Adalah satu praktek umum bagi polisi, jika tersangka memberi uang, maka kasus akan disamarkan, meski menyangkut nyawa orang. Kasus Adiguna Sutowo (anak jutawan Ibnu Sutowo) yang menembak pelayan Hotel Hilton, nyaris dipeti-eskan oleh polisi, hingga akhirnya warga Flores (yang sesuku dengan korban) protes. Presiden SBY pun sampai harus turun tangan agar kasus ini tidak dipeti-eskan

Kasus Adiguna Sutowo Dan Perhatian Presiden

DI tengah suasana duka akibat gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, ada suasana kontras di sebuah hotel berbintang di tengah Kota Jakarta pada malam tahun baru. Sejumlah orang dari kalangan atas memadati tempat hiburan di hotel itu, mabok-mabokkan dan melakukan penembakan bagaikan seorang koboi. Peristiwanya terjadi di Bar Fluid Club Hotel Hilton. Pelaku penembakannya Adiguna Sutowo, adik pemilik hotel Ponco Sutowo yang anak mantan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo. Korban penembakannya seorang bartender atau petugas bar bernama Yohanes Brahman H Natong (28) atau Rudy. Adiguna Sutowo adalah penggemar olahraga mobil. Ia kawan Tommy Soeharto yang kini meringkuk di penjara Nusakambangan.

Menurut keterangan yang dimuat berbagai surat kabar, saat itu Rudy minta agar kawan perempuan Adiguna memberikan kartu kredit yang lain sebagai pembayarannya karena kartu kredit BCA yang disodorkan tidak bisa diproses. Perempuan itu marah dan Adiguna mencabut pistolnya lalu menembak kepala Rudy. Ada bukti dan saksi-saksi yang menguatkan polisi untuk menjadikan Adiguna Sutowo sebagai tersangka dan menahannya.

Peristiwa penembakan oleh orang sipil memang tidak hanya sekali ini terjadi. Tetapi kasus Adiguna Sutowo ini menarik untuk disimak, karena ada kesan kesewenang-wenangan orang kuat terhadap yang lemah. Ini terbukti pula dari upaya polisi yang pada awalnya menutup-nutupi kasus tersebut. Keterangannya membingungkan dan wartawan ‘dilempar’ ke sana-sini untuk mendapatkan informasi. Semua orang kecewa atas sikap polisi yang tidak transparan. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan perintah kepada Kapolri, agar polisi menangani kasus ini dengan serius dan tidak boleh menutup-nutupi pelakunya.

Menurut catatan kita, baru sekali ini seorang presiden langsung menaruh perhatian terhadap kasus penembakan seperti ini, bahkan sampai harus mengeluarkan instruksi. Bukan itu saja, kasus ini juga menjadi pembicaraan dalam sidang kabinet. Ini membuktikan betapa seriusnya kasus tersebut, ada warna yang khusus dibanding kasus penembakan yang sering kita dengar.

Seperti kita ketahui, di negara kita ini selama lebih tiga dasawarsa, hukum bukan milik rakyat kecil. Hukum adalah milik penguasa, milik orang kuat atau pejabat tinggi. Pada era kekuasaan Soeharto, hukum mudah dibelokkan sesuai kepentingan orang-orang yang berkuasa. Kita masih ingat ketika 1970-an, salah seorang putra almarhum Jenderal Ali Murtopo (waktu itu asisten pribadi presiden), menembak sampai tewas temannya di SMA. Sorotan tajam datang dari mana-mana, namun di pengadilan hakim membebaskan pelaku penembakan itu. Putra mantan Kapolri Jenderal Widodo Budidarmo juga pernah menembak temannya. Pada waktu itu anak-anak pejabat seenaknya melanggar hukum, apalagi kalau berkaitan dengan bisnisnya. Koruptor juga bisa bebas tanpa tersentuh hukum.

Sekarang ini pun kita masih melihat penanganan terhadap pelaku kejahatan yang tidak profesional. Lihat saja pelaku pembobolan Bank BNI Adrian Woworuntu yang bebas berkeliaran sampai ke luar negeri. Atau sejumlah koruptor BLBI yang hukumannya tidak bisa dieksekusi, karena keburu lari ke luar negeri tanpa ada upaya pencegahan sebelumnya. Kasus Adiguno Sutowo pun bisa bernasib sama, jika tidak ada perhatian dari presiden. Ia bahkan bisa bebas tanpa proses.

