Adalah
satu praktek umum bagi polisi, jika tersangka memberi uang, maka kasus akan
disamarkan, meski menyangkut nyawa orang. Kasus Adiguna Sutowo (anak jutawan
Ibnu Sutowo) yang menembak pelayan Hotel Hilton, nyaris dipeti-eskan oleh
polisi, hingga akhirnya warga Flores (yang sesuku dengan korban) protes.
Presiden SBY pun sampai harus turun tangan agar kasus ini tidak dipeti-eskan
Kasus Adiguna
Sutowo Dan Perhatian Presiden
DI
tengah
suasana duka akibat gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara, ada suasana
kontras di sebuah hotel berbintang di tengah Kota Jakarta pada malam tahun baru.
Sejumlah orang dari kalangan atas memadati tempat hiburan di hotel itu,
mabok-mabokkan dan melakukan penembakan bagaikan seorang koboi. Peristiwanya
terjadi di Bar Fluid Club Hotel Hilton. Pelaku penembakannya Adiguna Sutowo,
adik pemilik hotel Ponco Sutowo yang anak mantan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo.
Korban penembakannya seorang bartender atau petugas bar bernama Yohanes Brahman
H Natong (28) atau Rudy. Adiguna Sutowo adalah penggemar olahraga mobil. Ia
kawan Tommy Soeharto yang kini meringkuk di penjara Nusakambangan.
Menurut
keterangan yang dimuat berbagai surat kabar, saat itu Rudy minta agar kawan
perempuan Adiguna memberikan kartu kredit yang lain sebagai pembayarannya karena
kartu kredit BCA yang disodorkan tidak bisa diproses. Perempuan itu marah dan
Adiguna mencabut pistolnya lalu menembak kepala Rudy. Ada bukti dan saksi-saksi
yang menguatkan polisi untuk menjadikan Adiguna Sutowo sebagai tersangka dan
menahannya.
Peristiwa
penembakan oleh orang sipil memang tidak hanya sekali ini terjadi. Tetapi kasus
Adiguna Sutowo ini menarik untuk disimak, karena ada kesan kesewenang-wenangan
orang kuat terhadap yang lemah. Ini terbukti pula dari upaya polisi yang pada
awalnya menutup-nutupi kasus tersebut. Keterangannya membingungkan dan wartawan
‘dilempar’ ke sana-sini untuk mendapatkan informasi. Semua orang kecewa atas
sikap polisi yang tidak transparan. Sampai-sampai Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengeluarkan perintah kepada Kapolri, agar polisi menangani kasus ini
dengan serius dan tidak boleh menutup-nutupi pelakunya.
Menurut
catatan kita, baru sekali ini seorang presiden langsung menaruh perhatian
terhadap kasus penembakan seperti ini, bahkan sampai harus mengeluarkan
instruksi. Bukan itu saja, kasus ini juga menjadi pembicaraan dalam sidang
kabinet. Ini membuktikan betapa seriusnya kasus tersebut, ada warna yang khusus
dibanding kasus penembakan yang sering kita dengar.
Seperti
kita ketahui, di negara kita ini selama lebih tiga dasawarsa, hukum bukan milik
rakyat kecil. Hukum adalah milik penguasa, milik orang kuat atau pejabat tinggi.
Pada era kekuasaan Soeharto, hukum mudah dibelokkan sesuai kepentingan
orang-orang yang berkuasa. Kita masih ingat ketika 1970-an, salah seorang putra
almarhum Jenderal Ali Murtopo (waktu itu asisten pribadi presiden), menembak
sampai tewas temannya di SMA. Sorotan tajam datang dari mana-mana, namun di
pengadilan hakim membebaskan pelaku penembakan itu. Putra mantan Kapolri
Jenderal Widodo Budidarmo juga pernah menembak temannya. Pada waktu itu
anak-anak pejabat seenaknya melanggar hukum, apalagi kalau berkaitan dengan
bisnisnya. Koruptor juga bisa bebas tanpa tersentuh hukum.
