saudaramu ihwal sesuatu yang dibencinya." Beliau ditanya,
"Bagaimana jika apa yang diceritakan itu terdapat dalam dirinya?"
Beliau bersabda, "Jika apa yang kamu ceritakan itu terdapat pada dirinya,
berarti engkau mengumpatnya. Jika yang kamu ceritakan itu tidak terdapat
pada dirinya, berarti kamu mengadakan kebohongan tentang dia." (HR Muslim)
Contoh perbuatan ghibah diantaranya menceritakan kekurangan seseorang,
seperti dia pincang, buta, pendek dan seterusnya. Menceritakan perilaku
seorang muslim bahwa dia seorang yang banyak makan, tidur bukan pada
waktunya, kurang menghargai orang lain dan sikap-sikap lainnya.
***
Ghibah menurut pandangan Islam adalah haram. Allah swt berfirman,
" ... Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (QS al-Hujurat: 12)
***
Walaupun ghibah dilarang, ghibah dibolehkan dalam kondisi dan karena
beberapa alasan diantaranya yaitu pengaduan terhadap kezaliman.
Orang yang dizalimi dapat mengadukan kezaliman seseorang kepada
kalangan yang memiliki kekuasaan agar orang yang dizalimi tersebut
mendapatkan kembali haknya. Ghibah juga dibolehkan untuk mengembalikan
seseorang yang melakukan maksiat agar bertobat. Jika bukan itu tujuannya
berarti dia mengumpat. Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa di antara
kamu melihat kemungkaran, maka perbaikilah dengan tindakan. Jika tidak
mampu dengan tindakan, perbaikilah dengan perkataan. Jika tidak mampu,
perbaikilah dengan kebencian hati dan itulah keimanan yang
paling lemah paling lemah." (HR Muslim)
***
Ghibah juga boleh dilakukan untuk meminta fatwa. Dalam sebuah hadits,
Hindun binti 'Uthbah yaitu ibu Mu'awiyah dan istri Abu Sufyan disebutkan
bahwa dia mengatakan kepada Rasulullah saw. Setelah masuk Islam dan
penaklukan Mekah, dia dan kawan-kawan wanitanya berjanji kepada
Rasulullah saw tidak akan mencuri lagi. Hindun berkata, "Hai Rasulullah,
Abu Sufyan adalah seorang suami yang kikir. Dia tidak memberiku uang
belanja yang memadai untuk keperluanku dan anakku, kecuali kalau aku
mengambil tanpa sepengetahuannya. Apakah perbuatanku yang demikian
berdosa?" Rasulullah saw bersabda, "Ambillah sesuatu sekadar memenuhi
kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang makruf."
(HR Bukhari dan Muslim)
***
Seseorang yang melakukan kefasikan dan bid'ah secara terang-terangan
seperti meminum khamr, menganiaya manusia, merampas tempat tinggalnya,
mengambil harta kekayaan secara zalim dan mengorganisasikan berbagai
perkara batil, maka perbuatannya itu dapat dilaporkan. Tujuan melaporkan
perbuatan tersebut dengan niat untuk mengubah perilaku orang tersebut.
***
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah diantaranya
tidak melakukan konfirmasi dan meminta penjelasan sebelum memutuskan
suatu persoalan atau menghukum seseorang. Allah swt berfirman, "Hai orang-
orang yang beriman, jika datang kepadamu suatu berita maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu." (QS al-Hujurat: 6)
***
Marah juga dapat menjadi penyebab seseorang melakukan ghibah.
Seseorang yang sedang marah apabila tidak memiliki kendali agama dan
moral dalam dirinya, maka lidahnya akan dengan mudah mengumpati orang
yang dimarahinya guna melampiaskan kekesalannya. Faktor lingkungan
juga dapat membuat seseorang melakukan ghibah. Seseorang yang berada
dalam lingkungan yang tidak menghargai hak dan kehormatan orang lain
akan mendorong seseorang untuk melakukan ghibah. Faktor lainnya yaitu
bangga terhadap diri sendiri sehingga mencapai batas sombong dan takabur.
Hal ini dapat mendorong seseorang meremehkan dan mencela orang lain,
misalnya dia mengatakan, "Si Fulan itu orang bodoh, pemahamannya lemah,
pembicaraannya dangkal dan dia tidak cakap mengutarakan sesuatu."
***
Humor dan senda gurau dapat membuat seseorang melakukan ghibah.
Seseorang secara tidak sengaja membuka aib orang lain melalui media
humor dan senda gurau. Oleh karena itu sebagai seorang muslim, kita
harus selalu menjaga ucapan lisan kita, walaupun sedang bersenda gurau.
***
Ghibah dapat berakibat buruk apabila tidak segera ditinggalkan.
Cara untuk meninggalkan perbuatan ghibah diantaranya adalah dengan
mengembangkan naluri ketakwaan kepada Allah dan rasa selalu diawasi
oleh-Nya dalam diri. Jika naluri ini tumbuh dan mengakar dalam diri,
ia dapat melindungi pemiliknya dari tindakan memakan "daging manusia"
(ghibah). Memperhitungkan bahwa setiap ucapan akan dimintakan pertanggung-
jawabannya. Firman Allah swt, "Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yamg selalu hadir." (QS Qaf: 18)
***
Mengonfirmasikan dan meminta penjelasan sebelum memutuskan suatu
persoalan dan menghukum manusia. Firman Allah swt, "Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu." (QS al-Hujurat: 6)