Perbuatan Adiguna Sutowo menunjukkan masih adanya sisa-sisa mental ‘kekuasaan’ yang belum terkikis. Padahal sekarang bukan zamannya lagi anak pejabat atau orang kaya main koboi-koboinan, atau mau menang sendiri. Tommy Soeharto saja harus meringkuk dalam penjara karena terlibat kasus pembunuhan seorang hakim agung, apalagi seorang Adiguna Sutowo. Di era sekarang, semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Berangkat dari tekad inilah, barangkali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu memberi perhatian khusus terhadap kasus Adiguna Sutowo.

Untuk menyikapi itu, tidak bisa lain polisi harus bertindak tegas. Polisi juga tidak boleh kecolongan, kemungkinan kaburnya tersangka ke luar negeri harus diantisipasi sehingga tidak ada alasan untuk menangguhkan penahanannya. Pemeriksaan juga harus dilakukan transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat. Bukan zamannya lagi menutup-nutupi sebuah kasus yang dilakukan oleh orang kuat.

Bisakah polisi bekerja tanpa pengaruh, tekanan atau iming-iming uang. Di sini polisi benar-benar diuji, karena Adiguna Sutowo kebetulan orang yang memiliki semuanya. Sejauh mana proses penanganannya, masyarakat bersama presiden akan mengikuti hingga ujung perjalanan kasus ini.

http://www.indomedia.com/bpost/012005/6/opini/opini2.htm

 

Adiguna Sutowo Ditahan di Polda
* Presiden: Kejahatan Seperti Itu Tak Bisa Ditolelir

Jakarta, Kompas - Mantan pereli nasional, Adiguna Sutowo, Minggu (2/1) pagi ditetapkan sebagai tersangka. Ia ditahan di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Namun, Adiguna mengelak dituduh menembak pelayan Bar Fluid Club di Hotel Hilton, Jakarta, Sabtu lalu.

"Pelakunya (Adiguna) sudah kami jadikan tersangka dan ditahan. Kami memiliki bukti cukup untuk menahan dia. Polisi tak mungkin sewenang-wenang menahan seseorang," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Komisaris Besar Matheus Salempang, Minggu sore.

Pertimbangan obyektif dilakukannya penahanan terhadap Adiguna, yang merupakan putra mantan Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo (almarhum), itu antara lain supaya pelaku tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan demi kemudahan proses penyidikan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu malam, sempat juga menanggapi kasus penembakan ini. Ia memperoleh kesan polisi menutup-nutupi kasus itu. Di depan wartawan di rumahnya di Cikeas, Bogor, Presiden meminta polisi berlaku transparan dan menangani kasus tersebut secara tuntas.

"Saya menginstruksikan Kepala Polri menegakkan hukum terhadap pelaku penembakan. Tunjukkan transparansi dan akuntabilitas demi keadilan. Kejahatan seperti itu tidak bisa ditolelir. Sekarang ini beredar kabar seolah-olah negara dan penegak hukum tidak tegas. Masyarakat tidak perlu khawatir," kata Presiden.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tjiptono menyatakan, polisi menemukan 19 butir peluru di kamar tempat Adiguna menginap. Hingga saat ini polisi masih melakukan pengejaran terhadap wanita yang pada saat kejadian berada di bar bersama Adiguna untuk mendapatkan keterangan.

Polisi telah memeriksa empat saksi, dua di antaranya melihat langsung bahwa Adiguna yang melakukan penembakan. Dari proyektil yang ditemukan bersarang di kepala korban, pelurunya diperkirakan memiliki kaliber 22 milimeter dan ditembakkan dari jenis senjata Revolver.

Adiguna menjadi tersangka karena diduga membunuh Yohanes Brataman Haerudy Natong (28) di Bar Fluid Club di Hotel Hilton, Jakarta Pusat, pada Sabtu dini hari. Pelayan bar yang baru bekerja satu bulan dan akrab disapa Rudy itu adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Jakarta.

Sejumlah saksi yang berada di Bar Fluid Club pada Sabtu dini hari melihat langsung Adiguna menembak Rudy tepat di pelipis atas kanan. Penembakan diduga dilakukan dalam jarak dekat. Adiguna, yang pada saat itu bersama seorang wanita, marah ketika Rudy menyarankan kepada teman wanitanya itu agar menggunakan kartu kredit lain selain BCA Card atau melalui pembayaran tunai.