Sekarang
ini pun kita masih melihat penanganan terhadap pelaku kejahatan yang tidak
profesional. Lihat saja pelaku pembobolan Bank BNI Adrian Woworuntu yang bebas
berkeliaran sampai ke luar negeri. Atau sejumlah koruptor BLBI yang hukumannya
tidak bisa dieksekusi, karena keburu lari ke luar negeri tanpa ada upaya
pencegahan sebelumnya. Kasus Adiguno Sutowo pun bisa bernasib sama, jika tidak
ada perhatian dari presiden. Ia bahkan bisa bebas tanpa proses.
Perbuatan
Adiguna Sutowo menunjukkan masih adanya sisa-sisa mental ‘kekuasaan’ yang
belum terkikis. Padahal sekarang bukan zamannya lagi anak pejabat atau orang
kaya main koboi-koboinan, atau mau menang sendiri. Tommy Soeharto saja harus
meringkuk dalam penjara karena terlibat kasus pembunuhan seorang hakim agung,
apalagi seorang Adiguna Sutowo. Di era sekarang, semua orang sama kedudukannya
di depan hukum. Berangkat dari tekad inilah, barangkali Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono perlu memberi perhatian khusus terhadap kasus Adiguna Sutowo.
Untuk
menyikapi itu, tidak bisa lain polisi harus bertindak tegas. Polisi juga tidak
boleh kecolongan, kemungkinan kaburnya tersangka ke luar negeri harus
diantisipasi sehingga tidak ada alasan untuk menangguhkan penahanannya.
Pemeriksaan juga harus dilakukan transparan agar tidak menimbulkan kecurigaan
masyarakat. Bukan zamannya lagi menutup-nutupi sebuah kasus yang dilakukan oleh
orang kuat.
Bisakah
polisi bekerja tanpa pengaruh, tekanan atau iming-iming uang. Di sini polisi
benar-benar diuji, karena Adiguna Sutowo kebetulan orang yang memiliki semuanya.
Sejauh mana proses penanganannya, masyarakat bersama presiden akan mengikuti
hingga ujung perjalanan kasus ini.
http://www.indomedia.com/bpost/012005/6/opini/opini2.htm
Adiguna Sutowo Ditahan di Polda
* Presiden:
Kejahatan Seperti Itu Tak Bisa Ditolelir
Jakarta,
Kompas - Mantan pereli nasional, Adiguna Sutowo, Minggu (2/1) pagi ditetapkan
sebagai tersangka. Ia ditahan di rumah tahanan Polda Metro Jaya. Namun, Adiguna
mengelak dituduh menembak pelayan Bar Fluid Club di Hotel Hilton, Jakarta, Sabtu
lalu.
"Pelakunya
(Adiguna) sudah kami jadikan tersangka dan ditahan. Kami memiliki bukti cukup
untuk menahan dia. Polisi tak mungkin sewenang-wenang menahan seseorang,"
kata Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya
Komisaris Besar Matheus Salempang, Minggu sore.
Pertimbangan
obyektif dilakukannya penahanan terhadap Adiguna, yang merupakan putra mantan
Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo (almarhum), itu antara lain supaya pelaku
tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan demi kemudahan
proses penyidikan.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, Minggu malam, sempat juga menanggapi kasus penembakan
ini. Ia memperoleh kesan polisi menutup-nutupi kasus itu. Di depan wartawan di
rumahnya di Cikeas, Bogor, Presiden meminta polisi berlaku transparan dan
menangani kasus tersebut secara tuntas.
"Saya
menginstruksikan Kepala Polri menegakkan hukum terhadap pelaku penembakan.
Tunjukkan transparansi dan akuntabilitas demi keadilan. Kejahatan seperti itu
tidak bisa ditolelir. Sekarang ini beredar kabar seolah-olah negara dan penegak
hukum tidak tegas. Masyarakat tidak perlu khawatir," kata Presiden.
Kepala
Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tjiptono menyatakan,
polisi menemukan 19 butir peluru di kamar tempat Adiguna menginap. Hingga saat
ini polisi masih melakukan pengejaran terhadap wanita yang pada saat kejadian
berada di bar bersama Adiguna untuk mendapatkan keterangan.