Adiguna Sutowo saat itu mencabut pistol dan menodongkannya ke pelipis atas kanan Rudy. Kemudian ia menembakkan senjata apinya hingga mengakibatkan Rudy tewas. Penembakan dilakukan di tengah alunan musik era 1970-an menyambut malam pergantian tahun.

Senjata hilang

Baik Salempang maupun Tjiptono menyatakan polisi belum menemukan senjata api yang digunakan Adiguna untuk menembak Rudy. "Masih terus kami cari," kata Salempang.

Ditanya apakah hilangnya senjata api tersebut sebagai salah satu indikasi upaya pelaku menghilangkan barang bukti, Salempang menyatakan masalah itu yang kini diselidiki polisi. "Kalau senjatanya sudah ketemu, bisa terungkap apakah senjata yang digunakan itu ilegal atau tidak. Dari nomor serinya akan ketahuan," katanya.

Ketika ditanya apakah senjata api yang digunakan untuk menembak itu sengaja dihilangkan Adiguna untuk menghilangkan jejak, Tjiptono menyatakan itu bisa saja terjadi. Namun, polisi tetap akan berusaha mencarinya.

Senjata yang "hilang" itu bisa saja dijadikan sebagai alasan atau dalih bagi dia untuk menghindar dari jerat hukum. "Kami berharap Adiguna bisa lebih kooperatif agar hukum tidak memberatkan dia," katanya.

Terkait dengan kasus penembakan itu, kata Tjiptono, Adiguna bisa dikenai Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Keadaan Darurat. "Melihat hukumannya yang lebih dari lima tahun," ujarnya menambahkan.

Ditanya apakah hilangnya senjata api milik Adiguna akibat polisi lamban datang ke tempat kejadian, Tjiptono menyatakan, tidak lama setelah terjadi kasus itu, polisi langsung ke tempat kejadian dan mengumpulkan barang bukti serta saksi.

Seusai mendampingi kliennya menjalani pemeriksaan, Amir Karyatin, kuasa hukum Adiguna, kepada sejumlah wartawan menyatakan bahwa kliennya itu menolak menandatangani berita acara pemeriksaan. Hal itu dilakukan karena Adiguna tidak merasa menembak seperti yang disangkakan.

Tidak terbuka

Dalam menangani kasus penembakan itu polisi terkesan tidak bersikap terbuka. Sejumlah pejabat di Kepolisian Sektor (Polsek) Tanah Abang dan Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Pusat pada Sabtu lalu enggan menjelaskan siapa pelaku penembakan.

Bahkan, Laporan Segera-laporan kejadian rutin dari tiap kesatuan di Polda Metro Jaya yang biasanya jelas-pada Sabtu 1 Januari 2005 mendadak jadi tidak transparan. Waktu, tempat kejadian, korban, saksi, modus operandi, kerugian, dan kesatuan yang menangani ditik dengan jelas. Hanya identitas pelaku penembakan yang sengaja "disembunyikan" dan hanya ditik --- (baca kosong- Red).

Tjiptono menepis anggapan bahwa polisi tidak terbuka. Ia menyatakan kasus penembakan itu merupakan kasus besar yang menyita perhatian publik. Karena itu, sebaiknya ditangani polda. Polisi, lanjutnya, sudah transparan. "Sejak Sabtu sore, saya sudah menyampaikan kepada wartawan yang menghubungi saya bahwa pelakunya diduga Adiguna," katanya.

Menurut catatan Kompas, pelawak ternama Parto "Patrio" yang melucu dengan aksen Tegal-nya pada Agustus 2004 menembakkan senjata apinya dengan peluru karet ke langit-langit lobi Planet Holywood. Tindakannya itu dimaksudkan untuk mengusir wartawan infotainment yang mencoba menggali informasi seputar rumah tangganya.

Atas kejadian tersebut, sehari kemudian Parto ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polsek Setiabudi. Sebelum Parto menjadi tersangka dan ditahan, sejumlah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia di Polsek Setiabudi, Polres Jakarta Selatan, dan Polda Metro Jaya tidak keberatan memberikan informasi kepada masyarakat. (IR/MAS/INU)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/03/utama/1474587.htm

 

Kamis, 06 Januari 2005

'Adiguna Tiga Kali Menarik Pelatuk'

Korban, katanya, ditembak dari jarak di atas 60 centimeter. Peluru tersebut mengenai otak Yohanes. Mengenai jenis pelurunya, Mu'nim menolak menjelaskan karena tidak berwenang. Kemarin, ratusan mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK) dan Rachmawati Soekarnoputri menemui Kapolda Metro Jaya. Mereka meminta agar tidak ada permainan dalam mengusut kematian Yohanes yang juga mahasiswa UBK itu.

(dwo/c27/hri/run )

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=182953&kat_id=3

 

Putra Putri Flores Demo Soal Adiguna

JAKARTA, (PR).-
Adiguna Sutowo, putra mendiang mantan Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo, harus diadili, jangan terkesan sebaliknya polisi melindungi pelaku penembakan terhadap almarhum Yohanes Brahmans C. Haerudy Natong (Rudy), bartender di Fluid Club Hotel Hilton Jakarta.

Desakan tersebut disuarakan secara terpisah oleh Forum Florete Flores (Forum Mahasiswa dan Pemuda/i Flores Jakarta), Federasi Serikat Pekerja Mandiri dan Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri di Jakarta, Rabu (5/1).

Ketiga lembaga merespons tindak kriminal Adiguna Sutowo yang menembak Rudy pada Sabtu (1/1). Adiguna dalam status sebagai tersangka dan ditahan di Polda Metro Jaya. Dalam penyidikan, polisi belum menemukan bukti pistol yang digunakan tersangka menembak Rudy. Bahkan, pengacaranya sempat membantah kliennya sebagai pelaku penembakan terhadap Rudy.

Forum Florete Flores menyayangkan sikap polisi yang terkesan ingin menutupi kasus ini. "Kami beranggapan sikap aparat seperti ini justru lebih memalukan daripada tindakan sang pelaku kebiadaban sendiri. Kepolisian sebagai garda terdepan pembela kebenaran dan keadilan malah ingin menjadi garda terdepan pelindung pelaku kriminal yang biadab," kata Edy Kalakoe didampingi Rikard Rahmat dan anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman di Gedung MPR/DPR RI Jakarta.

Walaupun status almarhum Rudy hanya pelayan dan mungkin sangat kecil perannya dibanding kanpemilik saham di hotel itu, kata Edy Kalakoe, nyawa almarhum yang melayang tidak dapat dibiarkan tanpa suatu pertanggungjawaban dari pelaku.

Forum mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan aparat terkait untuk memberikan perhatian khusus kasus ini hingga pelakunya diadili dan dihukum. Menuntut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Firman Gani, mundur dari jabatannya apabila tidak bisa menuntaskan kasus ini. Kapolri diminta menindak tegas oknum polisi yang berusaha melindungi tersangka. Sedangkan pengelola hotel diminta ikut bertanggung jawab atas kelalaiannya dengan membiarkan pengguna senjata masuk hotel. "Kami akan tetap mengawal kinerja aparat kepolisian dan penegak hukum lainnya sampai masalah ini tuntas proses hukumnya," kata Edy Kalakoe.

Anggota Komisi III DPR asal Flores Benny K. Harman menyatakan kasus ini sebagai salah satu ujian bagi pemerintah. Apabila dalam waktu 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa menuntaskan kasus ini, maka akan makin terpuruk citranya.

Ia menyatakan polisi tidak bisa berdalih bahwa tersangka tidak bisa diminta pertanggungjawaban karena tindak kriminalnya dilakukan dalam kondisi mabuk. "Tersangka mabuk jangan dijadikan dalih tidak bisa bertanggung jawab atas aksinya," Kata Benny K.Harman.

Sementara belasan Federasi Serikat Pekerja Mandiri mengekspresikan desakannya dalam aksi demonstrasi depan Polda Metro Jaya. Mereka mengatasnamakan para pekerja di sektor pariwisata yang mencapai 12 juta orang. Selain orasi, para pekerja membentangkan spanduk bertuliskan, "Jangan ada lagi koboi di sektor pariwisata. Usut tuntas kasus kematin Rudy."

Ia minta aparat kepolisian menerapkan aturan tentang larangan membawa senjata api ke hotel, cafe, plaza, restoran, dan tempat hiburan. Dengan demikian, tidak terulang tindak kriminal terhadap para pekerja pariwisata.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati, tampak ikut dalam barisan para pendemo yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Bung Karno. Bahkan, ia bersama para pendemo sempat menemui Kapolda Metro Jaya Irjen. Pol. Firman Gani dan Kepala Reserse Polda Metro Jaya Kombes Pol. Mathius Salempang. "Kami minta kasus ini diusut tuntas. Jangan sampai terjadi rekayasa dalam penyidikan kasus ini," kata Rachmawati.