Polisi
telah memeriksa empat saksi, dua di antaranya melihat langsung bahwa Adiguna
yang melakukan penembakan. Dari proyektil yang ditemukan bersarang di kepala
korban, pelurunya diperkirakan memiliki kaliber 22 milimeter dan ditembakkan
dari jenis senjata Revolver.
Adiguna
menjadi tersangka karena diduga membunuh Yohanes Brataman Haerudy Natong (28) di
Bar Fluid Club di Hotel Hilton, Jakarta Pusat, pada Sabtu dini hari. Pelayan bar
yang baru bekerja satu bulan dan akrab disapa Rudy itu adalah mahasiswa semester
akhir Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Jakarta.
Sejumlah
saksi yang berada di Bar Fluid Club pada Sabtu dini hari melihat langsung
Adiguna menembak Rudy tepat di pelipis atas kanan. Penembakan diduga dilakukan
dalam jarak dekat. Adiguna, yang pada saat itu bersama seorang wanita, marah
ketika Rudy menyarankan kepada teman wanitanya itu agar menggunakan kartu kredit
lain selain BCA Card atau melalui pembayaran tunai.
Adiguna
Sutowo saat itu mencabut pistol dan menodongkannya ke pelipis atas kanan Rudy.
Kemudian ia menembakkan senjata apinya hingga mengakibatkan Rudy tewas.
Penembakan dilakukan di tengah alunan musik era 1970-an menyambut malam
pergantian tahun.
Senjata
hilang
Baik
Salempang maupun Tjiptono menyatakan polisi belum menemukan senjata api yang
digunakan Adiguna untuk menembak Rudy. "Masih terus kami cari," kata
Salempang.
Ditanya
apakah hilangnya senjata api tersebut sebagai salah satu indikasi upaya pelaku
menghilangkan barang bukti, Salempang menyatakan masalah itu yang kini
diselidiki polisi. "Kalau senjatanya sudah ketemu, bisa terungkap apakah
senjata yang digunakan itu ilegal atau tidak. Dari nomor serinya akan
ketahuan," katanya.
Ketika
ditanya apakah senjata api yang digunakan untuk menembak itu sengaja dihilangkan
Adiguna untuk menghilangkan jejak, Tjiptono menyatakan itu bisa saja terjadi.
Namun, polisi tetap akan berusaha mencarinya.
Senjata
yang "hilang" itu bisa saja dijadikan sebagai alasan atau dalih bagi
dia untuk menghindar dari jerat hukum. "Kami berharap Adiguna bisa lebih
kooperatif agar hukum tidak memberatkan dia," katanya.
Terkait
dengan kasus penembakan itu, kata Tjiptono, Adiguna bisa dikenai Pasal 338 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Keadaan
Darurat. "Melihat hukumannya yang lebih dari lima tahun," ujarnya
menambahkan.
Ditanya
apakah hilangnya senjata api milik Adiguna akibat polisi lamban datang ke tempat
kejadian, Tjiptono menyatakan, tidak lama setelah terjadi kasus itu, polisi
langsung ke tempat kejadian dan mengumpulkan barang bukti serta saksi.
Seusai
mendampingi kliennya menjalani pemeriksaan, Amir Karyatin, kuasa hukum Adiguna,
kepada sejumlah wartawan menyatakan bahwa kliennya itu menolak menandatangani
berita acara pemeriksaan. Hal itu dilakukan karena Adiguna tidak merasa menembak
seperti yang disangkakan.
Tidak
terbuka
Dalam
menangani kasus penembakan itu polisi terkesan tidak bersikap terbuka. Sejumlah
pejabat di Kepolisian Sektor (Polsek) Tanah Abang dan Kepolisian Resor (Polres)
Jakarta Pusat pada Sabtu lalu enggan menjelaskan siapa pelaku penembakan.
Bahkan,
Laporan Segera-laporan kejadian rutin dari tiap kesatuan di Polda Metro Jaya
yang biasanya jelas-pada Sabtu 1 Januari 2005 mendadak jadi tidak transparan.