Kepala Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Mathius Salempang menyatakan, tersangka Adiguna hanya memiliki izin senjata api dengan peluru karet. Itu pun sudah kadaluwarsa.

Tetapi Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Firman Gani, menyatakan Adiguna mengantongi izin kepemilikan senjata. "Catatan kita, dia memiliki izin kepemilikan senjata, tetapi pistolnya belum ditemukan sampai sekarang dan yang bersangkutan belum mengaku sebagai pelaku penembakan," katanya.

Namun, Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Paiman memberikan keterangan berbeda dengan Firman. Menurut Paiman, surat izin kepemilikan senjata Adiguna sudah dicabut sejak Oktober yang lalu. "Izin dicabut karena perbuatannya mengancam dengan menggunakan senjata peluru karet tersebut," ujar Paiman di Mabes Polri, Jln. Trunojoyo, Jakarta, Rabu (5/1).

Paiman menjelaskan, bulan Oktober lalu Adiguna sempat menggunakan senjata itu bersama-sama Ricardo Gelael untuk menakut-nakuti kerabat penyanyi rock Achmad Albar. Achmad Albar adalah mantan suami Rini S Bono, dan Rini kemudian menikah dengan Ricardo.

Sementara itu, Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Suyitno Landung menjelaskan, proses penembakandiduga dilakukan Adiguna. Pereli ini diduga menodongkan pistolnya ke arah Rudy. Dia menarik pelatuk pistol sebanyak tiga kali. Tembakan pertama dan kedua tidak meledak. Baru yang ketiga meledak dan Rudy pun terkapar tewas."Kami sudah menemukan bukti permulaan bahwa Adiguna Sutowo menodongkan pistolnya di depan korban (Rudy) dan Adiguna Sutowo sempat menarik pemicu tiga kali. Yang dua tidak meledak, baru yang ketiga meledak," ujar Landung di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (5/1).

Dikatakan, sebanyak 19 orang saksi telah diperiksa. Tiga saksi menguatkan dugaan bahwa Adiguna adalah pelaku penembakan. "Mereka melihat bahwa dialah yang melakukan penembakan. Saya tidak akan sebut nama mereka demi keamanan. Namun, saksi itu menyatakan melihat penembakan dan harus dibuktikan. Untuk itu, senjata korban masih dicari," papar Suyitno.

Indikasi kedua yang menguatkan Adiguna pelaku penembakan ada seorang saksi yang melihat dan mengenal Adiguna. "Untuk itu mereka dikonfrontasi. Yang mengenali dikonfrontasi, kemudian mereka membenarkan bahwa Adiguna melakukan penembakan," ujarnya.

Selanjutnya, kata Suyitno, dari 19 saksi yang diperiksa pihaknya sedang menyicil pembuatan resume untuk mempercepat proses penyerahan berkas sambil mencari senjata api tesebut.(A-84/A-109)***

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/06/0104.htm

 

Penembakan di Hotel Hilton

Pistol Tersangka Diserahkan pada Orang Lain

JAKARTA - Kasus penembakan yang dituduhkan kepada Adiguna Sutowo semakin mencuat ke permukaan. Pasalnya, selain tersangka yang anak bungsu Ibnu Sutowo itu menyangkal menembak, juga sampai saat ini polisi belum menemukan pistol berjenis Cis.

Diperoleh keterangan dari 16 saksi, ada 15 saksi yang melihat Adiguna yang melakukan penembakan. Seusai menembak, Adiguna kemudian memberikan pistol kepada orang di sampingnya.

"Kejadiannya secepat kilat," kata salah seorang saksi. Saksi ini berada di lokasi saat kejadian penembakan.

Sementara itu, dua petinggi Polri saling berbeda pendapat soal surat izin kepemilikan senjata api Adiguna Sutowo. Menurut keterangan Kapolda Irjen Firman Gani, tersangka memiliki izin kepemilikan senjata api. Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen Paiman mengemukakan, tersangka hanya memiliki izin senjata berpeluru karet dan lagi izin itu pun sudah dicabut.

"Dia tidak punya izin kepemilikan senjata api. Didata tidak ada. Penjelasan dari intel dia memang pernah mendapat izin kepemilikan senjata peluru karet tapi sekarang izin itu sudah dicabut sebelum kejadian," papar Paiman, Rabu (5/1).

Saat ditanya kenapa izin kepemilikan sejata peluru karet Adiguna dicabut, Paiman menyatakan tidak tahu.