Waktu, tempat kejadian, korban, saksi, modus operandi, kerugian, dan kesatuan
yang menangani ditik dengan jelas. Hanya identitas pelaku penembakan yang
sengaja "disembunyikan" dan hanya ditik --- (baca kosong- Red).
Tjiptono
menepis anggapan bahwa polisi tidak terbuka. Ia menyatakan kasus penembakan itu
merupakan kasus besar yang menyita perhatian publik. Karena itu, sebaiknya
ditangani polda. Polisi, lanjutnya, sudah transparan. "Sejak Sabtu sore,
saya sudah menyampaikan kepada wartawan yang menghubungi saya bahwa pelakunya
diduga Adiguna," katanya.
Menurut
catatan Kompas, pelawak ternama Parto "Patrio" yang melucu dengan
aksen Tegal-nya pada Agustus 2004 menembakkan senjata apinya dengan peluru karet
ke langit-langit lobi Planet Holywood. Tindakannya itu dimaksudkan untuk
mengusir wartawan infotainment yang mencoba menggali informasi seputar rumah
tangganya.
Atas
kejadian tersebut, sehari kemudian Parto ditetapkan sebagai tersangka dan
ditahan di Polsek Setiabudi. Sebelum Parto menjadi tersangka dan ditahan,
sejumlah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia di Polsek Setiabudi,
Polres Jakarta Selatan, dan Polda Metro Jaya tidak keberatan memberikan
informasi kepada masyarakat. (IR/MAS/INU)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/03/utama/1474587.htm
Kamis, 06
Januari 2005
'Adiguna Tiga Kali Menarik Pelatuk'
Korban, katanya, ditembak dari jarak di atas 60 centimeter. Peluru tersebut
mengenai otak Yohanes. Mengenai jenis pelurunya, Mu'nim menolak menjelaskan
karena tidak berwenang. Kemarin, ratusan mahasiswa Universitas Bung Karno (UBK)
dan Rachmawati Soekarnoputri menemui Kapolda Metro Jaya. Mereka meminta agar
tidak ada permainan dalam mengusut kematian Yohanes yang juga mahasiswa UBK itu.
(dwo/c27/hri/run
)
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=182953&kat_id=3
Putra
Putri Flores Demo Soal Adiguna
JAKARTA,
(PR).-
Adiguna Sutowo, putra mendiang mantan Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo,
harus diadili, jangan terkesan sebaliknya polisi melindungi pelaku penembakan
terhadap almarhum Yohanes Brahmans C. Haerudy Natong (Rudy), bartender di Fluid
Club Hotel Hilton Jakarta.
Desakan
tersebut disuarakan secara terpisah oleh Forum Florete Flores (Forum Mahasiswa
dan Pemuda/i Flores Jakarta), Federasi Serikat Pekerja Mandiri dan Ketua Yayasan
Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri di Jakarta, Rabu (5/1).
Ketiga
lembaga merespons tindak kriminal Adiguna Sutowo yang menembak Rudy pada Sabtu
(1/1). Adiguna dalam status sebagai tersangka dan ditahan di Polda Metro Jaya.
Dalam penyidikan, polisi belum menemukan bukti pistol yang digunakan tersangka
menembak Rudy. Bahkan, pengacaranya sempat membantah kliennya sebagai pelaku
penembakan terhadap Rudy.
Forum
Florete Flores menyayangkan sikap polisi yang terkesan ingin menutupi kasus ini.
"Kami beranggapan sikap aparat seperti ini justru lebih memalukan daripada
tindakan sang pelaku kebiadaban sendiri. Kepolisian sebagai garda terdepan
pembela kebenaran dan keadilan malah ingin menjadi garda terdepan pelindung
pelaku kriminal yang biadab," kata Edy Kalakoe didampingi Rikard Rahmat dan
anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman di Gedung MPR/DPR RI Jakarta.
Walaupun
status almarhum Rudy hanya pelayan dan mungkin sangat kecil perannya dibanding
kanpemilik saham di hotel itu, kata Edy Kalakoe, nyawa almarhum yang melayang
tidak dapat dibiarkan tanpa suatu pertanggungjawaban dari pelaku.
Forum
mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan aparat terkait untuk memberikan
perhatian khusus kasus ini hingga pelakunya diadili dan dihukum. Menuntut
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. Firman Gani, mundur dari jabatannya apabila tidak
bisa menuntaskan kasus ini. Kapolri diminta menindak tegas oknum polisi yang
berusaha melindungi tersangka. Sedangkan pengelola hotel diminta ikut
bertanggung jawab atas kelalaiannya dengan membiarkan pengguna senjata masuk
hotel. "Kami akan tetap mengawal kinerja aparat kepolisian dan penegak
hukum lainnya sampai masalah ini tuntas proses hukumnya," kata Edy Kalakoe.
Anggota
Komisi III DPR asal Flores Benny K. Harman menyatakan kasus ini sebagai salah
satu ujian bagi pemerintah. Apabila dalam waktu 100 hari pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono tidak bisa menuntaskan kasus ini, maka akan makin terpuruk
citranya.
Ia
menyatakan polisi tidak bisa berdalih bahwa tersangka tidak bisa diminta
pertanggungjawaban karena tindak kriminalnya dilakukan dalam kondisi mabuk.
"Tersangka mabuk jangan dijadikan dalih tidak bisa bertanggung jawab atas
aksinya," Kata Benny K.Harman.
Sementara
belasan Federasi Serikat Pekerja Mandiri mengekspresikan desakannya dalam aksi
demonstrasi depan Polda Metro Jaya. Mereka mengatasnamakan para pekerja di
sektor pariwisata yang mencapai 12 juta orang. Selain orasi, para pekerja
membentangkan spanduk bertuliskan, "Jangan ada lagi koboi di sektor
pariwisata. Usut tuntas kasus kematin Rudy."
Ia minta
aparat kepolisian menerapkan aturan tentang larangan membawa senjata api ke
hotel, cafe, plaza, restoran, dan tempat hiburan. Dengan demikian, tidak
terulang tindak kriminal terhadap para pekerja pariwisata.
Pada
kesempatan terpisah, Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati, tampak ikut
dalam barisan para pendemo yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Bung Karno.
Bahkan, ia bersama para pendemo sempat menemui Kapolda Metro Jaya Irjen. Pol.
Firman Gani dan Kepala Reserse Polda Metro Jaya Kombes Pol. Mathius Salempang.
"Kami minta kasus ini diusut tuntas. Jangan sampai terjadi rekayasa dalam
penyidikan kasus ini," kata Rachmawati.
Kepala
Reserse dan Kriminal Polda Metro Jaya, Kombes Pol. Mathius Salempang menyatakan,
tersangka Adiguna hanya memiliki izin senjata api dengan peluru karet. Itu pun
sudah kadaluwarsa.
Tetapi
Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Firman Gani, menyatakan Adiguna mengantongi izin
kepemilikan senjata. "Catatan kita, dia memiliki izin kepemilikan senjata,
tetapi pistolnya belum ditemukan sampai sekarang dan yang bersangkutan belum
mengaku sebagai pelaku penembakan," katanya.
Namun, Kadiv
Humas Mabes Polri Irjen Pol Paiman memberikan keterangan berbeda dengan Firman.
Menurut Paiman, surat izin kepemilikan senjata Adiguna sudah dicabut sejak
Oktober yang lalu. "Izin dicabut karena perbuatannya mengancam dengan
menggunakan senjata peluru karet tersebut," ujar Paiman di Mabes Polri,
Jln. Trunojoyo, Jakarta, Rabu (5/1).
Paiman
menjelaskan, bulan Oktober lalu Adiguna sempat menggunakan senjata itu
bersama-sama Ricardo Gelael untuk menakut-nakuti kerabat penyanyi rock Achmad
Albar. Achmad Albar adalah mantan suami Rini S Bono, dan Rini kemudian menikah
dengan Ricardo.