Senada dengan Paiman, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Mathius Salempang menyebutkan, Adiguna hanya memiliki izin kepemilikan senjata api untuk peluru karet yang sudah kedaluwarsa.

Mathius mengatakan, pihaknya juga sedang berusaha mencari senjata api milik Adiguna Sutowo, antara lain dengan menyisir lokasi Bar Fluid Hotel Hilton, tempat kejadian penembakan terhadap Yohanes Brachmans Chaerudy Natong.

"Sampai saat ini, senjata api belum kami temukan. Penggeledahan sudah kami lakukan namun masih nihil," ujarnya.

Bahkan, Tim Gegana bersama Mabes Polri dan Polda Metro kembali menyisir di tempat kejadian. Dia menuturkan, penggeledahan terus dilakukan, salah satunya di bak kloset kamar 1654 Hotel Hilton yang merupakan kamar Adiguna. Di sana ditemukan 19 butir peluru dan handuk yang berlumuran darah.

Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman menekankan, ada indikasi Polri mempetieskan pengusutan kasus penembakan terhadap Yohanes BC Natong alias Rudi pada Sabtu (1/1) pagi yang diduga melibatkan Adiguna Sutowo.

"Kami memperoleh informasi, tekanan yang dilakukan pihak Adiguna Sutowo kepada Polri begitu kuat dan berujung kepada pengalihan atau memetieskan kasus ini," tandasnya.

Kabid Humas Polda Metro Kombes Tjiptono menegaskan, tidak akan pernah terjadi pertukaran pelaku dalam kasus penembakan yang melibatkan tersangka Adiguna Sutowo.

Menanggapi kekhawatiran masyarakat akan terjadinya pertukaran pelaku dalam kasus penembakan tersebut, Tjiptono menekankan, "Tidak benar jika ada yang menuduh polisi akan menukar pelaku. Itu tidak akan pernah terjadi. Kami akan profesional menyelesaikan kasus ini."

Dia mengungkapkan, adalah hal aneh jika ada kalangan yang khawatir akan terjadinya pertukaran pelaku, mengingat sehari setelah penembakan itu polisi telah menetapkan Adiguna sebagai tersangka.

"Jadi, mana mungkin kami menukar pelaku?" Penyidik memperoleh keterangan dari beberapa saksi, Adiguna memang menembakkan senjata apinya ke kepala Rudy.

Kemarin, Solidaritas Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk Rudy berunjuk rasa di depan Polda Metro dan Hotel Hilton.

Menurut keterangan koordinator aksi Gregorius Bruno Djako,

unjuk rasa melibatkan sedikitnya 1.000 orang. "Selain mahasiswa asal NTT, kami juga menggandeng BEM Universitas Bung Karno (UBK)," ujarnya.

Unjuk rasa bertujuan agar proses hukum terhadap Adiguna tetap berjalan pada jalurnya. Bahkan, mereka meminta polisi tidak membelokkan kasus ini ke arah kepemilikan senjata api gelap.

"Akan tetapi harus pada pokok permasalahannya, yakni Adiguna melakukan pembunuhan," tegasnya.

Ketua Umum Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) Rachmawati Soekarnoputri meminta penyelidikan tersangka Adiguna Sutowo dilakukan secara tuntas, transparan, dan tidak ada rekayasa.

Rachmawati menyatakan hal itu saat turut bergabung dalam demonstrasi yang diikuti 500 mahasiswa UBK di Polda Metro. Rachmawati diterima Kapolda Metro Jaya Irjen Firman Gani dan Kepala Pusat Reserse Mathius Salempang.

Kehadiran Rachmawati meminta agar kasus penembakan Rudy, salah seorang mahasiswa UBK, diusut tuntas. Rudy ditembak di Bar Fluid Hotel Hilton pada malam pergantian tahun 2005. Tersangka kasus ini adalah Adiguna, salah seorang pemilik Hotel Hilton.

Canisius Sosa Jeen, mahasiswa UBK, yang berdemo mengecek keberadaan Adiguna di sel Mapolda Metro. Dia mewakili rekan-rekannya merasa khawatir bahwa Adiguna tidak ada di sel.

Namun ketika dia mendatangi sel, Canisius Cosa mengaku telah bertemu dan melihat langsung Adiguna dalam tahanan. "Saya melihat Adiguna Sutowo selama satu menit. Dia memakai kaus cokelat muda. Dia tampak kebingungan." (bu,dtc-33j)

http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/06/nas04.htm