Sementara
itu, Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Suyitno Landung menjelaskan, proses
penembakandiduga dilakukan Adiguna. Pereli ini diduga menodongkan pistolnya ke
arah Rudy. Dia menarik pelatuk pistol sebanyak tiga kali. Tembakan pertama dan
kedua tidak meledak. Baru yang ketiga meledak dan Rudy pun terkapar
tewas."Kami sudah menemukan bukti permulaan bahwa Adiguna Sutowo
menodongkan pistolnya di depan korban (Rudy) dan Adiguna Sutowo sempat menarik
pemicu tiga kali. Yang dua tidak meledak, baru yang ketiga meledak," ujar
Landung di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (5/1).
Dikatakan,
sebanyak 19 orang saksi telah diperiksa. Tiga saksi menguatkan dugaan bahwa
Adiguna adalah pelaku penembakan. "Mereka melihat bahwa dialah yang
melakukan penembakan. Saya tidak akan sebut nama mereka demi keamanan. Namun,
saksi itu menyatakan melihat penembakan dan harus dibuktikan. Untuk itu, senjata
korban masih dicari," papar Suyitno.
Indikasi
kedua yang menguatkan Adiguna pelaku penembakan ada seorang saksi yang melihat
dan mengenal Adiguna. "Untuk itu mereka dikonfrontasi. Yang mengenali
dikonfrontasi, kemudian mereka membenarkan bahwa Adiguna melakukan
penembakan," ujarnya.
Selanjutnya,
kata Suyitno, dari 19 saksi yang diperiksa pihaknya sedang menyicil pembuatan
resume untuk mempercepat proses penyerahan berkas sambil mencari senjata api
tesebut.(A-84/A-109)***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0105/06/0104.htm
Penembakan di Hotel Hilton
Pistol Tersangka Diserahkan pada Orang Lain
JAKARTA -
Kasus penembakan yang dituduhkan kepada Adiguna Sutowo semakin mencuat ke
permukaan. Pasalnya, selain tersangka yang anak bungsu Ibnu Sutowo itu
menyangkal menembak, juga sampai saat ini polisi belum menemukan pistol berjenis
Cis.
Diperoleh
keterangan dari 16 saksi, ada 15 saksi yang melihat Adiguna yang melakukan
penembakan. Seusai menembak, Adiguna kemudian memberikan pistol kepada orang di
sampingnya.
"Kejadiannya
secepat kilat," kata salah seorang saksi. Saksi ini berada di lokasi saat
kejadian penembakan.
Sementara
itu, dua petinggi Polri saling berbeda pendapat soal surat izin kepemilikan
senjata api Adiguna Sutowo. Menurut keterangan Kapolda Irjen Firman Gani,
tersangka memiliki izin kepemilikan senjata api. Sementara itu, Kadiv Humas
Polri Irjen Paiman mengemukakan, tersangka hanya memiliki izin senjata berpeluru
karet dan lagi izin itu pun sudah dicabut.
"Dia
tidak punya izin kepemilikan senjata api. Didata tidak ada. Penjelasan dari
intel dia memang pernah mendapat izin kepemilikan senjata peluru karet tapi
sekarang izin itu sudah dicabut sebelum kejadian," papar Paiman, Rabu
(5/1).
Saat ditanya
kenapa izin kepemilikan sejata peluru karet Adiguna dicabut, Paiman menyatakan
tidak tahu.
Senada
dengan Paiman, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Mathius
Salempang menyebutkan, Adiguna hanya memiliki izin kepemilikan senjata api untuk
peluru karet yang sudah kedaluwarsa.
Mathius
mengatakan, pihaknya juga sedang berusaha mencari senjata api milik Adiguna
Sutowo, antara lain dengan menyisir lokasi Bar Fluid Hotel Hilton, tempat
kejadian penembakan terhadap Yohanes Brachmans Chaerudy Natong.
"Sampai
saat ini, senjata api belum kami temukan. Penggeledahan sudah kami lakukan namun
masih nihil," ujarnya.
Bahkan, Tim
Gegana bersama Mabes Polri dan Polda Metro kembali menyisir di tempat kejadian.
Dia menuturkan, penggeledahan terus dilakukan, salah satunya di bak kloset kamar
1654 Hotel Hilton yang merupakan kamar Adiguna. Di sana ditemukan 19 butir
peluru dan handuk yang berlumuran darah.
Anggota
Komisi III DPR RI Benny K Harman menekankan, ada indikasi Polri mempetieskan
pengusutan kasus penembakan terhadap Yohanes BC Natong alias Rudi pada Sabtu
(1/1) pagi yang diduga melibatkan Adiguna Sutowo.
"Kami
memperoleh informasi, tekanan yang dilakukan pihak Adiguna Sutowo kepada Polri
begitu kuat dan berujung kepada pengalihan atau memetieskan kasus ini,"
tandasnya.
Kabid Humas
Polda Metro Kombes Tjiptono menegaskan, tidak akan pernah terjadi pertukaran
pelaku dalam kasus penembakan yang melibatkan tersangka Adiguna Sutowo.
Menanggapi
kekhawatiran masyarakat akan terjadinya pertukaran pelaku dalam kasus penembakan
tersebut, Tjiptono menekankan, "Tidak benar jika ada yang menuduh polisi
akan menukar pelaku. Itu tidak akan pernah terjadi. Kami akan profesional
menyelesaikan kasus ini."
Dia
mengungkapkan, adalah hal aneh jika ada kalangan yang khawatir akan terjadinya
pertukaran pelaku, mengingat sehari setelah penembakan itu polisi telah
menetapkan Adiguna sebagai tersangka.
"Jadi,
mana mungkin kami menukar pelaku?" Penyidik memperoleh keterangan dari
beberapa saksi, Adiguna memang menembakkan senjata apinya ke kepala Rudy.
Kemarin,
Solidaritas Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk Rudy berunjuk rasa di
depan Polda Metro dan Hotel Hilton.
Menurut
keterangan koordinator aksi Gregorius Bruno Djako,
unjuk rasa
melibatkan sedikitnya 1.000 orang. "Selain mahasiswa asal NTT, kami juga
menggandeng BEM Universitas Bung Karno (UBK)," ujarnya.
Unjuk rasa
bertujuan agar proses hukum terhadap Adiguna tetap berjalan pada jalurnya.
Bahkan, mereka meminta polisi tidak membelokkan kasus ini ke arah kepemilikan
senjata api gelap.
"Akan
tetapi harus pada pokok permasalahannya, yakni Adiguna melakukan
pembunuhan," tegasnya.
Ketua Umum
Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) Rachmawati Soekarnoputri meminta penyelidikan
tersangka Adiguna Sutowo dilakukan secara tuntas, transparan, dan tidak ada
rekayasa.
Rachmawati
menyatakan hal itu saat turut bergabung dalam demonstrasi yang diikuti 500
mahasiswa UBK di Polda Metro. Rachmawati diterima Kapolda Metro Jaya Irjen
Firman Gani dan Kepala Pusat Reserse Mathius Salempang.
Kehadiran
Rachmawati meminta agar kasus penembakan Rudy, salah seorang mahasiswa UBK,
diusut tuntas. Rudy ditembak di Bar Fluid Hotel Hilton pada malam pergantian
tahun 2005. Tersangka kasus ini adalah Adiguna, salah seorang pemilik Hotel
Hilton.
Canisius
Sosa Jeen, mahasiswa UBK, yang berdemo mengecek keberadaan Adiguna di sel
Mapolda Metro. Dia mewakili rekan-rekannya merasa khawatir bahwa Adiguna tidak
ada di sel.
Namun ketika
dia mendatangi sel, Canisius Cosa mengaku telah bertemu dan melihat langsung
Adiguna dalam tahanan. "Saya melihat Adiguna Sutowo selama satu menit. Dia
memakai kaus cokelat muda. Dia tampak kebingungan." (bu,dtc-33j)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/06/nas04.htm